Sebuah pernyataan kontroversial baru-baru ini mengguncang jagat maya dan dunia nyata: apakah kita sedang menyaksikan upaya penghapusan sejarah kelam bangsa? Pertanyaan ini muncul setelah pernyataan seorang pejabat publik yang meremehkan tragedi yang terjadi pada Mei 1998. Apakah benar ingatan kolektif kita bisa begitu saja direvisi demi kepentingan politik? Mari kita telaah lebih dalam.
Kontroversi Fadli Zon dan Luka Mei 1998
Isu sensitif kembali mencuat ke permukaan setelah Menteri Urusan Kebudayaan, Fadli Zon, mengeluarkan pernyataan yang meragukan kebenaran peristiwa kekerasan seksual massal terhadap etnis Tionghoa saat kerusuhan Mei 1998. Dalam sebuah podcast, ia menyebutnya sebagai rumor belaka, tanpa bukti yang mendukung. Sontak, pernyataan ini memicu reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk aktivis HAM dan mantan pejabat kepolisian.
Pernyataan ini bukan hanya sekadar menimbulkan kegaduhan di media sosial, tetapi juga membuka kembali luka lama bagi para korban dan keluarga mereka. Bayangkan, trauma yang belum sepenuhnya pulih harus kembali diungkit dengan pernyataan yang meremehkan kejadian tersebut. Bisa dibilang, ini seperti menabur garam di atas luka yang belum kering.
Kritik pedas pun bermunculan. Akun X @bangjerrrr misalnya, mempertanyakan, "Apakah Fadli Zon tidak pernah membaca tentang perkosaan massal pada kerusuhan 1998 atau memang tahu kejadiannya tapi memilih untuk menyangkal?" Pertanyaan ini mewakili suara banyak orang yang merasa miris dengan pernyataan tersebut. Apakah ini disengaja? Atau ketidaktahuan semata? Entahlah, hanya Fadli Zon yang tahu.
Agenda Revisi Sejarah dan Potensi Konflik Kepentingan
Kontroversi ini semakin pelik ketika dikaitkan dengan proyek pemerintah untuk merevisi sejarah Indonesia, yang bertujuan menghasilkan buku sejarah "resmi." Muncul kekhawatiran bahwa proyek ini digunakan untuk menutupi episode-episode sensitif dalam sejarah bangsa. Apakah ini upaya untuk mencuci tangan? Atau sekadar mencari aman?
Kerusuhan 1998 memang menjadi duri dalam daging bagi beberapa tokoh politik, termasuk Presiden Prabowo Subianto, yang saat itu menjabat sebagai Komandan Jenderal Kopassus. Ia dituduh terlibat dalam penculikan aktivis dan mengorkestrasi kerusuhan tersebut, tuduhan yang selalu dibantahnya. Jadi, apakah ini ada hubungannya dengan itu? Hmm, spekulasi memang selalu menarik.
Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, menegaskan bahwa kekerasan seksual massal tersebut telah dikonfirmasi oleh Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pemerintah. Laporan TGPF inilah yang mendorong Presiden B.J. Habibie untuk mengakui dan menyesali kejadian tersebut dalam pidato kenegaraannya.
Bukti dan Fakta yang Tak Bisa Dihapus
TGPF mencatat 52 kasus pemerkosaan, 14 kasus pemerkosaan dan penganiayaan, 10 kasus penyerangan dan pelecehan seksual, serta 9 kasus pelecehan seksual. Namun, angka ini diyakini jauh lebih kecil dari jumlah korban sebenarnya, karena laporan tersebut hanya berdasarkan kesaksian korban yang berani melapor pada Mei-Juli 1998.
Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa sebagian besar kasus pemerkosaan dilakukan secara berkelompok (gang rape), bahkan dipertontonkan di depan umum. Betapa mengerikannya kejadian tersebut. Kita mungkin hanya bisa membayangkan, dan semoga tidak pernah mengalaminya.
Mantan Kapolri Oegroseno pun ikut mengecam pernyataan Fadli Zon. "Fadli Zon, kalau tidak tahu situasi di lapangan tahun 1998, jangan banyak bicara. Para korban merasa sakit hati dengan pernyataan Anda," tulisnya di Instagram. Tegas, lugas, dan menusuk.
Sejarah Harus Jadi Pelajaran, Bukan Bahan Kontroversi
Dalam pidatonya tahun 1998, Presiden Habibie menyatakan bahwa penjarahan dan pembakaran pusat perbelanjaan serta rumah penduduk diiringi dengan kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan, terutama dari etnis Tionghoa. "Semua tindakan kriminal yang tidak bertanggung jawab ini sangat memalukan dan mencoreng reputasi kita sebagai bangsa yang beradab dan religius; kami mengutuk tindakan barbar tersebut," tegasnya.
