Dark Mode Light Mode

Parkir Nontunai Pramono: Berantas Pungli Jakarta

Jakarta Parkir Bebas Calo: Mungkinkah?

Parkir di Jakarta. Dua kata yang bisa memicu PTSD ringan bagi sebagian besar warga. Selain rebutan lahan, keberadaan "Pak Ogah" alias juru parkir liar kerap kali bikin dompet menjerit dan hati dongkol. Tapi, apakah ada secercah harapan di tengah hiruk pikuk perparkiran ibu kota? Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sedang mempertimbangkan ekspansi sistem pembayaran non-tunai alias cashless untuk menertibkan sektor parkir yang konon katanya bernilai miliaran rupiah. Kita bahas, yuk!

Gubernur (kita sebut saja Pak G) mengakui bahwa masalah parkir liar di Jakarta seperti benang kusut yang sulit diurai selama puluhan tahun. DPRD DKI pun ikut menyuarakan percepatan sistem cashless ini, tentunya dengan pengelolaan yang lebih baik di bawah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang khusus dibentuk untuk urusan parkir. Ini bukan sekadar ganti alat bayar, tapi reformasi sistem parkir secara menyeluruh.

Pak G bahkan menegaskan pentingnya pembayaran cashless untuk pengelolaan parkir yang lebih baik. Beliau berjanji akan mengkaji secara seksama rencana pembentukan BUMD parkir ini bersama jajarannya. Bayangkan, parkir jadi rapi, aman, dan nggak bikin kita emosi setiap kali mau parkir. Sebuah utopia? Mari kita lihat lebih jauh.

Anggota DPRD DKI, Hardiyanto Kenneth, sebelumnya mengkritik kinerja Unit Pelaksana Teknis (UPT) Perparkiran di bawah Dinas Perhubungan DKI Jakarta yang dianggap kurang memuaskan. UPT ini bertanggung jawab atas sistem Terminal Parkir Elektronik (TPE) di 31 ruas jalan di Jakarta. Ironisnya, banyak mesin TPE yang mangkrak dan tidak berfungsi.

Data berbicara: dari 201 mesin TPE yang terpasang, hanya 64 yang masih beroperasi. Sisanya? Rusak! Akibatnya, pendapatan dari parkir merosot tajam dari sekitar Rp 18 miliar per tahun menjadi hanya Rp 8,9 miliar tahun lalu. Bisa dibilang, ini bukan hanya sekadar masalah parkir, tapi juga efisiensi anggaran.

Jika UPT terus menunjukkan performa yang kurang memuaskan, Kenneth mengusulkan agar Pemprov DKI membubarkannya saja. Wah, agak harsh ya? Tapi, kadang kala solusi ekstrem memang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah yang sudah mengakar. Mungkin UPT perlu upgrade kemampuan, atau memang diganti dengan BUMD yang lebih agile dan responsif.

Cashless Parking: Solusi Jitu Atau Sekadar Mimpi?

Pertanyaannya sekarang, apakah cashless parking benar-benar bisa menjadi solusi jitu untuk mengatasi masalah parkir di Jakarta? Jawabannya nggak sesederhana membalikkan telapak tangan. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dan dipersiapkan dengan matang.

Pertama, infrastruktur. Mesin TPE harus berfungsi dengan baik dan terintegrasi dengan berbagai metode pembayaran cashless. Jangan sampai kejadian, kita sudah download aplikasi parkir, isi saldo, eh, mesinnya malah error. Kan bikin nambah emosi. Ini bukan cuma soal teknologi, tapi juga kenyamanan pengguna.

Kedua, sosialisasi. Masih banyak warga Jakarta yang terbiasa dengan pembayaran tunai. Perlu ada edukasi dan sosialisasi yang masif agar mereka familiar dengan sistem cashless ini. Mungkin bisa dengan memberikan voucher diskon parkir di awal-awal implementasi. Biar makin semangat adopsi teknologi baru.

Ketiga, pengawasan. Sistem cashless bukan berarti bebas dari kecurangan. Tetap perlu ada pengawasan yang ketat untuk mencegah oknum-oknum yang mencoba mengakali sistem. Mungkin bisa dengan memasang CCTV di area parkir dan menerapkan sistem reward and punishment yang jelas. Integritas sistem itu kunci.

Keempat, aksesibilitas. Semua kalangan masyarakat harus bisa mengakses sistem cashless ini. Jangan sampai hanya mereka yang punya smartphone canggih dan kartu kredit yang bisa menikmati kemudahan parkir. Pemerintah perlu menyediakan opsi pembayaran yang inklusif, misalnya dengan kartu prabayar yang mudah didapatkan.

BUMD Parkir: Harapan Baru Atau Sekadar Ganti Baju?

Pembentukan BUMD parkir diharapkan bisa membawa angin segar bagi pengelolaan parkir di Jakarta. Tapi, apakah BUMD ini benar-benar bisa bekerja lebih baik dari UPT? Atau jangan-jangan hanya ganti nama dan logo, tapi isinya sama saja?

BUMD harus dikelola oleh orang-orang yang profesional, kompeten, dan punya visi yang jelas. Bukan sekadar bagi-bagi jabatan untuk orang dekat. Selain itu, BUMD harus transparan dan akuntabel dalam pengelolaan keuangan. Jangan sampai dana parkir malah jadi bancakan. Tata kelola yang baik itu wajib hukumnya.

BUMD juga harus berani berinovasi dan memanfaatkan teknologi terkini. Jangan hanya terpaku pada sistem yang sudah ada. Mungkin bisa dengan mengembangkan aplikasi parkir yang lebih canggih, atau menerapkan sistem parkir otomatis yang lebih efisien. Intinya, jangan stuck di zona nyaman.

Parkir Jakarta: Saatnya Berubah

Jakarta memang butuh perubahan di sektor parkir. Sistem cashless dan BUMD parkir bisa menjadi solusi yang menjanjikan, asalkan diimplementasikan dengan benar dan dengan komitmen yang kuat dari semua pihak.

Mari kita berharap, suatu saat nanti, parkir di Jakarta bukan lagi jadi momok yang menakutkan, tapi justru menjadi pengalaman yang menyenangkan. Siapa tahu, nanti ada sistem parkir otomatis yang bisa memarkirkan mobil kita sendiri. Atau mungkin, parkir bisa dibayar pakai crypto. Who knows? Yang penting, parkir harus lebih baik. That's the bottom line.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Bono Bicara 'Stories of Surrender', U2 Sentuh Masa Depan Musik

Next Post

Ridge Racer Kembali: Rilis Ulang Hadir di Switch 2, Juga Mampir ke Switch, PlayStation, dan Xbox