Siapa bilang musik cuma buat joged? Lawrence Burney, lewat bukunya No Sense In Wishing, membuktikan kalau musik itu time machine, pengingat memori, dan juga cermin budaya. Burney, kritikus budaya asal Baltimore, mengajak kita menyelami lika-liku kehidupannya lewat musik yang menemani. Dari Lupe Fiasco yang awalnya dianggap "kampungan banget" sampai lagu yang didengarkan bareng putrinya, semuanya jadi pelajaran berharga.
Hip-Hop dan Identitas: Ketika Musik Jadi Medan Perang
Pernah merasa nggak nyambung sama selera musik teman-teman? Itulah yang dirasakan Burney saat kuliah di Long Island University (LIU). Dikelilingi anak-anak New York yang menganggap hip-hop adalah hak milik mereka, Burney berusaha memperkenalkan musik Baltimore yang kental dengan nuansa Selatan. Tapi, alih-alih dapat apresiasi, musiknya malah dianggap "racun". Sungguh relatable buat kita yang suka dibilang seleranya "aneh" sama teman-teman.
Di asrama LIU, musik Dipset selalu jadi jaminan aman buat dapat approval dari teman-teman. Kalau bisa ngerap verse Lloyd Banks yang obscure aja udah dianggap keren. Apalagi kalau jago cari timestamp video battle rap di YouTube. Tapi, begitu Burney nyetel lagu dari musisi Selatan, langsung deh tatapan sinis bermunculan. "Ain’t this the ‘Wipe Me Down’ dude?" kata mereka sinis, merujuk pada Lil Boosie.
Dari Bama Sampai Identitas Urban
Selain selera musik, aksen dan gaya bicara Burney juga jadi bahan bully-an. Suatu malam, sepulang jalan-jalan, Burney bertanya jam berapa teman-temannya mau balik ke asrama. "What. Tiiiime. Yawww niggas. Goiiinnn. Baackk. Upstaaaas," ejek Glen, menirukan aksen Burney yang dianggap lambat dan country. "God damn you talk slow as hell. Country-ass nigga." Sejak saat itu, Burney mulai mempertanyakan identitasnya sendiri. Am I country?
Di Baltimore, sebutan country itu konotasinya negatif. Orang country dianggap nggak sadar diri, terlalu bebas berekspresi, dan nggak mengikuti aturan wannabe-white ala kota besar. Tapi, di LIU, Burney menyadari bahwa dirinya adalah hasil hibridisasi antara budaya urban dan Selatan. Buat orang New York, semua yang ada di selatan New Jersey itu country. New York adalah cermin dunia, dipenuhi orang-orang dari berbagai penjuru diaspora Afrika.
Mencari Jati Diri Lewat Musik
Burney memilih memutar lagu-lagu dari Louisiana, Tennessee, dan Georgia karena musik-musik itu terasa paling dekat dengan rumah. Nuansa gerejawi, vulgaritas yang riang, dan kepastian yang lembut, semua itu mengingatkannya pada masa kecilnya di Baltimore. Sebenarnya, Burney bisa saja memutar lagu rapper Baltimore seperti Smash atau musik club khas kota itu. Tapi, dia merasa terlalu berat untuk menjelaskan konteks musik yang sangat terisolasi itu.
Setelah kembali ke Baltimore, Burney mencoba meniru gaya New York, berharap bisa diterima dan dianggap keren. Dia melebih-lebihkan pengalamannya di New York dan mencoba meniru aksen New York. Tapi, semua usahanya itu sia-sia. Rasa malu karena dianggap small-town terus menghantuinya.
Stop Snitching vs. Baltimore Real Talk: Dua Sisi Hip-Hop Baltimore
Sebelum Burney kuliah, ada dua seri DVD yang populer di Baltimore: Stop Snitching dan Baltimore Real Talk. Stop Snitching, yang dirilis pada tahun 2004, sangat kontroversial karena mengungkap identitas informan polisi. Akibatnya, orang-orang yang diungkap identitasnya mulai diserang. Carmelo Anthony bahkan sempat muncul dalam Stop Snitching, dan politisi setempat menuntut agar dia dihukum.
Sementara itu, Baltimore Real Talk mencoba menyajikan sisi positif dari scene rap lokal. Seri DVD ini berusaha menunjukkan bahwa Baltimore juga punya rapper berbakat. Tapi, banyak orang menganggap rapper Baltimore cuma cari perhatian dan nggak punya potensi untuk sukses. Padahal, Baltimore lebih dikenal dengan musik house yang enerjik dan penuh semangat.
When Niggas Stop Tryna Sound Like They From New York
Dalam Baltimore Real Talk 2, rapper lokal bernama Tim Trees mengungkapkan keresahannya terhadap rapper Baltimore yang mencoba meniru gaya New York atau Atlanta. "Hopefully it will, man, when niggas stop tryna sound like they from New York. And trying to sound like they from here and there. Niggas say I sound like club music, but, nigga, your shit sound like you from New York. It sound like you from down South. This is not Compton, nigga! This is East Baltimore."
Pernyataan Trees adalah sebuah harapan agar rapper Baltimore bisa mengembangkan gaya mereka sendiri dan menciptakan identitas yang unik. Setelah pernyataan Trees, scene musik Baltimore mulai bergeser ke arah yang lebih orisinal. Tapi, perubahan ini lebih disebabkan oleh meningkatnya popularitas scene rap regional daripada kesadaran para rapper untuk mengikuti saran Trees.
Musik Sebagai Jendela Budaya
Musik bukan cuma sekadar hiburan. Musik adalah cerminan budaya, pengingat memori, dan juga jembatan yang menghubungkan kita dengan orang lain. Lewat No Sense In Wishing, Lawrence Burney membuktikan bahwa musik bisa menjadi jendela untuk memahami identitas diri dan juga kompleksitas budaya. Jadi, jangan pernah meremehkan kekuatan sebuah lagu! Musik bisa mengubah hidupmu, loh!