Pernahkah kamu bertanya-tanya mengapa beberapa bakteri bisa membuatmu sakit parah, sementara yang lain hanya "numpang lewat"? Nah, mari kita bedah misteri Streptococcus pneumoniae alias pneumokokus, si oportunis yang bisa jadi teman atau musuh dalam selimut.
Pneumokokus adalah bakteri yang cukup umum dijumpai pada anak-anak. Bahkan, di Tiongkok, sekitar 21-30% anak-anak membawa bakteri ini di saluran pernapasan atas mereka. Sebagai komensal, S. pneumoniae biasanya tidak berbahaya. Namun, ketika ia memutuskan untuk "berpetualang" ke paru-paru, aliran darah, atau organ lain, ia bisa menyebabkan penyakit serius seperti pneumonia, meningitis, dan bakteremia. Pada tahun 2015, penyakit pneumokokus menyebabkan sekitar 294.000 kematian pada anak-anak di bawah usia lima tahun di seluruh dunia. Ini bukan angka yang bisa dianggap remeh, kan?
Salah satu serotipe yang paling sering menyebabkan masalah adalah 19F. Bahkan setelah vaksin PCV13 (vaksin konjugasi pneumokokus 13-valen) diperkenalkan di Tiongkok pada tahun 2016, serotipe 19F tetap menjadi yang paling invasif. Vaksin PCV13 memang efektif menurunkan tingkat infeksi S. pneumoniae secara keseluruhan, tetapi serotipe 19F tetap menjadi yang teratas dalam hal invasivitas. Ini disebabkan oleh tingkat kolonisasi yang tinggi di saluran pernapasan, resistensi antibiotik yang signifikan, dan kemampuannya untuk menghindari kekebalan yang diinduksi vaksin. Jadi, bisa dibilang, si 19F ini cukup pintar dalam "bermain petak umpet" dengan sistem kekebalan tubuh kita.
Mengapa Serotipe 19F Lebih "Nakal" Dibanding yang Lain?
Kolonisasi saluran pernapasan oleh S. pneumoniae adalah langkah awal yang penting untuk perkembangan penyakit pneumokokus invasif (IPD). Karakteristik utama kolonisasi adalah kemampuan S. pneumoniae untuk menempel pada sel dan jaringan inang, yang mengganggu kekebalan bawaan dan adaptif mukosa. Gangguan ini memfasilitasi persistensi patogen dan potensinya untuk berubah dari organisme komensal menjadi patogen invasif. Kemampuan adhesi berbagai serotipe sangat mempengaruhi tingkat kolonisasi, sehingga memodulasi insiden infeksi dan terjadinya penyakit invasif.
Faktor-faktor seperti kekebalan individu, infeksi virus, dan patogenisitas S. pneumoniae juga memainkan peran penting dalam menentukan tingkat keparahan penyakit. Beberapa serotipe, seperti 1, 3, 19A, dan terutama 19F, dapat menyebabkan hasil klinis yang parah dan morbiditas tinggi. Meskipun serotipe 19F memiliki arti klinis yang signifikan, pengaruh variasi genomik secara keseluruhan pada patogenisitas strain 19F, terutama di era pasca-PCV, belum diteliti secara menyeluruh. Ada kesenjangan pengetahuan tentang bagaimana strain serotipe 19F yang sama dapat menunjukkan fenotipe kolonisasi dan invasi yang berbeda.
Untuk mengatasi kesenjangan ini, penting untuk menyelidiki kapasitas adhesi dan invasif, serta faktor genetik terkait, di antara isolat S. pneumoniae 19F dari lokasi infeksi yang berbeda. Sebuah studi memeriksa isolat 19F dari cairan tubuh steril dan sampel dari saluran pernapasan anak-anak yang dikumpulkan di Rumah Sakit Anak Shenzhen untuk mengeksplorasi faktor genetik yang mendasari kecenderungan invasi. Dengan membandingkan perbedaan pan-genomic dan menilai kemampuan adhesi antara dua kelompok 19F dari sumber yang berbeda, ditemukan bahwa strain 19F invasif menunjukkan kemampuan beradaptasi yang lebih baik dalam lingkungan sel epitel manusia dan terkait erat dengan komposisi genomiknya. Namun, wawasan yang lebih dalam tentang mekanisme adaptasi ini akan memerlukan studi molekuler dan omics lebih lanjut.
Mencari "Biang Kerok" di Balik Agresivitas 19F: Metode Penelitian
Untuk memahami lebih dalam tentang bagaimana S. pneumoniae serotipe 19F ini bekerja, dilakukanlah penelitian yang cukup rumit, tapi menarik.
- Isolasi Strain Pneumokokus Klinis: Sampel diambil dari saluran pernapasan, darah, dan cairan serebrospinal (CSF) pasien anak-anak di Rumah Sakit Anak Shenzhen. Penting untuk memastikan privasi pasien, semua sampel ini dianonimkan sebelum dianalisis.
- Ko-Kultur Bakteri dan Sel Epitel Paru-paru: Strain S. pneumoniae dikembangbiakkan bersama sel epitel paru-paru manusia (A549). Tujuannya? Melihat bagaimana bakteri ini menempel dan berinteraksi dengan sel-sel paru-paru. Mirip dengan kencan pertama, tapi dalam skala mikroskopis!
