Dark Mode Light Mode

Peluang Eliminasi Malaria di Asia Pasifik Semakin Menjauh

Halo, guys! Kabar kurang sedap nih dari dunia kesehatan. Malaria, penyakit yang dulunya kita pikir sudah hampir hilang, ternyata sedang comeback, bahkan lebih heboh dari reuni artis K-Pop generasi pertama.

Malaria di Asia Pasifik Melonjak: Apakah Target 2030 Akan Tercapai?

Kenaikan kasus malaria di wilayah Asia Pasifik ini nggak main-main. Data terbaru menunjukkan lonjakan yang cukup signifikan, membuat kita bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi? Apakah nyamuk-nyamuk Anopheles ini sudah beralih ke dark side?

Menurut laporan dari Asia Pacific Leaders Malaria Alliance (APLMA), kasus malaria di Asia Pasifik mencapai 4,8 juta pada tahun 2024. Angka ini melonjak 170% antara tahun 2021 dan 2024. Bayangin deh, kenaikannya setinggi gedung pencakar langit di Dubai! Hal ini tentu saja membuat target eliminasi malaria pada tahun 2030 semakin jauh dari jangkauan.

Para ahli sepakat bahwa ada beberapa faktor utama yang menyebabkan kembalinya malaria ini. Pertama, perubahan iklim yang semakin ngaco, memicu wabah malaria. Cuaca yang tidak menentu membuat nyamuk semakin betah berkembang biak. Kedua, munculnya strain malaria yang resistan terhadap obat dan insektisida. Ini seperti boss level dalam game, lebih susah dikalahkan!

Selain itu, konflik dan masalah pendanaan juga turut memperburuk situasi. Konflik membuat akses ke layanan kesehatan menjadi sulit, sementara kurangnya dana menghambat upaya pencegahan dan penanganan malaria. Ibarat mau bikin konser, tapi nggak ada sponsor.

Sarthak Das, CEO APLMA, bahkan pesimis soal target 2030. "Dua tahun lalu, saya yakin 7 dari 10 kita bisa mencapai target. Sekarang, mungkin cuma 6," ujarnya. Penurunan optimisme ini cukup mencemaskan, ya kan? Terutama terkait malaria elimination.

Banjir Pakistan dan Dampaknya pada Kasus Malaria

Banjir dahsyat yang melanda Pakistan pada tahun 2022 menjadi contoh nyata bagaimana bencana alam akibat iklim dapat membalikkan pencapaian bertahun-tahun dalam pengendalian malaria. Kasus malaria di Pakistan melonjak dari sekitar 400.000 pada tahun 2021 menjadi 2,7 juta pada tahun 2023. Akibatnya, Pakistan terpaksa menunda target eliminasi malaria mereka hingga tahun 2035.

Kondisi serupa juga terjadi di Kepulauan Solomon, yang juga mengundur target mereka hingga tahun 2034. Ini seperti efek domino, satu negara terpukul, negara lain ikut merasakan dampaknya. Situasi di Papua Nugini (PNG), yang memiliki tingkat penularan malaria tertinggi di luar Afrika, juga mengkhawatirkan. Konflik di Afghanistan dan Myanmar juga menyebabkan peningkatan kasus malaria di Thailand.

Perubahan iklim menjadi momok nyata bagi Asia Pasifik. Wilayah ini memanas lebih cepat dari rata-rata global dan paling parah terkena dampak bencana iklim. Nggak heran kalau model iklim memprediksi perubahan risiko malaria di berbagai wilayah. Misalnya, musim penularan malaria diperkirakan akan meningkat di Nepal, India timur laut, Myanmar utara, dan Tiongkok barat daya. Sementara di beberapa daerah dataran rendah Asia Tenggara, musim penularan justru menurun akibat heat stress. Ironis, ya? Malaria transmission juga meluas ke dataran tinggi, mengancam Nepal dan dataran tinggi timur Papua Nugini.

Kelambu Berkualitas Rendah dan Alternatif Lain

Edward Walker, profesor dari Michigan State University, mempertanyakan efektivitas penggunaan kelambu berinsektisida sebagai strategi utama eliminasi malaria. Ia berpendapat bahwa tidak ada jaminan orang akan menggunakan kelambu setiap hari. "Ada alternatif yang lebih baik, yaitu membuat rumah anti-nyamuk dengan memasang screen di jendela, pintu, dan atap," sarannya. Tapi, tentu saja, biayanya 10 hingga 100 kali lebih mahal.

Selain itu, kualitas kelambu juga menjadi masalah. Sebuah studi di Papua Nugini menemukan bahwa efektivitas kelambu menurun lebih cepat dari yang diharapkan, yang berkontribusi pada kembalinya malaria di sana. Belum lagi, saat ini belum ada vaksin yang aman dan efektif untuk melawan Plasmodium vivax, parasit malaria paling umum di Asia. Ini seperti nyari jarum dalam jerami, sulit banget!

Kurangnya Pendanaan: PR Besar untuk Asia Pasifik

Peter Sands, direktur eksekutif Global Fund to Fight AIDS, Tuberculosis and Malaria, menekankan kemajuan yang telah dicapai dalam memerangi malaria selama dekade terakhir. Namun, ia mendesak negara-negara untuk memberikan lebih banyak komitmen pendanaan. Global Fund menargetkan penggalangan dana US$18 miliar untuk periode 2026-2028. Saat ini, Asia Pasifik menghadapi kekurangan dana sebesar US$478 juta, sementara total kekurangan dana global mencapai US$4,3 miliar.

Sands mengajak negara-negara di Asia Pasifik, yang selama ini bergantung pada donor, untuk meningkatkan kontribusi mereka. Apalagi, ada pemotongan bantuan internasional oleh AS dan negara lainnya. Pemerintah Inggris bahkan berencana memotong anggaran bantuannya dari 0,5% menjadi 0,3% dari pendapatan nasional bruto pada tahun 2027. Sedih banget.

Susilo Bambang Yudhoyono, mantan presiden Indonesia, menegaskan bahwa malaria bukan hanya masalah kesehatan, tetapi juga masalah keadilan dan komitmen kita terhadap kelompok yang paling rentan. "Ini adalah ujian kemampuan kita untuk bekerja sama lintas batas, lintas sektor, dan lintas generasi kepemimpinan," ujarnya. Pernyataan yang sangat deep, ya?

Jadi, apa yang bisa kita pelajari dari semua ini? Malaria masih menjadi ancaman serius bagi Asia Pasifik. Untuk mencapai target eliminasi pada tahun 2030, kita membutuhkan strategi yang lebih komprehensif, inovatif, dan berkelanjutan. Selain itu, pendanaan yang memadai dan komitmen dari semua pihak juga sangat penting. Jangan sampai kita lengah dan membiarkan malaria merajalela lagi. Yuk, kita jaga kesehatan diri dan lingkungan! Ingat, better safe than sorry!

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Wargame Modern Baru Pecahkan Rekor di Steam dengan Rilis V1.0: RTS Terbaik 2025?

Next Post

Lorde Bertato dan Berenang di Video Musik 'Hammer': Sebuah Simbol Kebebasan?