Siapa yang nggak suka nonton film dokumenter sambil rebahan? Apalagi kalau temanya tentang menyelamatkan bumi. Tapi, pertanyaannya, apakah film-film seperti David Attenborough’s A Life on Our Planet, Seaspiracy, atau 2040 beneran bikin kita jadi aware dan bertindak lebih ramah lingkungan? Atau cuma bikin kita merasa bersalah sesaat terus lupa lagi pas buka bungkus keripik kentang?
Film dokumenter lingkungan sering digadang-gadang sebagai cara efektif buat meningkatkan kesadaran tentang isu-isu penting kayak perubahan iklim. Visual yang kuat dan cerita yang menggugah emosi memang bisa menarik perhatian. Tapi, apakah dampaknya beneran positif dalam jangka panjang? Atau cuma jadi hiburan informatif yang nggak mengubah apa-apa?
Apakah Mengetahui Lebih Banyak Otomatis Bikin Kita Bertindak?
Ternyata, nggak selalu. Sebuah studi di tahun 2008 nemuin fakta menarik: semakin banyak orang tahu tentang pemanasan global, justru semakin sedikit rasa tanggung jawab pribadi yang mereka rasakan. Kok bisa gitu? Mungkin ini ada hubungannya sama fenomena desensitization. Terlalu sering melihat berita buruk bisa bikin kita jadi kebal dan nggak peduli lagi. Bayangin aja, tiap hari dikasih pop-up diskon e-commerce, lama-lama juga bosen kan?
Penelitian lain tentang film An Inconvenient Truth (2006) menemukan bahwa film ini memang meningkatkan pengetahuan penonton tentang pemanasan global dan menumbuhkan kepedulian lingkungan. Tapi, keinginan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca nggak selalu berujung pada tindakan nyata. Jadi, meskipun kita terharu dan berjanji akan go green, besoknya bisa aja lupa pas nyalain AC seharian.
Salma Monani, seorang profesor di Gettysburg College, berpendapat bahwa film dokumenter punya potensi buat menyajikan perspektif baru tentang aktivisme lingkungan. Tapi, dia juga mengkritik film-film yang cuma menggambarkan komunitas dan lingkungan sebagai korban. Menurutnya, penggambaran kayak gini bisa mengurangi sense of agency kelompok tersebut dan bikin penonton merasa hopeless. Padahal, kita semua punya peran penting dalam menyelamatkan bumi ini.
Studi Kasus: Years of Living Dangerously
Serial dokumenter Years of Living Dangerously (2018) juga menarik buat dibahas. Setelah nonton, banyak responden mengaku jadi lebih aware dan khawatir tentang masa depan yang nggak pasti. Tapi, ada jurang pemisah antara isu global dan kerentanan pribadi mereka terhadap risiko perubahan iklim. Banyak yang bingung, "Terus, gue harus ngapain?". Ini kayak nonton tutorial masak yang keren banget, tapi pas mau praktek ternyata nggak punya alatnya.
Meskipun mereka sadar bahwa tindakan kecil seperti mendaur ulang, menghemat energi, atau mengurangi penggunaan mobil itu positif, nggak banyak yang termotivasi buat mengadopsi kebiasaan ramah lingkungan lainnya. Beberapa memang tergerak buat melakukan aksi politik, seperti memilih atau menandatangani petisi, tapi tindakan kayak gini jarang banget dilakukan.
Hambatan utama buat mengubah perilaku adalah kurangnya pengetahuan tentang cara bertindak. Jadi, biar film dokumenter berdampak, nggak cukup cuma membangkitkan emosi. Mereka juga harus menawarkan saran spesifik tentang apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasi perubahan iklim dan mendorong aksi kolektif. Singkatnya, kasih tau masalahnya, kasih tau solusinya, dan ajak semua orang buat bergerak!
Apa yang Membuat Film Dokumenter Jadi Berdampak?
