Bayangkan begini: lagi asyik main catur, eh, lawan tiba-tiba nyenggol papan sampe biji-bijinya berantakan. Kira-kira begitu gambaran upaya Perdana Menteri Benjamin Netanyahu yang mencoba “mengacak-acak” markas Hamas di Qatar. Alih-alih bikin gentar, yang ada malah jadi blunder epik.
Niatnya sih mulia, biar bisa klaim “total victory” dan menekan Hamas setelah perang yang nggak kelar-kelar di Gaza. Tapi, hasilnya? Hamas bilang pemimpin mereka baik-baik saja, dan reputasi Netanyahu yang udah babak belur makin bonyok. Ibaratnya, udah jatuh ketimpa tangga, eh, masih disiram air got pula.
Serangan udara yang terjadi hari Selasa itu bukan cuma bikin Qatar meradang, tapi juga menuai kritik pedas dari seluruh dunia Arab. Hubungan dengan Gedung Putih pun jadi tegang, dan harapan gencatan senjata auto buyar. Belum lagi nasib 20 sandera yang masih mendekam di Gaza, makin nggak jelas juntrungannya.
Meski begitu, Netanyahu nggak kelihatan mau mundur atau menghentikan perang. Dengan dukungan penuh dari koalisi garis kerasnya, dia masih merasa aman di tampuk kekuasaan. Pertanyaannya, sampai kapan?
Citra Kemenangan ala Netanyahu: Lebih Ilusi daripada Realita?
Serangan tersebut menewaskan lima anggota Hamas kelas teri dan seorang petugas keamanan Qatar. Tapi, target utama, para pemimpin senior Hamas yang lagi rapat membahas proposal gencatan senjata dari AS, dikabarkan selamat sentosa. Meski begitu, Hamas belum merilis foto-foto mereka, dan Qatar juga belum memberikan komentar resmi.
Seandainya para pemimpin Hamas berhasil dilibas, Netanyahu mungkin bisa dengan pongahnya mendeklarasikan kehancuran Hamas. Kata Harel Chorev, seorang ahli urusan Arab di Universitas Tel Aviv, “Ini semua sangat simbolis dan memungkinkan Netanyahu untuk mengatakan, ‘Kami menang, kami membunuh mereka semua!'” Kedengarannya seperti boss battle di game yang nggak selesai-selesai, ya?
Ofensif Israel selama 23 bulan di Gaza udah melenyapkan semua pemimpin Hamas di wilayah tersebut. Netanyahu berniat memberantas kelompok itu sebagai bagian dari ambisinya meraih “total victory”. Tapi, makin ke sini, ambisi itu kelihatan makin mustahil. Jadi, makin susah buat Netanyahu untuk mendorong gencatan senjata di antara koalisi garis kerasnya.
Para anggota sayap kanan koalisi pemerintah Israel udah menyudutkan Netanyahu. Mereka mengancam bakal menjatuhkan pemerintahannya kalau Israel nggak melanjutkan operasi yang lebih besar di Gaza City. Padahal, banyak petinggi militer yang ragu, dan masyarakat Israel serta komunitas internasional juga menentang keras.
Operasi sukses di Qatar mungkin bisa menenangkan para garis keras, meskipun harus mengorbankan para pejabat yang bertanggung jawab atas negosiasi gencatan senjata. Ibaratnya, mau mancing ikan, eh, malah bakar perahunya sendiri.
Membakar Jembatan dengan Qatar: Strategi Jitu atau Bumerang?
Israel sebenarnya punya kemampuan untuk menargetkan para pemimpin Hamas di Doha sejak awal perang. Tapi, mereka nggak mau bikin Qatar berang saat negosiasi sedang berlangsung, kata Chorev. Qatar udah membantu menegosiasikan dua gencatan senjata sebelumnya, yang menghasilkan pembebasan 148 sandera (termasuk delapan jenazah) dengan imbalan ribuan tahanan Palestina. Militer Israel cuma berhasil menyelamatkan delapan sandera hidup-hidup, dan menemukan 51 jenazah.
Meski Israel sering mengeluh bahwa Qatar kurang menekan Hamas, mereka tetap membuka jalur komunikasi itu – sampai hari Selasa. “Dengan serangan itu, Israel memberi tahu seluruh dunia bahwa mereka menyerah pada negosiasi,” kata Chorev. “Mereka memutuskan untuk membakar jembatan dengan Qatar.” Drama banget, kayak sinetron.
Ketika ditanya apakah pembicaraan gencatan senjata akan berlanjut, Perdana Menteri Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani, mengatakan bahwa setelah serangan itu, “Saya rasa nggak ada yang valid” dalam pembicaraan saat ini. Tapi, dia nggak menjelaskan lebih lanjut dan nggak mengatakan secara tegas bahwa Qatar akan mengakhiri upaya mediasi.
