Apakah kebebasan berpendapat di kampus masih relevan di era digital ini? Jangan-jangan, kita lebih sibuk scrolling daripada scrolling through buku sejarah perjuangan mahasiswa.
Demonstrasi mahasiswa, khususnya di lingkungan kampus seperti Universitas Trisakti, seringkali menjadi sorotan. Pada Mei 2025, kita kembali disuguhkan berita tentang penangkapan mahasiswa Trisakti setelah aksi unjuk rasa memperingati Tragedi Trisakti. Situasi ini memicu pertanyaan: sampai mana batas kebebasan berekspresi di kampus? Apakah ada upgrade sistem penyampaian aspirasi mahasiswa yang lebih efektif daripada turun ke jalan?
Tragedi Trisakti, sebuah peristiwa kelam yang terjadi pada 12 Mei 1998, meninggalkan luka mendalam bagi bangsa Indonesia. Empat mahasiswa Universitas Trisakti – Elang Mulia Lesmana, Heri Hartanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie – gugur saat melakukan demonstrasi damai menuntut reformasi. Peristiwa ini menjadi simbol perjuangan mahasiswa melawan rezim Orde Baru dan menuntut keadilan bagi para korban. Setiap tahun, mahasiswa dari berbagai universitas, termasuk Universitas Trisakti, memperingati peristiwa ini sebagai pengingat pentingnya menjaga semangat reformasi dan kebebasan berpendapat.
Kronologi penangkapan mahasiswa Trisakti pada Mei 2025 bermula dari aksi unjuk rasa yang dilakukan di depan Balai Kota DKI Jakarta. Aksi tersebut berujung ricuh setelah mahasiswa mencoba memasuki area Balai Kota, namun dihalangi oleh aparat kepolisian. Menurut keterangan dari Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Universitas Trisakti, terjadi tindakan represif dari pihak berwenang dalam insiden tersebut. Puluhan mahasiswa dari berbagai universitas yang tergabung dalam Yayasan Trisakti ditangkap dan diperiksa di Direktorat Reserse Kriminal Umum (Dirkrimum) Polda Metro Jaya.
Kepolisian menerapkan Pasal 212, Pasal 160, dan Pasal 170 KUHP dalam proses penyidikan terhadap para mahasiswa. Pasal-pasal ini berkaitan dengan tindak pidana melawan petugas, penghasutan, dan perusakan. Penetapan pasal-pasal ini menuai kritik dari berbagai pihak, yang menilai bahwa tindakan mahasiswa seharusnya tidak dikategorikan sebagai tindak pidana berat. Muncul perdebatan mengenai proporsionalitas tindakan aparat kepolisian dalam menangani aksi demonstrasi mahasiswa.
Jeratan Hukum vs. Kebebasan Akademik: Di Mana Batasnya?
Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia, memberikan pendampingan hukum kepada para mahasiswa yang ditangkap. Beliau mengkritik penahanan terhadap 15 mahasiswa Trisakti yang masih berlanjut meskipun ada kabar bahwa proses penyidikan akan segera diselesaikan. Usman Hamid dan tim penasihat hukum dari LKBH Trisakti terus mengawal kasus ini untuk memastikan hak-hak para mahasiswa terpenuhi. Keluarga mahasiswa yang ditangkap juga berdatangan ke Polda Metro Jaya untuk memberikan dukungan dan menanti kepulangan anak-anak mereka.
Robertus Juan Pratama, salah seorang mahasiswa Trisakti yang sempat ditangkap, mengungkapkan bahwa polisi berjanji akan memulangkan 12 mahasiswa. Polisi bahkan telah membuat laporan mengenai pembebasan dan penyerahan mahasiswa kepada keluarga mereka. Namun, pernyataan ini berbeda dengan keterangan dari Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi, yang menyatakan bahwa polisi masih melakukan pemeriksaan terhadap para demonstran.
Perbedaan keterangan antara pihak kepolisian dan mahasiswa menimbulkan kebingungan di masyarakat. Ketidakjelasan ini menunjukkan pentingnya transparansi dalam proses penegakan hukum, terutama dalam kasus yang melibatkan kebebasan berekspresi. Ade Ary mengungkapkan bahwa beberapa demonstran dilaporkan oleh petugas keamanan Balai Kota DKI Jakarta atas dugaan pelanggaran Pasal 160, 170, 351, 212, 216, dan 218 KUHP. Laporan polisi ini menjadi dasar bagi kepolisian untuk melakukan penyidikan dan menetapkan status hukum para mahasiswa.
