Indonesia: Menulis Ulang Sejarah dengan Sentuhan Optimisme?
Sejarah, ah sejarah. Kadang bikin ngantuk, kadang bikin geleng-geleng kepala. Tapi, pernahkah kita berpikir, bagaimana kalau sejarah itu ditulis ulang? Bukan untuk mengubah fakta, tapi untuk memberikan perspektif yang lebih berwarna? Kabar baiknya, buku sejarah nasional kita sedang dalam proses revisi, dan tampaknya, ada angin segar yang berhembus.
Buku sejarah nasional, layaknya album foto keluarga, seharusnya merekam perjalanan bangsa dengan segala suka dukanya. Namun, seringkali ada bagian yang terlewat, tokoh yang kurang disorot, atau bahkan, cerita yang disajikan dengan nada yang kurang ‘wah'.
Sebelumnya, seri buku "Indonesia dalam Arus Sejarah" hanya mencakup era Soekarno, Soeharto, dan B.J. Habibie. Lalu, bagaimana dengan presiden setelahnya? Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo seolah absen dari catatan penting bangsa. Ini seperti reuni keluarga tanpa kehadiran beberapa anggota – terasa kurang lengkap, kan?
Kekosongan inilah yang coba diisi oleh proyek revisi buku sejarah nasional. Tujuannya mulia: merangkum kontribusi semua presiden Indonesia, dengan fokus pada pencapaian positif mereka. Bayangkan, sejarah yang lebih inklusif, lebih representatif, dan tentunya, lebih menarik!
Menulis sejarah memang bukan perkara mudah. Ada begitu banyak sudut pandang, interpretasi, dan kepentingan yang bisa memengaruhi narasi yang dihasilkan. Mencoba untuk adil dan berimbang adalah tantangan tersendiri, apalagi jika tujuannya adalah menyoroti sisi positif dari setiap pemimpin.
Tapi, bukankah setiap pemimpin, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, telah memberikan kontribusi bagi kemajuan bangsa? Menemukan ‘benang merah' positif dalam setiap era kepemimpinan bisa menjadi cara yang konstruktif untuk memahami perjalanan bangsa.
Lantas, bagaimana dengan presiden terpilih kita saat ini, Prabowo Subianto? Buku sejarah yang direvisi ini akan mencakup masa kepemimpinannya, mulai dari kampanye hingga program-program awal dan rencana masa depan. Ini tentu akan menjadi bagian yang menarik untuk diikuti.
Sejarah yang Lebih Positif: Sebuah Harapan atau Sekadar Mimpi?
Pertanyaannya sekarang, mungkinkah menulis sejarah dengan ‘nada yang lebih positif'? Bukankah sejarah seringkali diwarnai oleh konflik, intrik, dan kegagalan? Jawabannya, tentu saja mungkin. Bukan berarti menutupi sisi gelap sejarah, tetapi lebih kepada memberikan penekanan yang seimbang antara keberhasilan dan tantangan.
Mungkin kita ingat bagaimana pembangunan ekonomi di era Soeharto, atau bagaimana infrastruktur berkembang pesat di era Jokowi. Ini adalah contoh-contoh konkret yang bisa diangkat sebagai bagian dari narasi sejarah yang lebih positif.
Tentu saja, objektivitas tetap menjadi kunci utama. Sejarah tidak boleh menjadi ajang untuk menutupi kesalahan atau memoles citra. Sejarah harus tetap jujur dan akurat, tetapi dengan sentuhan optimisme yang bisa menginspirasi generasi mendatang.
Mengapa Kita Perlu Sejarah yang Lebih Inklusif?
Sejarah yang inklusif bukan hanya tentang memasukkan nama-nama yang terlewat. Ini tentang membangun rasa memiliki dan kebanggaan sebagai bangsa. Ketika setiap warga negara merasa terwakili dalam narasi sejarah, mereka akan lebih termotivasi untuk berkontribusi bagi kemajuan bangsa.
Sejarah juga bisa menjadi jembatan antar generasi. Dengan memahami perjalanan bangsa di masa lalu, kita bisa belajar dari kesalahan dan membangun masa depan yang lebih baik. Sejarah bukan hanya tentang ‘dulu', tapi juga tentang ‘sekarang' dan ‘nanti'.
Sejarah sebagai Cermin: Belajar dari Masa Lalu untuk Masa Depan
Buku sejarah seharusnya menjadi cermin bagi bangsa. Kita bisa melihat refleksi diri kita sendiri di dalamnya, dengan segala kelebihan dan kekurangan. Dari cermin itu, kita bisa belajar, merenung, dan memperbaiki diri.
Jangan sampai sejarah hanya menjadi kumpulan tanggal dan nama yang membosankan. Jadikanlah sejarah sebagai sumber inspirasi, motivasi, dan kebijaksanaan. Dengan begitu, sejarah tidak hanya relevan, tetapi juga bermakna bagi kehidupan kita.
Revisi Buku Sejarah: Sebuah Langkah Awal
Revisi buku sejarah nasional adalah langkah awal yang baik. Tentu saja, masih banyak yang perlu diperbaiki dan disempurnakan. Tapi, dengan semangat inklusifitas dan optimisme, kita bisa menciptakan narasi sejarah yang lebih representatif dan menginspirasi. Semoga saja, ini bukan hanya sekadar ‘lip service', tapi benar-benar niat tulus untuk memperkaya khazanah pengetahuan kita tentang bangsa sendiri. Intinya, mari kita sambut perubahan ini dengan pikiran terbuka dan harapan yang tinggi. Karena, pada akhirnya, sejarah adalah milik kita bersama.