- Pengurutan dan Analisis Seluruh Genom: DNA bakteri diekstraksi dan diurutkan menggunakan teknologi canggih. Data ini kemudian dianalisis untuk mengidentifikasi gen-gen yang mungkin berperan dalam kemampuan invasi S. pneumoniae.
- Analisis Pan-Genomic: Roary dan Scoary digunakan untuk menentukan core dan accessory genome dari isolat S. pneumoniae.
- Pemodelan Random Forest: Algoritma Boruta digunakan untuk memilih fitur yang membedakan strain invasif dan pernapasan.
Hasil Penelitian: Apa yang Membuat Strain 19F Invasif Lebih Berbahaya?
Setelah melalui serangkaian pengujian dan analisis yang mendalam, beberapa fakta menarik terungkap.
- Karakteristik Klinis: Strain invasif cenderung menyebabkan respons peradangan yang lebih kuat dibandingkan dengan strain non-invasif.
- Uji Kepekaan Antimikroba (AST): Tidak ada perbedaan signifikan dalam resistensi antibiotik antara strain invasif dan non-invasif. Artinya, kedua jenis strain sama-sama "kebal" terhadap beberapa antibiotik umum.
- Analisis Faktor Virulensi (VFs): Tidak ada perbedaan signifikan dalam keberadaan gen-gen virulensi klasik antara strain invasif dan non-invasif. Jadi, bukan gen-gen "biasa" yang membuat strain invasif lebih berbahaya.
- Analisis Pan-Genome: Analisis pan-genome strain 19F mengungkapkan total 3864 gen di semua strain, di mana 1649 gen diidentifikasi sebagai core gene, 202 gen sebagai soft-core gene, 223 gen sebagai shell gene, dan 1790 gen sebagai cloud gene. Analisis Scoary mengidentifikasi 37 gen dengan perbedaan signifikan antara strain 19F non-invasif dan invasif.
- Adhesi yang Ditingkatkan: Strain 19F invasif menunjukkan kemampuan adhesi yang lebih kuat pada sel epitel paru-paru manusia dibandingkan dengan strain non-invasif. Bisa dibilang, mereka lebih "lengket" dan mudah menempel pada sel paru-paru.
Hubungan Antara Variabilitas Genetik dan Kemampuan Adhesi
Penelitian ini juga menemukan hubungan erat antara variabilitas genetik dan kemampuan adhesi. Analisis menggunakan Scoary dan Pyseer mengidentifikasi 17 gen yang tumpang tindih. Gen-gen ini ditemukan sama antara 32 gen yang diungkapkan oleh Scoary sebagai berbeda hadir dalam kelompok invasif versus non-invasif dan 37 gen yang diidentifikasi oleh Pyseer sebagai berkorelasi dengan hasil ko-kultur pneumokokus dan sel A549. Ini menunjukkan bahwa variasi genetik antara kelompok, yang menyebabkan perbedaan adhesi dalam lingkungan mikro epitel paru-paru, kemungkinan merupakan pemicu signifikan invasi. Misalnya, gen yang mengkode regulator transkripsi tipe HTH sarX diperkaya dalam kelompok invasif dan secara signifikan terkait dengan peningkatan metrik adhesi.
Model Prediksi: Mengidentifikasi Strain Invasif dengan Data Genetik
Dengan menganalisis fitur genetik, para peneliti mengembangkan model prediksi untuk membedakan strain 19F invasif berdasarkan keberadaan dan ketidakhadiran gen tertentu. Model ini menunjukkan kinerja yang tinggi dan area under the receiver operating characteristic curve (AUROC) adalah 0.96, menunjukkan kemampuan diskriminasi yang sangat baik. Gen yang paling penting untuk model ini adalah yang mengkode transposase, seperti transposase keluarga IS630 ISSpn2 dan transposase keluarga ISL3 ISSpn14, yang secara signifikan berkorelasi dengan kemampuan adhesi bakteri.
Implikasi Klinis dan Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa strain S. pneumoniae serotipe 19F yang invasif memiliki kemampuan beradaptasi yang lebih baik dalam lingkungan sel epitel manusia dan terkait erat dengan komposisi genomiknya. Meskipun vaksin PCV13 efektif dalam mengurangi tingkat infeksi S. pneumoniae secara keseluruhan, serotipe 19F tetap menjadi yang paling invasif.
Identifikasi transposase sebagai penanda signifikan invasivitas pneumokokus memiliki implikasi klinis yang penting. Sisipan transposon dapat secara langsung memfasilitasi perubahan adaptif selama proses infeksi, memberikan dasar mekanistik untuk mengembangkan intervensi anti-transposase yang ditargetkan. Penelitian lebih lanjut tentang mekanisme regulasi dan kondisi aktivasi mereka tetap penting. Selain itu, metodologi klasifikasi dan deteksi transposase yang lebih tepat, efisien, dan nyaman harus dikembangkan untuk memperkuat kemampuan kolektif untuk mengantisipasi, mencegah, dan secara efektif menanggapi ancaman IPD.
Secara keseluruhan, analisis pan-GWAS mengidentifikasi elemen genetik mobile, khususnya transposase, sebagai kontributor utama invasivitas pneumokokus serotipe 19F. Temuan ini tidak hanya meningkatkan pemahaman tentang faktor genetik yang mendorong patogenisitas pneumokokus, tetapi juga membuka jalan baru untuk mengembangkan alat diagnostik yang lebih tepat dan strategi terapeutik yang ditargetkan.