Dark Mode Light Mode

Pentagram Batalkan Tur Australia Usai Kasus Kekerasan Bobby Liebling Kembali Mencuat

Kabar mengejutkan datang dari dunia musik doom metal. Band veteran asal Virginia, Pentagram, terpaksa menunda tur Australia dan Selandia Baru mereka yang seharusnya berlangsung bulan depan. Kenapa? Yuk, kita bedah masalahnya!

Pentagram Australia & Selandia Baru: Tur Batal, Ada Apa Gerangan?

Kabar ini bukan tanpa alasan. Promotor Hardline Media mengumumkan penundaan tur tersebut setelah adanya sorotan tajam terhadap kasus hukum Bobby Liebling, vokalis Pentagram, di masa lalu. Kasusnya bukan kaleng-kaleng, lho.

Liebling, pada tahun 2017, divonis bersalah atas tindak kekerasan terhadap orang dewasa yang rentan. Lebih spesifiknya, ia melakukan kekerasan terhadap ibunya sendiri yang berusia 87 tahun. Vonisnya termasuk 18 bulan penjara dan tiga tahun masa percobaan. Pentagram sempat tur tanpa dirinya saat itu.

Organisasi Red Heart Campaign, yang dipimpin oleh jurnalis dan aktivis Sherele Moody, kembali mengangkat kasus ini ke permukaan, sehingga membuat banyak pihak mempertimbangkan kembali kelayakan Pentagram untuk tampil di Australia dan Selandia Baru.

Pernyataan resmi dari Hardline Media, yang kini sudah dihapus, menyebutkan bahwa penundaan tur ini dilakukan karena adanya allegations (duh, bahasa Inggris kepeleset) seputar tur Pentagram. Mereka juga menegaskan bahwa visa belum diterbitkan dan tidak ada venue atau staf yang terlibat dalam allegations tersebut.

Jadi, bisa dibilang, batalnya tur ini lebih karena tekanan publik dan pertimbangan moral, bukan masalah logistik semata. Kasus ini menjadi pengingat bahwa masa lalu, meskipun sudah berlalu, tetap bisa menghantui. Apalagi kalau rekam jejak digitalnya masih ada di mana-mana.

Viral di TikTok, Lalu Tersandung Kasus Lama? Ironi Pentagram

Ironisnya, Pentagram sempat viral di TikTok beberapa waktu lalu. Meme tentang ekspresi intens Bobby Liebling saat membawakan lagu “The Ghoul” di California mendadak jadi perbincangan. Bahkan, band ini ikut merespons dengan membuat versi Lego dan boneka dari meme tersebut di akun Instagram mereka.

Dari meme viral, lalu jadi berita karena kasus lama, inilah internet. It’s a wild ride, seperti kata anak zaman sekarang. Fenomena ini juga menunjukkan bagaimana media sosial bisa menjadi pedang bermata dua, mengangkat popularitas seseorang, tapi juga bisa membongkar aib masa lalunya. Remember, the internet never forgets!

Dampak Pembatalan Tur: Lebih dari Sekadar Kekecewaan Fans

Pembatalan tur ini tentu saja mengecewakan para penggemar Pentagram di Australia dan Selandia Baru. Mereka sudah lama menantikan penampilan band doom metal legendaris ini. Tapi, dampaknya lebih dari sekadar kekecewaan.

Kasus ini memicu perdebatan tentang cancel culture dan akuntabilitas publik. Apakah seseorang yang pernah melakukan kesalahan di masa lalu berhak mendapatkan kesempatan kedua? Di mana batasan antara redemption (penebusan dosa) dan pembiaran? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak mudah dijawab dan seringkali memicu perdebatan sengit.

Selain itu, pembatalan tur ini juga bisa berdampak pada reputasi Pentagram. Meskipun mereka adalah band legendaris dengan basis penggemar yang loyal, kasus Liebling tetap menjadi noda yang sulit dihilangkan. Brand image band ini mungkin akan tercoreng di mata sebagian orang.

Lebih jauh, kasus ini juga memberikan pelajaran penting bagi para musisi dan figur publik lainnya. Bahwa tindakan mereka di masa lalu bisa berdampak pada karir mereka di masa depan. Jadi, berhati-hatilah dengan apa yang Anda lakukan dan katakan, karena everything you do will come back to haunt you (mungkin tidak se-ekstrem itu, tapi intinya sama).

Refleksi: Antara Musik, Moral, dan Akuntabilitas

Kasus Pentagram ini memaksa kita untuk merenungkan hubungan antara musik, moral, dan akuntabilitas. Apakah kita bisa memisahkan karya seni dari sosok penciptanya? Apakah kita harus memberikan kesempatan kedua kepada orang yang pernah melakukan kesalahan di masa lalu?

Tidak ada jawaban tunggal untuk pertanyaan-pertanyaan ini. Setiap orang memiliki pandangannya masing-masing. Tapi yang jelas, kasus Pentagram ini menunjukkan bahwa isu-isu moral dan etika semakin penting dalam industri hiburan.

Konsumen semakin cerdas dan kritis. Mereka tidak hanya ingin menikmati musik yang bagus, tapi juga ingin mendukung artis yang memiliki nilai-nilai yang sejalan dengan mereka. Jadi, para musisi dan figur publik harus lebih berhati-hati dan bertanggung jawab atas tindakan mereka.

Pada akhirnya, kasus Pentagram ini adalah pengingat bahwa nothing is ever black and white. Ada nuansa abu-abu dalam setiap situasi. Dan sebagai konsumen, kita harus bijak dalam menilai dan memutuskan siapa yang pantas kita dukung.

Jadi, pelajaran penting yang bisa kita petik dari kasus ini adalah: be mindful of your actions, because the internet never forgets, and your past can always come back to haunt you. Dan sebagai konsumen, be a conscious consumer and support artists who align with your values.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Ali-A Gabung PuK Gaming: Investasi dan Kepemilikan Baru

Next Post

Pelaporan Media Akurat tentang Sekolah Rakyat: Masa Depan Pendidikan Dipertaruhkan