Menariknya, Fadli Zon sendiri adalah seorang aktivis mahasiswa yang menentang otoritarianisme Soeharto dan memainkan peran penting dalam mengorganisir demonstrasi jalanan saat itu. Bagaimana mungkin seorang mantan aktivis reformasi kini justru meremehkan tragedi yang terjadi pada masa lalu? Ironi memang seringkali menyertai perjalanan hidup seseorang.
Politik dan Ingatan Kolektif: Sebuah Persimpangan Jalan
Banyak tokoh reformasi 1998 yang kini berada di lingkaran dalam Prabowo Subianto, yang mendukung kampanye presidennya dan menjabat di Kabinet. Analis politik Burhanuddin Muhtadi dan Adi Prayitno berpendapat bahwa perekrutan aktivis pro-reformasi ini adalah strategi politik untuk meyakinkan pemilih bahwa Prabowo telah berubah dan memperluas basis konstituennya.
Beberapa nama aktivis reformasi 1998 yang kini menduduki jabatan penting antara lain Budiman Sudjatmiko, Immanuel Ebenezer Gerungan, dan Nezar Patria. Nezar Patria bahkan pernah menjadi korban penculikan pada tahun 1998. Sejarah memang penuh dengan kejutan dan paradoks.
Respons dan Upaya Klarifikasi
Menanggapi kritik yang semakin meningkat, Fadli Zon kemudian menyatakan bahwa berbagai tindak pidana memang terjadi saat kerusuhan Mei 1998, termasuk kekerasan seksual. Namun, ia menekankan perlunya kehati-hatian terkait dengan kekerasan seksual massal, karena data tentang insiden tersebut belum pernah konklusif. Hmm, sedikit melunak, tetapi masih mengundang tanya.
Fadli Zon juga mengklaim tidak ikut campur dalam penulisan ulang sejarah Indonesia, dan menyerahkannya sepenuhnya kepada para sejarawan. Apakah ini benar-benar terjadi? Atau hanya sekadar lips service? Waktu yang akan menjawab.
Kebenaran Sejarah: Antara Trauma dan Rekonsiliasi
Seorang warga keturunan Tionghoa, Pauline Irawati, menduga bahwa motif Fadli Zon adalah upaya untuk menutupi kesalahan Prabowo Subianto. "Apa yang dikatakan Fadli Zon tidak dapat dipahami," katanya kepada The Straits Times. Luka lama memang sulit disembuhkan, apalagi jika ada upaya untuk menghapus ingatan tentangnya.
Peran Prabowo dalam pelanggaran HAM pada tahun 1998 dan di Timor Timur memang telah menghantui karir politiknya selama bertahun-tahun. Ia bahkan pernah dilarang masuk ke Amerika Serikat karena pelanggaran HAM. Namun, ia telah membantah semua tuduhan tersebut.
Pauline sendiri masih ingat bagaimana gerombolan massa memburu etnis Tionghoa pada tahun 1998. Ia berhasil lolos dari kejaran massa dengan menyamar dan bersembunyi. Pengalaman traumatis ini masih membekas dalam ingatannya.
Menjaga Sejarah: Antara Objektivitas dan Kepentingan Politik
Sementara Fadli Zon berjanji tidak akan ikut campur dalam pekerjaan para sejarawan, anggota DPR Bambang Wuryanto meragukan objektivitas proyek penulisan ulang sejarah ini. Ia khawatir bahwa subjektivitas akan memainkan peran dalam proses tersebut.
Anggota Komisi X DPR Bonnie Triyana menyatakan bahwa DPR akan memanggil Fadli Zon untuk menjelaskan proyek penulisan ulang sejarah ini. "Jangan menulis ulang sejarah menggunakan pendekatan kekuasaan, dan jangan selektif dan parsial berdasarkan kepentingan politik. Jika demikian, lebih baik hentikan program tersebut," tegasnya. Sejarah seharusnya menjadi jembatan menuju pemahaman, bukan alat untuk memecah belah.
Refleksi Akhir: Jangan Lupakan, Jangan Ulangi
Tragedi Mei 1998 adalah luka mendalam bagi bangsa Indonesia. Upaya untuk meremehkan atau bahkan menghapus ingatan tentang kejadian tersebut adalah tindakan yang tidak bertanggung jawab dan menyakitkan bagi para korban. Sejarah harus diingat, dipelajari, dan dijadikan pelajaran agar kejadian serupa tidak terulang kembali. Jangan sampai demi kepentingan politik sesaat, kita mengorbankan kebenaran sejarah dan luka para korban. Masa lalu memang penting, tetapi masa depan yang lebih baik harus menjadi tujuan utama kita.