Dark Mode Light Mode

Musim Buatan Manusia Baru Mengubah Bumi, Studi Ungkap

Dulu, musim itu kayak playlist lagu yang sama diputar terus-terusan: stabil, bikin nyaman, dan jadi panduan hidup. Petani tahu kapan nanam, kita semua tahu kapan liburan. Tapi, hold up, Bumi kita lagi DJ-ing ulang, dan musim pun ikut nge-remix.

Musim yang dulu kita kenal, perlahan tapi pasti, lagi undergoing a makeover. Aktivitas manusia, yang kadang bikin geleng-geleng kepala, ternyata punya andil besar dalam mengubah pola musim. Kita nggak cuma ngerasain perubahan suhu, tapi juga munculnya musim-musim “baru” yang sebelumnya nggak ada di kamus alam.

Musim Baru: Hasil Karya Ulah Manusia?

Penelitian terbaru menunjukkan kalau kita lagi menyaksikan lahirnya musim-musim antropogenik alias buatan manusia. Ini bukan teori konspirasi, tapi realita yang terjadi di depan mata kita. Contohnya? Musim kabut asap di Asia Tenggara. Tiap tahun, langit berubah jadi oranye karena pembakaran lahan. Nggak romantis kayak sunset di pantai, tapi bikin sesak napas.

Ada juga yang namanya “musim sampah” di Bali. Percaya atau enggak, antara November sampai Maret, pantai-pantai di sana dipenuhi sampah plastik yang dibawa ombak. Liburan jadi kurang estetik, dan miris banget lihatnya.

Ironisnya, di saat yang sama, beberapa musim justru lagi saying goodbye. Ekosistem jadi kacau, tradisi budaya pun terancam punah. Contohnya, musim kawin burung laut di Inggris yang makin singkat atau bahkan hilang.

Climate change juga bikin musim dingin buat main ski jadi makin langka. Salju makin jarang, gunung makin sepi. Mungkin bentar lagi kita cuma bisa lihat salju di foto atau film Frozen.

Ketika Musim Berubah Irama

Nggak cuma musim baru yang muncul dan musim lama yang hilang. Ada juga musim yang berubah irama, kayak lagu yang di-remix. Kita nyebutnya “musim sinkopasi”. Mirip kayak musik, ada penekanan baru yang bikin kita notice perubahannya.

Contohnya, musim panas yang makin panas dan musim dingin yang makin mild di daerah beriklim sedang. Selain itu, cuaca ekstrem juga makin sering dan parah. Dulu banjir cuma dateng pas musim hujan, sekarang kayaknya anytime bisa aja.

Waktu kejadian-kejadian penting kayak daun berguguran atau migrasi hewan juga jadi makin nggak terduga. Kita nyebut ini “musim aritmia”, istilah yang dipinjam dari dunia kedokteran jantung. Sama kayak jantung yang berdetak nggak teratur, musim pun jadi nggak karuan.

Perubahan pola musim ini bikin siklus hidup tanaman dan hewan jadi nggak sinkron. Komunitas yang bergantung pada alam juga jadi ikut terdampak.

Di Thailand Utara, aktivitas manusia udah mengubah ritme alam dan mempengaruhi suplai air dan makanan. Komunitas di sepanjang Sungai Mekong udah bergantung pada aliran sungai musiman untuk memancing dan bertani selama beberapa generasi.

Awalnya, bendungan di hulu sungai mengganggu siklus ini dengan menghalangi migrasi ikan dan mencegah akumulasi sedimen yang dibutuhkan pertanian untuk tanah. Baru-baru ini, perubahan iklim telah menggeser pola curah hujan dan membuat musim kemarau lebih panjang dan musim hujan lebih pendek tetapi lebih intens, membawa kebakaran dan ketidakpastian lebih lanjut kepada petani.

Musim Kabut Asap: Belajar dari Pengalaman

Di Asia Tenggara, kesadaran masyarakat tentang “musim kabut asap” udah memicu perbaikan dalam prakiraan cuaca, pemasangan filter udara di rumah, dan pembentukan inisiatif kesehatan masyarakat. Langkah-langkah ini membantu masyarakat beradaptasi, tapi kalo cuma fokus ke solusi adaptif, masalah kabut asap bisa makin parah.

Dengan mengakui musim baru ini, masyarakat mungkin menormalisasi terulangnya kabut asap dan mengisolasi siapa pun yang menuntut pemerintah dan bisnis untuk mengatasi deforestasi dan pembakaran.

Lembaga-lembaga yang kuat seringkali membentuk narasi tentang krisis musiman untuk meminimalkan tanggung jawab mereka dan mengalihkan kesalahan ke pihak lain. Memahami dinamika ini penting untuk menumbuhkan akuntabilitas dan memastikan respons yang adil.

Saatnya Mikir Ulang Soal Waktu

Perubahan musim ini memaksa kita buat mikir ulang tentang hubungan kita dengan waktu dan lingkungan. Sekarang ini, kita mikir soal waktu dalam satuan hari, jam, dan menit. Standar global yang dipake di mana-mana, dari smartphone sampai jadwal kereta.

Tapi, cara ngitung waktu kayak gini bikin kita lupa sama cara-cara lama yang lebih lokal. Cara-cara yang dibentuk sama ritme alam, kayak datangnya musim hujan, atau siklus matahari dan bulan. Cara-cara yang berakar dalam kehidupan dan budaya berbagai komunitas.

Perspektif yang beragam, terutama dari sistem pengetahuan masyarakat adat, bisa ningkatin kemampuan kita buat merespons perubahan lingkungan. Mengintegrasikan metode perhitungan waktu alternatif ke dalam praktik-praktik mainstream bisa mendorong solusi yang lebih adil dan efektif untuk masalah lingkungan.

Musim itu lebih dari sekadar pembagian waktu – musim menghubungkan kita dengan alam. Menemukan sinkronisasi dengan perubahan ritme musiman sangat penting untuk membangun masa depan yang berkelanjutan. Jangan cuma jadi penonton, tapi ikut jadi bagian dari solusi.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Will Ramos Lorna Shore Ungkap Vokalis Metal Paling Menginspirasi

Next Post

Debut Shad0w Gemilang: Bilibili Gaming Taklukkan Anyone's Legend di LPL