Popular Now

Pandemi Agreement WHO: Apa Artinya Bagi Generasi Muda Indonesia?

Hidden Cameras: Dari Indie Boy Jadi Bad Boy Lewat Musik Elektro Berlin yang Meditatif

CIFTIS: Siswa Indonesia Promosikan Budaya, Banggakan Negeri

Misanthropocene: Ruang Angker Cerminan Kebejatan Manusia

Pernahkah merasa ingin mendengarkan musik tapi juga ingin menguji sejauh mana batas kesabaran dan kesehatan mental? Pertanyaan “Seberapa eksperimental itu terlalu eksperimental?” nampaknya menjadi mantra bagi Abhorrent Expanse, kuartet asal Chicago. Lewat album kedua mereka, Enter the Misanthropocene, band ini bukan sekadar bermain musik, melainkan semacam misi untuk “nge-jazz dan bikin onar” — seolah “Bitches Brew” sudah di ambang napas terakhirnya. Album ini siap membawa pendengar ke dunia yang abstrak dan tanpa kompromi, atau justru langsung membuat mereka mencari kotak P3K untuk sebutir aspirin.

Awalnya, ketika “Lord of the Promo Pit” menetapkan kuartet ini sebagai “death-drone,” ekspektasi terhadap Abhorrent Expanse melambung tinggi. Bayangan band death metal dengan tone gitar masif sudah terlintas di benak banyak orang. Namun, ekspektasi tersebut langsung buyar begitu musik mulai berdentum. Jauh dari citra death metal konvensional, Abhorrent Expanse justru hadir sebagai kuartet free jazz improvisasional yang kadang-kadang memutuskan untuk menyelam ke ranah extreme metal.

Bagi yang penasaran, kehadiran death metal, grindcore, dan drone metal dalam musik mereka hanyalah intervensi singkat yang sporadis. Kebanyakan waktu, musik mereka lebih mirip sesi jam dadakan di studio. Ini menciptakan pengalaman mendengarkan yang unik, di mana batas antara eksperimentasi tingkat tinggi dan kekacauan tanpa arah menjadi sangat tipis. Sebuah perjalanan sonik yang dapat menguji persepsi pendengar tentang apa itu musik dan apa itu… suara yang sangat mengganggu.

Ketika Jazz Bertemu Kegaduhan: Resep atau Ricuh?

Lineup Abhorrent Expanse sejatinya diisi oleh musisi-musisi berkaliber, dengan track record dari band-band seperti Zebulon Pike, Celestiial, Obsequiae, dan The Blight. Namun, sound yang dihasilkan seringkali terasa begitu berbelit-belit dan sulit dicerna. Enter the Misanthropocene sendiri merupakan kelanjutan dari debut kontroversial mereka, Gateways to Resplendence.

Secara garis besar, album kedua ini masih mempertahankan esensi yang sama, tetapi dengan cakupan yang lebih luas dan ambisi yang lebih besar. Proporsi konten drone secara signifikan dikurangi, digantikan oleh noodling ala jazz, intensitas grind, ambiance yang meluas, serta kekacauan deconstructed death metal yang tajam. Drone yang tersisa hanya muncul sesekali sebagai sprawl berumur pendek, memberikan nuansa yang lebih abstrak dibanding pendahulunya yang terasa seperti “dissodeath bertemu drone metal di gang gelap belakang Kmart.”

Selama empat puluh delapan menit, album ini menyuguhkan pergeseran nada dan tempo yang “whiplash-inducing”, petikan gitar yang off-key, sprawl stoner acak, dan kecintaan yang tak beralasan terhadap improvisasi. Ini bukan sekadar mendengarkan album, melainkan semacam ujian ketahanan mental yang diakhiri dengan keinginan kuat untuk tidur siang.

Improvisasi: Jalan Ninja atau Jalan Buntu?

