Dark Mode Light Mode

Pembangkit Listrik Tenaga Sampah Dituding Jadi Biang Kerusakan Kualitas Udara Surabaya

Bayangkan, udara segar Surabaya yang kita hirup setiap hari, ternyata menyimpan cerita kelam. Cerita tentang partikel kecil bernama PM2.5 yang bisa menyelinap masuk ke paru-paru kita dan bikin drama kesehatan.

Waspada Polusi Udara Surabaya: Benarkah Biang Keroknya PLTSa Benowo?

Isu polusi udara di Surabaya kembali mencuat, kali ini dengan tudingan serius mengarah pada Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Benowo. WALHI Jawa Timur dengan lantang menuntut penutupan PLTSa ini, mengklaim bahwa fasilitas tersebut berkontribusi signifikan terhadap polusi udara yang bikin khawatir.

Data bicara: Hasil pemantauan kualitas udara di sekitar PLTSa Benowo menunjukkan rata-rata konsentrasi PM2.5 mencapai 26.78 µg/m³, bahkan sempat melonjak hingga lebih dari 100 µg/m³. Angka ini jauh melampaui standar yang direkomendasikan WHO (15 µg/m³) dan standar nasional Indonesia (55 µg/m³).

PM2.5, si partikel mikroskopis ini, memang bukan teman yang baik. Ukurannya yang super kecil memungkinkan ia menembus jauh ke dalam paru-paru dan masuk ke aliran darah, berpotensi memicu berbagai masalah kesehatan serius seperti kanker, penyakit jantung, hingga kematian dini. Bayangkan saja, data Dinas Kesehatan Surabaya mencatat lebih dari 174.000 kasus ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) dari Januari hingga Juli 2023, termasuk ribuan kasus pada bayi. Bikin miris, kan?

WALHI berpendapat bahwa PLTSa Benowo bukanlah solusi, melainkan justru sumber polusi. Mereka mendesak pemerintah untuk melindungi warganya, bukan malah melegalkan teknologi kotor yang berbahaya.

PLTSa Benowo sendiri mulai beroperasi sejak 2015 di TPA Benowo, Pakal. TPA ini menerima sekitar 1.600 hingga 1.700 ton sampah per hari, menyumbang sekitar 60-70% dari total sampah Surabaya. Awalnya, PLTSa menghasilkan listrik dengan mengekstrak gas metana dari tumpukan sampah, dengan kapasitas 1.65 MW. Kemudian, pada tahun 2021, kapasitasnya ditingkatkan dengan menambahkan sistem gasifikasi yang membakar sampah pada suhu tinggi untuk menghasilkan listrik, meningkatkan kapasitas sebesar 9 MW. Sekitar 1.000 ton sampah di TPA Benowo diproses melalui insinerator, sementara sisanya digunakan untuk ekstraksi gas metana.

Saat ini, PLTSa dioperasikan oleh perusahaan swasta PT Sumber Organik di bawah perjanjian Build-Operate-Transfer (BOT) selama 20 tahun dengan Pemerintah Kota Surabaya.

AMDAL Misterius: Ada Apa di Balik Layar PLTSa Benowo?

Salah satu poin krusial yang disoroti WALHI adalah keterbukaan informasi. WALHI mengklaim bahwa Pemkot Surabaya tidak pernah mempublikasikan hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) PLTSa Benowo, dengan alasan perlindungan paten. Hmm, mencurigakan…

Menurut WALHI, penolakan akses ke dokumen AMDAL merupakan pelanggaran hak konstitusional. Hal ini melanggar Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik tahun 2008 dan Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tahun 2009.

Zero Waste System: Solusi Alternatif yang Lebih Ramah Lingkungan?

Sebagai solusi alternatif, WALHI mendesak Pemkot Surabaya untuk menutup permanen PLTSa Benowo dan fokus pada implementasi sistem zero-waste berbasis komunitas. Sistem ini menekankan pada pengurangan sampah dari sumbernya, pemilahan, daur ulang, dan pengomposan. Intinya, semua bisa bermanfaat kalau dikelola dengan benar!

Janji Investigasi: Akankah Kebenaran Terungkap?

Menanggapi isu ini, Walikota Surabaya Eri Cahyadi berjanji akan menyelidiki kualitas udara yang dihasilkan oleh PLTSa Benowo dan memastikan apakah fasilitas tersebut memenuhi standar yang dipersyaratkan. Ia juga berjanji untuk meminta pertanggungjawaban PT Sumber Organik, menuntut perusahaan tersebut untuk mengatasi masalah ini dan memberikan sanksi jika mereka gagal meningkatkan kualitas udara. Semoga saja bukan sekadar janji manis…

Di sisi lain, pada bulan Maret, PLN justru memuji kinerja PLTSa Benowo, menyatakan bahwa sejak diluncurkan, fasilitas tersebut telah menghasilkan 166.1 GWh energi bersih untuk warga Surabaya. Bahkan, Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah, Agus Harimurti Yudhoyono, juga memuji fasilitas tersebut, menekankan pentingnya mereplikasi inisiatif serupa di kota-kota lain di Indonesia, terutama yang bergulat dengan masalah pengelolaan sampah.

Jadi, mana yang benar? Apakah PLTSa Benowo adalah pahlawan energi bersih atau justru villain penyebab polusi udara?

Perlu diingat bahwa pengelolaan sampah memang bukan perkara mudah. Indonesia, dengan produksi sampah yang terus meningkat, membutuhkan solusi cerdas dan berkelanjutan. Teknologi waste-to-energy seperti PLTSa Benowo, sebenarnya punya potensi untuk mengurangi volume sampah dan menghasilkan energi. Namun, harus dipastikan bahwa teknologi tersebut benar-benar ramah lingkungan dan tidak menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan masyarakat.

Transparansi, keterbukaan informasi, dan partisipasi publik mutlak diperlukan dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan sampah. Masyarakat berhak tahu apa yang terjadi di sekitar mereka, dan mereka berhak untuk berkontribusi dalam mencari solusi terbaik.

Akhirnya, kualitas udara yang kita hirup adalah tanggung jawab kita bersama. Mari kita kawal isu ini bersama-sama, demi Surabaya yang lebih bersih, lebih sehat, dan lebih nyaman untuk ditinggali.

Intinya: Sebelum memuji teknologi tinggi dan kompleks, mari kita fokus pada hal-hal sederhana: mengurangi, menggunakan kembali, dan mendaur ulang. Karena kadang, solusi terbaik ada di tangan kita sendiri.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Vokalis Awal Iron Maiden, Paul Mario Day, Meninggal Dunia: Sebuah Kehilangan bagi Dunia Musik

Next Post

Cara Ampuh Mendapatkan Buggy Semut Merah Prajurit