Reaksi Kampus dan Masyarakat: Lebih dari Sekadar #SaveMahasiswa
Kasus penangkapan mahasiswa Trisakti ini memicu reaksi keras dari kalangan kampus dan masyarakat sipil. Banyak yang mengecam tindakan represif aparat kepolisian dan menuntut pembebasan para mahasiswa. Tagar #SaveMahasiswa menjadi trending di media sosial, menunjukkan solidaritas publik terhadap para mahasiswa yang ditangkap. Berbagai organisasi kemahasiswaan dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) memberikan dukungan hukum dan advokasi kepada para mahasiswa dan keluarga mereka.
Gelombang protes juga muncul di berbagai kota di Indonesia, menuntut keadilan bagi para mahasiswa Trisakti dan mengkritik pembatasan kebebasan berekspresi di kampus. Aksi solidaritas ini menunjukkan bahwa isu kebebasan berpendapat masih menjadi perhatian utama di kalangan masyarakat, terutama di kalangan generasi muda. Kasus ini juga menjadi momentum bagi mahasiswa untuk merefleksikan kembali peran mereka sebagai agen perubahan sosial dan memperkuat jaringan solidaritas antar kampus.
Penangkapan mahasiswa oleh polisi tidak hanya berdampak pada individu yang bersangkutan, tetapi juga mempengaruhi iklim akademik di kampus. Muncul kekhawatiran bahwa tindakan represif aparat kepolisian dapat menghambat kebebasan berpikir dan berdiskusi di kalangan mahasiswa. Dosen dan akademisi juga turut angkat bicara, menekankan pentingnya menjaga ruang dialog yang bebas dan terbuka di kampus sebagai bagian dari proses pembelajaran dan pengembangan intelektual.
Tragedi Trisakti di Era Digital: Apa yang Berubah?
Perbedaan utama demonstrasi mahasiswa di era Tragedi Trisakti dan era digital ini adalah amplifikasi suara. Dulu, informasi tersebar dari mulut ke mulut, poster, dan media cetak. Sekarang, satu unggahan di media sosial bisa dilihat jutaan orang dalam hitungan menit. Namun, kecepatan ini juga membawa tantangan baru, seperti misinformation dan disinformation yang bisa memecah belah opini publik.
Kasus terbaru menunjukkan bahwa satu mahasiswa kembali ditangkap pada tanggal 24 Mei 2025 di daerah Cibitung. Penangkapan ini semakin menambah daftar panjang kasus kriminalisasi terhadap mahasiswa yang melakukan aksi unjuk rasa. Kepolisian beralasan bahwa penangkapan dilakukan karena adanya dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh mahasiswa saat demonstrasi. Namun, banyak pihak menilai bahwa penangkapan ini merupakan bentuk intimidasi terhadap mahasiswa yang kritis terhadap kebijakan pemerintah.
Mencari Titik Temu: Dialog dan Reformasi Hukum
Melihat dinamika yang terjadi, dialog antara mahasiswa, pihak kampus, dan pemerintah menjadi krusial. Perlu ada forum diskusi yang terbuka dan konstruktif untuk membahas berbagai isu yang menjadi perhatian mahasiswa, tanpa ada rasa takut atau intimidasi. Selain itu, reformasi hukum yang menjamin kebebasan berekspresi dan berpendapat juga perlu dilakukan. Pasal-pasal KUHP yang dianggap karet dan seringkali digunakan untuk membungkam kritik perlu direvisi atau bahkan dihapuskan.
Kebebasan berpendapat adalah hak fundamental yang dijamin oleh konstitusi. Namun, kebebasan ini juga memiliki batasan. Aksi unjuk rasa harus dilakukan secara damai dan tidak melanggar hukum. Di sisi lain, aparat kepolisian juga harus bertindak secara proporsional dan menghormati hak asasi manusia dalam menangani aksi demonstrasi. Mencari titik temu antara kebebasan berekspresi dan ketertiban umum adalah tantangan yang harus dihadapi bersama.
Intinya? Demonstrasi mahasiswa adalah bagian dari dinamika demokrasi. Selama dilakukan dengan damai dan bertanggung jawab, aksi unjuk rasa seharusnya dilindungi, bukan malah dikriminalisasi. Jangan sampai, semangat reformasi yang diperjuangkan oleh para mahasiswa Trisakti menjadi sia-sia di era digital ini. Mari kita jaga kebebasan berpendapat, karena tanpa kritik, kita hanya akan berjalan di tempat.