Sebuah studi di tahun 2024 oleh Endah Wahyu Sulistianti, seorang jurnalis dan sutradara Indonesia, meneliti film-film dokumenter lingkungan di Indonesia. Dia menyoroti celah penelitian tentang bagaimana film-film ini membentuk persepsi publik, melibatkan pembuat kebijakan, dan memengaruhi aktivisme di akar rumput.
Hasilnya, film dokumenter memang punya nilai sebagai alat advokasi lingkungan yang kuat. Tapi, pasar didominasi oleh produser Barat besar kayak BBC Earth, National Geographic, dan Discovery Channel. Ini bikin film-film lokal kesulitan buat menjangkau audiens dan menyampaikan pesan mereka. Apalagi, film-film Barat seringkali memperkuat narasi yang berpusat pada perspektif ilmiah Barat dan solusi teknologi, mengabaikan konteks lokal dan pengetahuan masyarakat adat.
Penelitian terhadap 10 film dokumenter lingkungan populer menemukan bahwa mereka nggak seimbang dalam memposisikan orang kulit putih, laki-laki, dan orang Barat sebagai "ahli" perubahan iklim, sementara ras lain dan perempuan digambarkan sebagai korban pasif. Mereka sering menampilkan korban tanpa nama dari ras lain, mendegradasi martabat orang yang ditampilkan di layar, berbeda dengan "ahli", yang kredensial akademis atau profesionalnya sering ditampilkan di layar saat mereka berbicara. Hierarki ras dan gender yang problematik ini memengaruhi bagaimana wacana tanggung jawab dan kepedulian diproduksi.
Ketiadaan suara di luar "ahli" yang sudah mapan sangat terasa dalam diskusi tentang solusi potensial dan just transition. Krisis iklim nggak cuma masalah lingkungan, tapi juga masalah moral karena penyebab dan akibatnya nggak merata. Film dokumenter nggak akan bisa mencapai perubahan yang berarti kalau mereka gagal mengkritik sistem yang mereka identifikasi sebagai penyebab krisis iklim.
Pentingnya Perspektif Lokal dan Pemberdayaan Masyarakat Adat
Endah Sulistianti menganjurkan film dokumenter lingkungan lokal, seperti yang berasal dari Indonesia. Film-film kayak Sexy Killers (2019) dan Pulau Plastik (2021) mengambil pendekatan investigasi dan aktivis buat mengungkap hubungan korporasi dan politik dengan degradasi lingkungan. Ini memicu diskusi publik dan aktivisme. Dia mengkritik film-film dokumenter produksi Barat, yang fokus pada konservasi dan perubahan iklim dari perspektif ilmiah. Sebaliknya, film lokal menyoroti perjuangan sosial-politik dan memberdayakan masyarakat adat, menyalahkan elit yang berkuasa atas eksploitasi sumber daya alam.
Kesimpulan: Lebih dari Sekadar Menonton
Lewat film dokumenter, kita jadi bisa ngintip kehidupan orang-orang yang berada di garis depan perubahan iklim dan terinspirasi dari tindakan mereka. Perilaku mereka menantang sistem pengambilan keputusan, bikin kita sadar betapa transformatifnya tindakan individu. Film dokumenter menantang asumsi bahwa retorika budaya yang dominan itu selalu benar dan mendorong kita buat mempertanyakan status quo.
Tapi, bagaimana isu itu dibingkai adalah segalanya. Dengan menyajikan kisah-kisah transformatif tentang keadilan lingkungan, pembuat film dokumenter bisa mendorong penonton buat mempertanyakan peran mereka sendiri dalam memperbaiki situasi dan apakah ada kelompok yang berhak menghancurkan ekosistem dan mengancam kelangsungan hidup spesies. Dengan begitu, mereka bisa membentuk ide dan menginformasikan langkah selanjutnya. Jadi, next time mau nonton film dokumenter, pilih yang nggak cuma bikin kita sedih, tapi juga kasih kita harapan dan inspirasi buat bertindak!