Popular Now

Pandemi Agreement WHO: Apa Artinya Bagi Generasi Muda Indonesia?

Hidden Cameras: Dari Indie Boy Jadi Bad Boy Lewat Musik Elektro Berlin yang Meditatif

CIFTIS: Siswa Indonesia Promosikan Budaya, Banggakan Negeri

Penguasa Indonesia Mencoba Mengubur Kejahatan Suharto

Siapa bilang sejarah itu membosankan? Coba deh bayangin, apa jadinya kalau sejarah Indonesia tiba-tiba di-edit ulang layaknya video TikTok? Lebih parah lagi, yang ngedit orang yang punya agenda tersembunyi. Ini bukan lagi soal masa lalu, tapi soal masa depan kita.

Mengapa Sejarah Indonesia Lagi-Lagi Jadi Sorotan?

Sejarah itu kayak password buat masa depan. Siapa yang pegang password-nya, dia yang bisa ngatur arahnya. Nah, belakangan ini, ada isu panas tentang upaya revisi sejarah Indonesia yang melibatkan tokoh kontroversial. Bukan revisi yang bikin kita makin pintar, tapi malah bikin bingung dan bisa jadi malah misleading. Tujuan awalnya sih katanya mulia: decolonize sejarah. Tapi, kok caranya malah kayak mau balikin kita ke zaman Orde Baru?

Fadli Zon dan Ambisi “Meluruskan” Sejarah: Beneran Lurus?

Kita kenalan dulu sama tokoh utamanya: Fadli Zon, yang sekarang menjabat sebagai Menteri Kebudayaan. Beliau ini, well, sosok yang menarik. Dulu aktif di era Orde Baru, sekarang posisinya strategis banget. Proyek revisi sejarah ini targetnya selesai pas HUT RI ke-80, Agustus 2025. Katanya sih mau jadi “kado” buat bangsa. Tapi, banyak yang curiga, ini kado atau malah prank?

Yang bikin deg-degan, proyek ini bakal menghilangkan peran penting perempuan, kelompok minoritas, dan gerakan kiri. Selain itu, pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh tokoh-tokoh kanan juga berpotensi dihilangkan dari catatan sejarah. Ini bukan sekadar revisi, tapi penghapusan memori kolektif bangsa.

Alarm Bahaya dari Para Sejarawan

Untungnya, masih banyak sejarawan yang aware dan nggak tinggal diam. Bonnie Triyana, misalnya, seorang sejarawan dan anggota parlemen, sudah menyuarakan kekhawatirannya tentang transparansi proyek ini. Katanya, kok kayaknya ada yang disembunyiin?

Asvi Warman Adam, seorang profesor riset senior, juga nggak kalah kritis. Beliau udah lama meneliti tentang rekayasa sejarah di era Orde Baru, dan proyek ini dianggapnya sebagai upaya cuci tangan yang bermotif politik. Bahkan, Adrian Perkasa, seorang peneliti muda, khawatir kalau proyek ini bakal mengabaikan sejarah perempuan dan kelompok minoritas.

Mengapa Tragedi 1965-66 Jadi Fokus Utama?

Nggak heran kalau peristiwa 1965-66 jadi pusat perhatian dalam revisi ini. Tragedi yang menewaskan ratusan ribu hingga jutaan jiwa ini masih jadi luka yang belum sembuh. Selama puluhan tahun, narasi Orde Baru yang menyalahkan PKI terus didengungkan.

Setelah reformasi, banyak fakta baru yang terungkap. Tapi, sekarang, ada upaya sistematis untuk membalikkan fakta tersebut. Dewan Rekonsiliasi Sejarah Nasional yang dibentuk Fadli Zon dipenuhi oleh akademisi pro-militer, pembela Soeharto, dan tokoh Islam konservatif. Mereka mulai menerbitkan white paper yang meremehkan skala kekerasan dan menegaskan kesalahan PKI.

Kurikulum Baru: Cuci Otak Generasi Muda?

