Dark Mode Light Mode

Perempuan yang Dilupakan Grunge

Grunge: Lebih dari Sekadar Kemeja Flanel dan Kurt Cobain

Kita semua tahu scene grunge era '90-an: kemeja flanel, rambut gondrong, dan tentunya, lagu-lagu penuh amarah dari band-band seperti Nirvana dan Pearl Jam. Tapi, pernahkah kita bertanya-tanya, kemana perginya para wanita yang juga berjuang di scene yang sama? Sejarah sering kali melupakan kontribusi mereka, seolah-olah mereka hanya cameo dalam film yang didominasi pria. Padahal, mereka juga punya gitar, punya drum, dan punya suara yang lantang.

Sejarah sering kali ditulis oleh para pemenang, dan dalam kasus grunge, pemenangnya adalah para pria. Namun, mari kita sedikit koreksi sejarah ini. Ada band-band keren seperti L7, Babes in Toyland, dan 7 Year Bitch yang sebenarnya sudah rocking lebih dulu daripada banyak band pria. Akan tetapi, ketika album Nevermind milik Nirvana meledak pada tahun 1991, sorotan langsung tertuju pada mereka.

Bahkan, ada anekdot menyedihkan dari Jennifer Finch, bassist L7, yang menunjukkan sampul majalah yang menampilkan mantan pacarnya, Dave Grohl (mantan drummer Nirvana dan frontman Foo Fighters). Finch berkata dengan nada getir, "Ke mana pun aku pergi, ke mana pun aku berbalik, aku melihat wajah sialan ini." Sementara itu, album L7 yang mendapat pujian kritis, Bricks Are Heavy (1992), hanya mencapai peringkat ke-160 di tangga lagu Billboard. Sungguh ironis.

Saat Wanita Grunge Diabaikan: Lebih dari Sekadar "Babes in Boyland"

Ironisnya, bahkan ketika band-band wanita berhasil menembus kebisingan, mereka tetap tidak aman dari marginalisasi oleh media. Misalnya, sampul majalah Spin tahun 1993 menampilkan L7 dengan tulisan "More Than Babes in Boyland," yang secara tidak langsung meremehkan dua band groundbreaking sekaligus dan menciptakan persaingan palsu antar wanita. Donita Sparks, vokalis L7, dengan tegas menyatakan, "Kami tidak ingin nama yang gender-specific. Kami menjadi wanita bukanlah platform politik." Jadi, kenapa selalu soal gender?

Bahkan band-band "riot grrrl" yang berorientasi pada feminisme, seperti Bikini Kill dan Sleater-Kinney, menghadapi perlakuan yang lebih buruk. Mereka direduksi menjadi tren mode, diejek, atau hanya ditanyai tentang trauma mereka. Bayangkan, band yang punya pesan kuat tentang pemberdayaan wanita justru hanya ditanyai soal pengalaman buruk mereka. Corin Tucker dari Sleater-Kinney bahkan mengatakan bahwa jurnalis menolak untuk melakukan wawancara serius dengan mereka. Seriously?

Tina Bell: Ibu Grunge Kulit Hitam yang Terlupakan

Lalu, bagaimana dengan wanita kulit berwarna? Mereka nyaris dihapus dari sejarah grunge. Tina Bell, seorang wanita kulit hitam yang memimpin band Bam Bam dari Seattle, turut membentuk suara grunge di awal tahun 80-an. Namun, namanya jarang sekali disebut dalam retrospektif. Stephanie Siek menulis di Medium bahwa suara genre modern ini, dalam banyak hal, dibentuk oleh seorang wanita kulit hitam. Alasan Bell terlupakan sepenuhnya berkaitan dengan rasisme dan misogini. Ini bukan hanya soal rock and roll, ini soal keadilan.

Bahkan di era nostalgia grunge saat ini, dengan peringatan 30 tahun dan reissue album, eksklusi ini masih berlanjut. Lisa Whittington-Hill mencatat bahwa tidak ada satu pun wanita dalam polling pembaca Rolling Stone tahun 2012 tentang album grunge terbaik sepanjang masa. Para wanita sering kali "diberi legitimasi berdasarkan kedekatan mereka dengan musisi pria yang lebih sukses." Ini seperti diberi tepukan di punggung sambil berkata, "Lumayanlah untuk ukuran wanita."

Politik Progresif: Siapa yang Memberi Inspirasi?

Kurt Cobain dan Eddie Vedder dipuji karena pandangan politik progresif mereka. Namun, jarang sekali kita mendengar tentang wanita yang membantu membentuk pandangan tersebut, seperti Kathleen Hanna dan Tobi Vail. Mereka inilah yang sebenarnya berada di balik layar, memberikan ide dan perspektif baru. Apakah ini berarti Cobain dan Vedder tidak memiliki pikiran sendiri? Tentu tidak. Tapi, mari akui bahwa inspirasi bisa datang dari mana saja, dan sering kali, inspirasi itu berasal dari wanita.

Tiga dekade kemudian, mitos grunge masih perlu direvisi secara serius. Seperti yang dikatakan Allison Wolfe, vokalis Bratmobile, pada tahun 2021, ini bukan tentang menjadi wanita di genre yang didominasi pria; ini tentang didengar. "Ini tentang merintis jalan untuk memiliki suara," katanya. "Dan mengetahui bahwa bahkan jika kita tidak memiliki keterampilan musik, kita memiliki sesuatu untuk dikatakan yang lebih menarik daripada setengah omong kosong yang diucapkan para pria ini." Mic drop.

Mengapa Suara Wanita Penting dalam Sejarah Musik (dan Grunge)?

Sejarah musik sering kali menceritakan kisah tentang inovasi, inspirasi, dan pemberontakan. Tapi, bagaimana jika setengah dari cerita itu hilang? Suara wanita dalam grunge, dan dalam musik secara umum, bukan hanya soal kesetaraan gender. Ini tentang melengkapi narasi, memberikan perspektif yang lebih kaya, dan menghormati kontribusi semua orang yang terlibat.

Merayakan Warisan: Lebih dari Sekadar Nostalgia

Nostalgia itu menyenangkan, tapi sejarah yang akurat itu lebih penting. Ketika kita merayakan warisan grunge, mari kita pastikan bahwa kita merayakan semua orang yang berkontribusi, bukan hanya yang paling terkenal.

Grunge: Lebih dari Sekadar Musik. Ini Soal Perspektif!

Musik adalah refleksi dari masyarakat, dan masyarakat kita masih memiliki pekerjaan rumah dalam hal kesetaraan gender. Dengan mengakui kontribusi wanita dalam grunge, kita tidak hanya merevisi sejarah musik, tapi juga membangun masa depan yang lebih inklusif. Jadi, lain kali ketika Anda mendengar lagu grunge, ingatlah para wanita yang juga berjuang di scene yang sama. Siapa tahu, mungkin Anda akan menemukan hero baru.

Mari kita pastikan bahwa generasi mendatang tahu bahwa grunge itu tidak hanya tentang pria dan kemeja flanel. Ini tentang keberagaman, pemberdayaan, dan suara-suara yang lantang, tanpa memandang gender. Ingat, perspektif wanita bisa mengubah cara kita melihat dunia. Dan dalam kasus grunge, perspektif itu sangat dibutuhkan.

Kesimpulan: Grunge Bukan Monolog, Tapi Dialog!

Intinya? Grunge itu harusnya menjadi percakapan, bukan monolog yang didominasi satu jenis suara saja. Dengan mendengarkan, mengakui, dan merayakan kontribusi wanita dalam grunge, kita tidak hanya menghormati masa lalu, tapi juga membuka jalan bagi masa depan yang lebih inklusif dalam dunia musik.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

NotebookLM Ternyata Jauh Lebih Dahsyat dari Perkiraanku

Next Post

BP Haji Puji Peningkatan Pengelolaan Haji Saudi: Kuota Haji Indonesia Bisa Bertambah