Nah, sekarang jadi pertanyaan besar: gimana caranya Netanyahu berharap bisa memenangkan pembebasan sandera yang tersisa? Pada hari Kamis, Mohammed menuduh Israel telah meninggalkan para sandera. “Para ekstremis yang memerintah Israel saat ini nggak peduli dengan para sandera – kalau nggak, gimana kita bisa membenarkan waktu serangan ini?” katanya di hadapan Dewan Keamanan PBB.
Meski begitu, dia mengatakan bahwa negaranya siap untuk melanjutkan mediasinya tanpa memberikan indikasi langkah selanjutnya. Pada hari Jumat, Mohammed bertemu di Washington dengan Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio, yang dijadwalkan mengunjungi Israel akhir pekan ini. Ini jadi sinyal bahwa pemerintahan Trump berusaha menyeimbangkan hubungan antara sekutu-sekutu penting di Timur Tengah.
Hubungan dengan AS: Retak atau Cuma Salah Paham?
Netanyahu, yang udah menerima dukungan kuat dari AS sejak Presiden Trump kembali menjabat, tampaknya udah menegang hubungan dengan sekutu terpentingnya. Presiden Trump mengatakan dia “sangat tidak senang” dengan serangan udara itu dan meyakinkan Qatar bahwa serangan semacam itu nggak akan terjadi lagi.
Tapi, Trump belum mengatakan apakah dia akan mengambil tindakan punitif terhadap Israel atau mengindikasikan bahwa dia akan menekan Netanyahu untuk menghentikan perang. Netanyahu, sementara itu, tetap nggak gentar dan mengancam tindakan tambahan jika Qatar terus menjadi tuan rumah para pemimpin Hamas. Pesannya ke Hamas jelas: “Nggak ada tempat di mana kami nggak bisa menjangkau kalian.” Kedengarannya kayak villain di film superhero, ya?
Perang di Gaza: Efeknya Minim, Konfliknya Makin Dalam
Israel terus melanjutkan ofensif yang diperluas yang bertujuan untuk menaklukkan Gaza City. Militer udah mendesak evakuasi penuh wilayah tersebut, yang menampung sekitar 1 juta orang, menjelang invasi yang diperkirakan terjadi. “Pemerintahan Netanyahu bersikeras untuk melanjutkan operasi militer di Gaza,” kata Gayil Talshir, seorang ilmuwan politik di Universitas Ibrani di Yerusalem.
Israel mengabaikan seruan untuk menghentikan perang dari PBB, Uni Eropa, dan sejumlah negara Barat besar yang berencana untuk mengakui negara Palestina di Dewan Keamanan PBB akhir bulan ini, katanya. Satu-satunya orang yang mungkin bisa mengubah lintasan ini adalah Trump, tambahnya, dengan mengatakan kepada Israel “cukup sudah”.
Masa Depan Politik Netanyahu: Aman atau Tinggal Tunggu Waktu?
Jika para pemimpin Hamas selamat, dan negosiasi runtuh, Netanyahu akan semakin mengasingkan sekitar dua pertiga dari publik Israel yang menginginkan akhir perang dan kesepakatan untuk membawa pulang para sandera. Tapi, oposisi itu udah ada selama berbulan-bulan, dengan sedikit pengaruh pada Netanyahu. “Masa depan Netanyahu dalam jangka pendek nggak tergantung pada publik Israel,” kata Yohanan Plesner, presiden Institut Demokrasi Israel, sebuah think tank di Yerusalem.
Sebaliknya, kelangsungan politiknya tergantung pada koalisi pemerintahannya, yang banyak di antaranya udah menyatakan dukungan penuh untuk upaya pembunuhan tersebut. Hal ini udah memicu kepanikan dan penderitaan yang lebih besar bagi keluarga para sandera yang masih ditahan di Gaza. Einav Zangauker, yang putranya, Matan, termasuk di antara para tawanan, mengatakan minggu lalu bahwa dia “gemetar ketakutan” setelah mendengar tentang serangan Israel di Doha. “Kenapa perdana menteri bersikeras untuk menghancurkan setiap kesempatan untuk mencapai kesepakatan?” tanyanya, dengan berlinang air mata. “Kenapa?”
Pada akhirnya, kita cuma bisa geleng-geleng kepala melihat drama politik yang nggak ada habisnya ini. Sementara para pemimpin sibuk dengan ambisi dan strategi mereka, rakyat sipil yang jadi korbannya. Mungkin, sudah saatnya kita semua belajar dari kesalahan dan mencari solusi damai, daripada terus terjebak dalam lingkaran kekerasan yang nggak berujung. Atau, mungkin, kita semua cuma bisa pasrah sambil menunggu season finale dari sinetron Timur Tengah ini?