Dark Mode Light Mode

Perbedaan tujuan pendanaan menghambat mobilisasi modal filantropi dalam blended finance di Indonesia

Pernah merasa seperti lagi nge-date, tapi gebetanmu malah ngomongin kerjaan? Nah, kira-kira begitu deh gambaran miss-alignment antara tujuan blended finance dan filantropi di Asia Tenggara. Padahal, potensi dana yang belum tergarap itu gede banget! Masalahnya, yang satu fokus bangun infrastruktur energi bersih, yang lain lebih peduli dampak sosial langsung ke masyarakat. Jadi, gimana dong biar match?

Dompet Kemanusiaan vs. Pembangkit Listrik: Mencari Titik Temu

Blended finance, sederhananya, adalah cara mengumpulkan modal dengan menggabungkan investor yang berani ambil risiko (seperti bank pembangunan multilateral, lembaga keuangan pembangunan, filantropi, atau pemerintah) untuk menarik investor komersial. Ibaratnya, investor "berani" ini jadi umpan biar investor "mainstream" ikut nyemplung. Tujuan utamanya sih mendanai proyek-proyek yang awalnya dianggap terlalu berisiko atau kurang menguntungkan.

Di Asia Tenggara, blended finance seringkali digunakan untuk proyek-proyek infrastruktur yang mendukung transisi energi bersih. Ini penting, mengingat kebutuhan kita akan energi yang berkelanjutan. Namun, keluarga-keluarga kaya di Asia Tenggara (yang notabene sumber dana filantropi yang potensial) lebih tertarik pada proyek yang memberikan dampak sosial langsung, seperti solusi berbasis alam, kesehatan, atau pendidikan.

Bayangkan deh, kamu punya duit banyak dan pengen bantu orang. Pasti lebih sreg kalau hasilnya kelihatan langsung, kan? Misalnya, bangun sekolah atau rumah sakit. Nah, proyek infrastruktur, meski penting, dampaknya seringkali gak se-instan itu. Inilah gap yang perlu dijembatani.

Menurut Ritesh Thakkar, penasihat senior di Convergence, banyak bank pembangunan multilateral (MDB) dan lembaga keuangan pembangunan (DFI) yang mengejar-ngejar lembaga filantropi untuk mendanai proyek infrastruktur. Sayangnya, pendekatan ini kurang efektif karena perbedaan tujuan tadi. Penting untuk memahami peran filantropi dan sektor apa yang lebih menarik bagi mereka.

Masalah lainnya, belum ada panduan yang jelas tentang bagaimana lembaga filantropi dapat menginvestasikan dana mereka dalam proyek infrastruktur energi bersih. Ibaratnya, gak ada user manual yang bikin mereka yakin investasi ini aman dan berdampak positif. Akibatnya, potensi dana filantropi di Asia Tenggara belum dimaksimalkan.

Pertanian: Gerbang Filantropi Menuju Ekonomi Rendah Karbon

Thakkar berpendapat bahwa sektor pertanian bisa menjadi jembatan antara filantropi dan transisi energi. Proyek blended finance di sektor ini berpotensi memberikan dampak langsung kepada petani dan masyarakat sekitarnya, sekaligus berkontribusi pada ketahanan pangan di ASEAN.

Misalnya, penggunaan teknologi pertanian berkelanjutan yang ramah lingkungan. Ini bukan cuma meningkatkan hasil panen, tapi juga mengurangi emisi gas rumah kaca. Lebih jauh lagi, proyek pertanian bisa menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat lokal. Nah, ini kan win-win solution banget!

Selain pertanian, sektor kesehatan dan solusi berbasis alam juga berpotensi menarik minat filantropi. Proyek-proyek di sektor ini menunjukkan potensi komersial yang menjanjikan, sehingga lebih menarik bagi investor yang mencari impact investing. Sementara itu, sektor pendidikan masih menghadapi tantangan dalam menarik dana filantropi.

Lokal Lebih Vokal: Mengapa Mobilisasi Dana Domestik Penting

Selain dana filantropi, sumber pendanaan lain yang belum dimaksimalkan di Asia Tenggara adalah dana publik. Selama ini, dana pemerintah lebih sering digunakan untuk program bantuan sosial. Padahal, ada peluang besar untuk menyalurkan dana publik melalui lembaga keuangan pembangunan lokal (LDFI).

LDFI punya keunggulan dalam memberikan solusi yang disesuaikan dengan kebutuhan lokal. Mereka bisa bekerja sama dengan pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya untuk mencapai target iklim nasional dan prioritas kebijakan. Mereka juga bisa memberikan pembiayaan dalam mata uang lokal, yang mengurangi biaya modal dan memudahkan proyek untuk berjalan.

Mobilisasi dana lokal semakin penting mengingat pemotongan bantuan asing di berbagai negara maju. Amerika Serikat, Inggris, dan beberapa negara Eropa telah mengurangi pendanaan untuk Bantuan Pembangunan Resmi (ODA). Padahal, lembaga donor dari negara-negara maju ini seringkali menjadi investor utama dalam blended finance.

Beberapa negara di Asia Tenggara, seperti Indonesia, Vietnam, dan Filipina, sudah memiliki LDFI sendiri. Pertanyaannya adalah, bagaimana LDFI ini dapat memainkan peran yang lebih besar dalam mendorong solusi lokal dan pembiayaan dalam mata uang lokal? Thakkar menekankan pentingnya mobilisasi dana lokal untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.

Convergence saat ini bekerja sama dengan Program Pembangunan PBB (UNDP) untuk mengembangkan kerangka kerja blended finance bagi pasar negara berkembang di Asia. Tujuannya adalah untuk meningkatkan mobilisasi modal lokal yang sesuai dengan konteks masing-masing negara.

Resep Sukses: Regulasi, Strategi, dan Platform Terstandarisasi

Asia Tenggara punya modal yang cukup untuk menarik dana lokal ke sektor-sektor yang belum tergarap. Wilayah ini memiliki PDB per kapita yang sehat, tingkat tabungan yang baik, sektor keuangan yang kuat dengan likuiditas yang cukup, dan pasar modal yang relatif berkembang.

Menurut Thakkar, intervensi regulasi yang tepat, pemikiran strategis dari pihak konsesi dan komersial, serta platform yang terstandarisasi untuk transaksi blended finance adalah resep yang baik. In short, semuanya harus terstruktur dan jelas biar investor gak bingung.

Dengan kata lain, pemerintah perlu membuat kebijakan yang mendukung blended finance. Investor perlu punya strategi yang jelas tentang bagaimana mereka akan berinvestasi. Dan semua transaksi perlu dilakukan melalui platform yang aman dan terpercaya. Kalau semua ini terpenuhi, blended finance di Asia Tenggara bisa booming!

Pada akhirnya, kuncinya adalah alignment. Menyelaraskan tujuan investasi dengan kebutuhan masyarakat, menggabungkan sumber dana yang berbeda, dan menciptakan ekosistem yang mendukung. Barulah, dompet kemanusiaan dan pembangkit listrik bisa berdampingan dengan harmonis.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Penyanyi Hot Era 80-an, 64, Reuni Band Setelah 40 Tahun, Penggemar Histeris

Next Post

MUDANG: Dua Hati Suntikkan Energi Call of Duty, Splinter Cell, dan Blackpink ke PS5