Dampak paling terasa dari revisi ini adalah di ruang kelas. Draf kurikulum baru yang bocor ke publik menunjukkan perubahan drastis dalam narasi sejarah Indonesia. Kontribusi organisasi kiri dan gerakan buruh dikecilkan atau dihilangkan sama sekali. Soekarno, yang dulunya dipuja sebagai bapak bangsa, digambarkan sebagai sosok yang ragu-ragu dan nyaris menjerumuskan bangsa ke jurang komunisme. Sebaliknya, Soeharto dan militer dipuja-puja sebagai penyelamat bangsa yang disiplin dan menjaga persatuan. Ini mah bukan pelajaran sejarah, tapi propaganda terselubung!

Yang lebih parah lagi, pemahaman tentang kolonialisme juga diubah. Panitia revisi menekankan harmoni pra-kolonial dan “nilai-nilai peradaban Asia,” seolah-olah imperialisme Eropa itu cuma kejadian nggak enak yang justru memperkuat identitas Indonesia. Come on, nggak gitu juga kali! Ini namanya menghilangkan fakta tentang eksploitasi kejam dan dehumanisasi masyarakat pribumi.

Bukan Sejarah Nasional, Tapi Sejarah Hegemonik

Fadli Zon dan para pendukungnya mengklaim bahwa proyek ini adalah koreksi terhadap “bias liberal” dalam kajian sejarah. Tapi, sejak kapan kurikulum nasional kita condong ke kiri? Bahkan selama era Reformasi, membahas pembantaian 1965 saja masih tabu. Yang ditawarkan Fadli bukanlah sejarah “nasional,” tapi sejarah hegemonik: mitos persatuan abadi, kekerasan yang dibenarkan, dan otentisitas etnis yang disponsori negara.

Dengan menjelekkan kaum kiri dan memuliakan ketertiban militer, sejarah yang direvisi ini membuka jalan bagi pemerintahan yang lebih otoriter dan kolusi yang lebih dalam antara negara dan industri ekstraktif. Ini bukan tentang dekolonisasi sejarah — ini tentang rekolonisasi atas nama modal dan kontrol.

Jangan Biarkan Sejarah Dicuri!

Salah satu aspek yang paling berbahaya dari proyek ini adalah dampaknya pada memori kolektif. Jika kurikulum Fadli diterapkan, seluruh generasi muda Indonesia akan tumbuh dengan mempelajari versi sejarah yang bersih, nasionalis, dan misleading. Ini adalah pencurian memori, dan dengan itu kemungkinan keadilan. Tanpa kebenaran sejarah, tidak akan ada rekonsiliasi yang berarti.

Tapi, jangan putus asa! Masih ada harapan. Ada koalisi sejarawan progresif, kelompok mahasiswa, dan pekerja budaya yang mulai mengorganisir pengajaran alternatif dan menerbitkan buku teks tandingan secara online. Organisasi korban mengadakan aksi unjuk rasa publik dan membacakan nama-nama orang yang hilang.

Semoga momentum ini dapat dimanfaatkan tidak hanya untuk menentang revisionisme Fadli, tetapi untuk memajukan visi radikal sejarah Indonesia: yang memusatkan perjuangan buruh, petani, perempuan, dan masyarakat adat; yang menceritakan kebenaran tentang imperialisme, militerisme, dan genosida; yang membekali generasi berikutnya untuk memperjuangkan masa depan yang lebih adil dan demokratis.

Sejarah itu bukan arsip mati. Ini adalah medan pertempuran, dan saat ini pertempuran itu sedang berlangsung di Indonesia. Yang dipertaruhkan bukan hanya masa lalu, tetapi kemungkinan-kemungkinan masa depan. Jangan sampai kita kecolongan! Kita harus melek sejarah, kritis, dan berani bersuara. Kalau nggak, sejarah bakal berulang, dan kita semua yang rugi.

Previous Post

Rolling Stones Symphonic Tribute: Getaran Rock Legendaris di Athena, 7 September

Next Post

Nintendo Switch 2: Daftar Terlaris eShop 17 Agustus 2025

Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *