Popular Now

Pandemi Agreement WHO: Apa Artinya Bagi Generasi Muda Indonesia?

Hidden Cameras: Dari Indie Boy Jadi Bad Boy Lewat Musik Elektro Berlin yang Meditatif

CIFTIS: Siswa Indonesia Promosikan Budaya, Banggakan Negeri

Nick Cave: Bad Seeds Siap Guncang 2026, Bicara AI & Band Favorit

Dalam jagat raya musik, seringkali kita beranggapan para legenda itu bak sphinx yang hanya mengeluarkan sepatah dua patah kata bijak, atau bahkan diam seribu bahasa. Namun, siapa sangka jika Nick Cave, sang ikon gelap yang misterius, justru memilih jalur lain yang lebih ‘receh’ namun tetap berkelas, hingga disebut bikin geger dunia maya. Ia baru-baru ini membuat geger dunia maya dengan sesi tanya jawab cepat yang membahas segalanya, mulai dari desas-desus konser masif hingga pendapatnya tentang AI, bahkan menyelipkan kecintaannya pada Amyl and the Sniffers.

Jawaban Kilat dari Lubuk Hati Sang Maestro

Nick Cave kembali menyapa penggemarnya melalui serial terbaru di Red Hand Files, platform uniknya untuk berinteraksi dengan audiens. Kali ini, ia merespons 50 pertanyaan dari para penggemar dengan format super singkat, yakni ‘yes’, ‘no’, ‘I don’t know’, atau bahkan ‘Go fuck yourself’. Gaya komunikasinya yang lugas dan tanpa basa-basi ini selalu berhasil memancing senyum dan rasa penasaran.

Salah satu pertanyaan yang mencuri perhatian adalah apakah ia menyukai band Amyl and the Sniffers, yang dijawabnya dengan tegas: ‘yes’. Ini tentu menjadi angin segar bagi para penggemar band punk rock asal Australia tersebut, menunjukkan selera musik Cave yang tetap relevan. Sebuah interaksi yang sederhana namun mengungkapkan banyak hal tentang apresiasi musikalnya.

Tak kalah menarik, desas-desus tentang “massive Bad Seeds show” di Brighton, kota tempat tinggalnya, tahun depan juga menjadi topik hangat. Ketika ditanyai tentang kebenaran rumor ini, jawaban Nick Cave kembali singkat dan padat: ‘yes’. Kabar ini tentu saja langsung memicu kegembiraan dan spekulasi di kalangan penggemar, terutama mereka yang berdomisili di Inggris.

Penegasan ini seolah memberikan sinyal lampu hijau bagi para Bad Seeds aficionado untuk mulai menabung atau merencanakan perjalanan. Sebuah konser besar di kota tempat tinggal sang maestro tentu akan menjadi pengalaman tak terlupakan. Konfirmasi langsung dari Cave menambah bobot pada rumor yang sebelumnya hanya beredar di kalangan terbatas.

Namun, tidak semua pertanyaan datang dengan nuansa positif, ada juga yang menukik tajam ke arah kritik pedas. Salah satu momen paling disorot adalah saat Cave menghadapi pertanyaan dari Graham, seorang penggemar asal Sydney, Australia. Pertanyaan itu menyinggung penggunaan AI dalam video untuk menandai 40 tahun lagu ‘Tupelo’ milik The Bad Seeds.

Drama AI: Ketika Prejudis Bertemu Seni Tak Terduga

Sebelumnya, Nick Cave sendiri terang-terangan menyebut AI sebagai “unbelievably disturbing” dan bahkan meramalkan teknologi ini akan memiliki “humiliating effect” pada industri kreatif. Pandangannya yang skeptis ini dikenal luas, menjadikannya salah satu suara kritis terhadap perkembangan kecerdasan buatan. Oleh karena itu, penggunaan AI dalam video ‘Tupelo’ memicu kontroversi.

Video tersebut menampilkan foto-foto arsip Elvis Presley yang dianimasikan menggunakan AI, sebuah keputusan yang dianggap kontradiktif dengan pendirian Cave. Graham secara blak-blakan menuduh Cave telah “selling your soul to AI as well”, mempertanyakan integritasnya. “Is there anything you won’t push for your masters? Do you sleep well at night knowing you are going to hell?” cecar Graham dengan nada menghakimi.

Menanggapi tuduhan serius ini, Nick Cave hanya membalasnya dengan emoji ‘Zzzz’, sebuah respons yang mungkin bisa diartikan sebagai “tidak peduli” atau “ini tidak layak untuk balasan serius”. Respons ini menunjukkan bahwa ia mungkin sudah kebal dengan kritik semacam itu, atau merasa bahwa tuduhan tersebut terlalu berlebihan. Sebuah tindakan yang bisa dibilang “dingin” namun efektif untuk meredam drama.

Di sisi lain, tidak semua reaksi terhadap video AI itu negatif. Carol dari Blackburn justru menyampaikan pandangan yang jauh lebih positif dan emosional. Ia bertanya mengapa melihat Elvis dalam video tersebut membuatnya menangis, mengagumi “beautiful young boy” yang ditampilkan. “That is really lovely, don’t you think?” tanyanya, dan kali ini, Nick Cave menjawab dengan ‘yes’.

Ilham Digital: Bagaimana Elvis “Hidup Kembali” dan Mengubah Pandangan

Cave kemudian menjelaskan lebih detail mengenai kontroversi AI ini di The Red Hand Files bulan sebelumnya. Terungkap bahwa sutradara Andrew Dominik, yang membuat film tersebut sebagai hadiah, menggunakan AI tanpa sepengetahuan Cave di awal. Ini menunjukkan bahwa keputusan penggunaan teknologi itu bukan berasal dari Nick Cave secara langsung.

Awalnya, Cave memang sangat skeptis terhadap hasil kerja AI tersebut. Namun, Dominik berhasil meyakinkannya untuk membuka pikiran, menantangnya dengan kalimat “Suspend your fucking prejudices and take a look!”. Tantangan ini mendorong Cave untuk melihat hasil karya tersebut tanpa prasangka, sebuah momen krusial yang mengubah pandangannya.

Setelah menyaksikan video tersebut, Nick Cave mengakui bahwa ia “found it to be an extraordinarily profound interpretation of the song”. Ia menggambarkan film itu sebagai “a soulful, moving, and entirely original retelling of ‘Tupelo’”, yang kaya akan mitos dan menjadi penghormatan yang menyentuh bagi Elvis Presley serta lagu itu sendiri. Pengalaman menonton itu secara perlahan melunturkan prasangkanya.

Foto-foto Presley yang dianimasikan AI, menurut Cave, memiliki kualitas “uncanny”, seolah-olah “he had been raised from the dead”. Lebih lanjut, ia terkesima dengan gambar-gambar penyaliban dan kebangkitan di akhir video, yang ia sebut “both shocking and deeply affecting”. Adegan-adegan ini meninggalkan kesan mendalam yang tak terduga padanya.

Melihat karya Dominik, Cave menyatakan bahwa pandangannya terhadap AI sebagai perangkat artistik mulai “soften”. Ia mengakui bahwa, “To some extent, my mind was changed.” Ini adalah pengakuan penting dari seorang seniman yang sebelumnya vokal menentang AI, menunjukkan bahwa teknologi, dalam tangan yang tepat, bisa menjadi medium ekspresi yang kuat dan menyentuh.

Dari Amarah Panggung ke Pelukan Digital: Transformasi Hubungan Audiens

Terlepas dari perdebatan AI, Nick Cave dan The Bad Seeds terus produktif, merilis album Wild God tahun lalu yang menuai banyak pujian. Mereka juga telah menjalani tur sukses di Inggris dan Amerika Utara awal tahun ini, menandai kembalinya mereka ke panggung Amerika Utara sejak 2018 setelah pembatalan tur 2020 akibat pandemi COVID-19. Ini menunjukkan vitalitas dan dedikasi mereka terhadap musik.

Di luar proyek band, Cave juga sibuk dengan kolaborasi. Ia dan Warren Ellis sedang menggarap skor musik untuk adaptasi televisi dari novelnya tahun 2009, The Death Of Bunny Munro. Selain itu, ia bekerja sama dengan Bryce Dessner dari The National untuk menulis lagu baru bagi film Netflix yang akan datang, Train Dreams, membuktikan dirinya sebagai seniman multi-talenta.

Pada wawancara dengan NME di tahun 2023, Nick Cave sempat ditanya bagaimana The Red Hand Files telah mengubah persepsinya tentang audiens. Ia menjelaskan bahwa platform itu telah menjadi “a slow, developing thing” yang mengubah pemahamannya tentang koneksi dengan penggemar. Ini adalah refleksi mendalam dari seorang seniman yang terus bertumbuh.

Cave mengungkapkan bahwa kekhawatirannya tetap sama, bahkan sejak era The Birthday Party dan awal Bad Seeds yang dikenal dengan konser agresif mereka. Ia selalu ingin membawa audiens ke “a heightened state”, sebuah kondisi transendensi. Kini, metodenya berbeda, lebih condong pada “community, inclusiveness and hopefully transcendence”, menciptakan pengalaman kolektif.

Interaksi di konser sekarang adalah “outpouring and in-taking of love,” sebuah hubungan dua arah yang saling memberi dan menerima. Transformasi ini menunjukkan evolusi seorang seniman yang dulunya dikenal dengan kemarahan di panggung, kini menemukan cara baru untuk terhubung secara lebih intim dan mendalam dengan penggemarnya melalui komunikasi terbuka.

Nick Cave, sang maestro yang tak henti berevolusi, terus membuktikan bahwa seni adalah perjalanan adaptasi, koneksi, dan penemuan diri. Dari jawaban cepat yang bikin heboh, perubahan hati tentang AI, hingga relasi mendalam dengan penggemar di ranah digital, ia tak hanya menciptakan karya, tetapi juga narasi tentang bagaimana seorang seniman sejati berinteraksi dengan dunia yang terus berubah.

Previous Post

Kartu MTG Lama 1999 Jadi Harta Karun: Harga Meroket 900%

Next Post

AI Copilot di Excel: Transformasi Cara Olah Data Kini

Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *