Dark Mode Light Mode

Perjuangan Raja Ampat Melawan Cyanobacteria: Dampaknya Bagi Pariwisata

Jangan kaget kalau liburan impianmu ke Raja Ampat jadi agak… berbeda dari foto-foto Instagram. Dibandingkan karang warna-warni, mungkin kamu lebih banyak melihat "lumut" hijau kebiruan. Tenang, ini bukan efek filter, tapi masalah serius yang sedang dihadapi surga bawah laut kita.

Raja Ampat, dengan lebih dari 1700 pulau, dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati laut terkaya di dunia. Paus, pari manta, hiu, dan ribuan spesies ikan berenang bebas di perairan khatulistiwa ini. Bayangkan kehidupan sederhana di pulau-pulau kecil, air hujan sebagai shower, dan listrik yang hanya menyala di malam hari. Pulau Arborek, permata kecil di antara Mansuar dan Waigeo, adalah rumah bagi sekitar 200 orang yang hidup selaras dengan laut. Namun, perubahan yang didorong oleh aktivitas manusia terjadi jauh lebih cepat daripada yang bisa mereka jelaskan.

Sejak 2017, perkembangan pariwisata di Arborek cukup pesat. Homestay bermunculan, "liveaboard" (kapal pesiar) mengepung pulau saat musim ramai. Turis berjalan-jalan mencari bir dingin, berfoto selfie dengan anak-anak lokal, dan terkadang, tanpa sadar, menyinggung norma masyarakat dengan pakaian yang terlalu minim. Memang, pariwisata memberikan dampak ekonomi positif, dan bisa menjadi berkah bagi daerah terpencil seperti Raja Ampat, jika dikelola dengan benar.

Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Raja Ampat bertanggung jawab mengelola Kawasan Konservasi Perairan (KKP) dan berjanji menjamin pariwisata berkelanjutan, perlindungan lingkungan, dan manfaat bagi masyarakat lokal. Raja Ampat bahkan menjadi yang pertama melarang penangkapan hiu dan melindungi penyu, pari manta, dan dugong melalui hukum. Ini semua keren, tapi ada satu ancaman yang sering terlewatkan: cyanobacteria.

Masalahnya, peningkatan kesadaran lingkungan berbanding terbalik dengan masalah limbah. Kita ngaku cinta Raja Ampat, tapi septic tank di sana udah kewalahan, ditambah lagi perubahan iklim yang bikin hujan makin deras dan suhu laut naik. Hasilnya? Kondisi ideal untuk cyanobacteria berkembang biak.

Cyanobacteria: Si "Lumut" Jahat yang Mengancam Surga Bawah Laut Raja Ampat

Cyanobacteria, mikroorganisme kuno yang seharusnya hidup dalam jumlah kecil, tiba-tiba muncul lebih sering, menyebar lebih cepat, dan membentuk lapisan tebal di atas karang yang dulunya indah. Bayangkan karang yang tadinya hidup, dalam seminggu berubah pucat pasi dan tertutup "kabut" hijau. Upaya restorasi karang pun jadi sia-sia. Cyanobacteria ini bandel, ga kayak alga yang mati dan hancur. Dia bisa bertahan hidup, menghabisi satu karang demi karang lainnya.

Dr. Erika Gress, seorang ahli ekologi laut yang fokus meneliti ekosistem karang, adalah salah satu ilmuwan yang pertama kali membunyikan alarm. "Saya pernah melihat cyanobacteria menghancurkan seluruh ekosistem tropis," ujarnya dengan nada prihatin. "Karang Raja Ampat memang kuat, tapi dengan kecepatan seperti ini, cyanobacteria akan menang. Karang akan mati lemas dalam beberapa tahun. Kita ga punya banyak waktu!"

Jebakan Wisata: Ketika Surga Digerogoti Limbah

Ironisnya, salah satu pemicu utama ledakan cyanobacteria adalah peningkatan human sewage alias limbah manusia. Toilet sederhana yang dulu cukup untuk populasi pulau yang kecil, kini dikalahkan oleh jumlah turis yang membludak. Toilet baru di dekat pantai mempercepat aliran limbah ke laut, melewatkan proses filtrasi alami. Limbah yang tak diolah dari "liveaboard" juga memperparah situasi.

Pemilik homestay juga punya keluhan serupa. “Ada yang bilang bleaching (pemutihan karang) itu cuma perubahan musim, tapi musim apa yang membunuh karang dan ga nyisain apa-apa? Ini bukan siklus alam, ini bencana yang gagal kita hadapi.” Jadi, masalahnya bukan hanya sunscreen atau penyelam ceroboh yang merusak karang, tapi limbah yang overload.

BLUD dan Pemerintah: Antara Janji Manis dan Tindakan Nyata

Dr. Josie Chandler, kepala ilmu pengetahuan di sebuah LSM, menekankan pentingnya kolaborasi semua pihak: masyarakat, resort, "liveaboard", dan homestay. Tanpa reformasi mendesak, peluang karang untuk pulih akan sangat kecil. Ia sudah mengirimkan alert ke BLUD dan pemerintah daerah, tapi kayaknya belum terlalu didengarkan. Pemerintah dan KKP seolah terputus dari terumbu karang yang mereka janjikan akan dilindungi.

Pada pertemuan stakeholder di Sorong, kepala Dinas Pariwisata bahkan menolak anggapan bahwa negara bertanggung jawab atas pengelolaan limbah. “Sampah itu bukan tanggung jawab negara. Kita semua ada di bumi ini,” ujarnya, sebelum mengalihkan pembicaraan. Kepala BLUD mengakui dampak lingkungan dari limbah, tapi meremehkan konsekuensi jangka panjangnya.

Kolaborasi atau Pembiaran?

Syafrudin Sabonama, ketua PAN Regional Eksekutif Papua Barat Daya, menyerukan tindakan yang lebih tegas. “Jangan cuma bicara tentang kolaborasi sambil menutup mata. Forum ini jangan cuma jadi happy story setelah rapat. Teman-teman LSM kita bawa sumber daya dan pendanaan asing, kerja keras, tapi diabaikan. Jangan sampai orang lain yang kerja, pemerintah yang dapat nama.” Wah, agak spicy ya?

Lalu, apa solusinya? Well, cara paling jelas adalah memasang bio tank dengan sistem drainase yang menyerap nitrogen dari air limbah sebelum masuk ke tanah dan akhirnya mencapai laut. Sistem ini perlu dipasang di mana-mana, termasuk rumah warga, homestay, resort, dan kapal "liveaboard".

Jadi, Raja Ampat, surga bawah laut itu, kini di ujung tanduk. Membutuhkan aksi nyata, bukan janji manis. Kalau kita ga bertindak sekarang, siapa tahu, generasi mendatang cuma bisa lihat keindahan Raja Ampat dari foto lawas aja. Kan, ga lucu.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Laporan Langsung Erupsi dengan Abu Vulkanik Mencapai FL070 Bergerak ke Timur

Next Post

Glamping Bali dengan Sepeda Motor: Petualangan Mewah