Harus diakui: improvisasi itu ada kalanya bisa jadi bumerang. Pendekatan avant-garde yang mungkin membuat John Zorn berdecak kagum, di mana sebuah pertunjukan improvisasi menjanjikan pengalaman “tidak akan pernah sama dua kali,” belum tentu menjamin kualitas. Sebagaimana telah terlihat pada band-band yang biasanya bagus seperti Neptunian Maximalism atau Bunsenburner, terlalu mengandalkan chemistry grup ketimbang penulisan lagu yang cermat jarang membuahkan hasil optimal. Dan Enter the Misanthropocene tidak terkecuali.

Ada beberapa momen “pencerahan” avant-garde di mana instrumen-instrumen tampak selaras. Ini terlihat dalam grind obscura yang berkedut (title track, “Assail the Density Matrix,” “Dissonant Aggressors”), drone minimalis berumur pendek (“Praise for Chaos,” “Dissonant Aggressors,” “Ascension Symptom Acceleration”), ritualisme yang menghantui (“Waves of Graves”), dan ketenangan ambient (“Kairos”). Namun, growl kematian yang biasanya jadi ciri khas, justru sangat jarang terdengar di sini.

Enter the Misanthropocene memang sangat free jazz dan avant-garde, hingga menyeret paksa pendengar yang tidak bersedia ke dalam apa yang bisa dibilang sebagai “seni tingkat tinggi” yang obscen. Namun, di sisi lain, ini juga bisa dibilang sebagai musisi yang kurang kompeten dalam menguasai instrumennya.

Harmoni di Antara Kehampaan (Jika Ada)

Sebagian besar sound Abhorrent Expanse berakar pada “kekacauan mutlak,” dan seringkali dimainkan dengan kecepatan tinggi. Meskipun ada artistic discomfort yang melimpah dalam rekaman ini yang mungkin memiliki nilai artistik tersendiri (“Waves of Graves,” “Drenched Onyx”), momen-momen ini hanya tersebar di antara suara-suara yang terdengar seperti pemula yang sedang bermain-main dengan gitar baru di toko musik. Kebanyakan dari empat puluh delapan menit durasinya diisi oleh noodling atonal dan drumming off-beat yang terdengar sepenuhnya acak.

Momen-momen drone-doom seringkali terasa off-beat dan tidak selaras (“Praise for Chaos”). Sementara itu, beberapa momen ambient begitu halus dan minimalis, seolah-olah mereka meng-cover 4’33” milik John Cage sesaat sebelum akhirnya menjadi terdengar jelas (“Nephilim Disinterred”). Dan pada akhirnya, menjelang akhir dari lagu penutup berdurasi sepuluh menit, “Prostrate Before Chthonic Devourment,” mungkin pendengar akan merasa seperti baru saja menjalani pemeriksaan prostat. Sebuah pengalaman yang, sejujurnya, tidak ada yang mengharapkannya dari sebuah album musik.

Promosi di sekitar Abhorrent Expanse banyak mengandalkan kesamaan dengan band-band disonan seperti Portal dan Imperial Triumphant. Namun, untuk dapat dibandingkan dengan mereka, Abhorrent Expanse perlu menulis lagu-lagu yang benar-benar solid terlebih dahulu. Jika Gateways to Resplendence terasa menantang namun masih memiliki pijakan, Enter the Misanthropocene justru seperti daun yang terbawa angin, ditiup dari satu hembusan avant-garde ke hembusan lain tanpa gravitasi yang menyelamatkannya.

Status “seni tinggi” album ini menjadi isu yang sangat memecah belah. Noodling tanpa arah dapat dilihat sebagai karya seni yang menantang atau sekadar empat orang yang tidak tahu cara memainkan instrumen mereka. Namun, bukankah itu memang sifat dasar dari seni itu sendiri? Abhorrent Expanse secara tidak langsung memegang cermin ke arah definisi seni itu sendiri, memaksa kita mempertanyakan apa itu omong kosong dan apa itu kebijaksanaan — melalui noodling off-key dari seseorang yang bisa dibilang belum pernah memegang gitar sebelumnya. Sebuah paradoks yang menarik, namun juga memusingkan.

Previous Post

Aviva: Bentengi Aset Mahasiswa, Studi Lebih Terjamin

Next Post

Sword Of The Sea: Game Luar Biasa Pengubah Permainan Industri

Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *