Popular Now

Jugband Blues: Ayah Penulis Surat Kabar Terkejut Jadi Bagian dari ‘Sonic Mayhem’ Pink Floyd

Pandemi Agreement WHO: Apa Artinya Bagi Generasi Muda Indonesia?

Taylor Swift Dominasi SiriusXM: Hadirkan “Taylor’s Channel 13” Jelang Album Baru

Pernikahan & Warisan: ‘The Ceremony’ Sentuh Luka Generasi

Menikah itu sakral, katanya. Tapi, kalau sudah menyangkut urusan warisan dan tetek bengek keluarga, beuh… stresnya bisa mengalahkan skripsi yang revisinya nggak kelar-kelar. Nah, drama pernikahan dengan bumbu rumitnya warisan inilah yang diangkat dalam lakon “The Ceremony” karya Mfoniso Udofia. Serunya lagi, lakon ini nggak cuma soal cinta, tapi juga soal identitas dan bagaimana kita merajutnya di tengah perbedaan budaya.

Ketika Cinta Beda Generasi dan Latar Belakang Bertemu

“The Ceremony” ini bagian dari Ufot Family Cycle, sebuah serial drama yang epic banget karena merentang lintas generasi. Kali ini, kita diajak melihat lika-liku pertunangan antara Ekong Ufot, seorang Nigerian-Amerika, dan Lumanthi Rathi, seorang Nepali-Amerika. Hubungan mereka nggak cuma diuji sama perbedaan budaya, tapi juga sama hubungan Ekong dan ayahnya, Disciple, yang nggak akur-akur amat. Udofia bilang, Ekong ini lebih merasa jadi Black American ketimbang Nigerian, dan dia lagi nyari cara buat menyatukan semua identitasnya itu. Kayak lagi main character creation di game RPG, bingung mau pilih skill tree yang mana.

Kadahj Bennett, aktor yang meranin Ekong, ngerasa banget relate sama karakter ini. Bapaknya juga seorang imigran Jamaika, dan dia kehilangan bokapnya pas umur 15. Jadi, dia paham betul gimana rasanya nyari jati diri tanpa sosok ayah. Udofia sukses bikin cerita yang personal dan universal sekaligus.

“The Fresh Prince of Bel-Air” dan Jembatan Budaya

Salah satu daya tarik “The Ceremony” adalah gimana Udofia dengan apik ngegabungin berbagai budaya. Di satu sisi, ada adegan keluarga Lumanthi yang ngobrol dalam bahasa Nepali sambil debat kusir. Di sisi lain, ada doa-doa dalam bahasa Ibibio dan Sansekerta. Tapi, yang paling menarik, ada satu titik temu budaya yang familiar banget buat kita: “The Fresh Prince of Bel-Air”. Ya, sitkom legendaris itu ternyata jadi semacam jembatan buat memahami identitas Ekong. Nggak nyangka, kan, Will Smith bisa jadi bahan analisis drama serius?

Mahima Saigal, aktris yang meranin Lumanthi, juga ngerasa seneng banget karena karakternya punya perkembangan yang kompleks. Soalnya, jarang-jarang ada karakter Asia Selatan yang punya cerita utuh. Biasanya, kan, cuma jadi tempelan doang. Ini kayak nemu easter egg langka di game open-world.

Merajut Identitas di Tengah Gempuran Budaya

Masalah identitas ini emang pelik banget, apalagi buat generasi muda yang lahir dan besar di tengah gempuran budaya global. Kita dituntut buat jadi ini dan itu, buat ngikutin tren, tapi juga nggak boleh lupa sama akar budaya sendiri. Kadang, rasanya kayak lagi main game multiplayer yang semua pemainnya punya aturan main sendiri-sendiri.

Bahasa dan Doa Sebagai Identitas

Udofia pinter banget nggambarin konflik identitas ini lewat bahasa dan doa. Adegan keluarga Lumanthi yang ngobrol dalam bahasa Nepali sambil ribut itu nunjukkin gimana bahasa bisa jadi benteng identitas. Begitu juga dengan doa-doa dalam bahasa Ibibio dan Sansekerta. Bahasa dan doa ini kayak password buat masuk ke dunia yang cuma dimengerti sama orang-orang tertentu. Jadi, jangan heran kalau ada yang marah kalau kita salah nyebutin nama makanan daerahnya. Itu bukan lebay, tapi soal identitas.

Sentilan tentang *Fresh Prince of Bel-Air* juga menarik. Menunjukkan bagaimana pop culture bisa jadi semacam titik temu di tengah perbedaan yang lain. Bahwa, ada identitas budaya yang sama-sama dipahami.

“The Ceremony”: Lebih dari Sekadar Drama Pernikahan

Jadi, “The Ceremony” ini bukan cuma sekadar drama pernikahan biasa. Ini adalah cermin yang memantulkan realita generasi muda yang lagi berjuang nyari jati diri di tengah perbedaan budaya dan tekanan sosial. Lakon ini ngajak kita buat mikir, gimana caranya kita bisa merajut semua identitas yang ada dalam diri kita jadi satu kesatuan yang utuh. Kayak lagi nyusun puzzle yang kepingannya berserakan di mana-mana.

Memahami Makna “Pulang”

Udofia pengen “The Ceremony” ngajarin kita buat berani memulai perjalanan cinta dan penemuan jati diri. Soalnya, buat nyampe ke impian kita, kadang kita harus ngubah perilaku dan keluar dari zona nyaman. Sama kayak kata pepatah, “no pain, no gain“. Tapi, yang lebih penting dari itu, kita juga harus paham apa arti “pulang” buat diri kita sendiri. Apakah pulang itu berarti balik ke akar budaya, atau justru menciptakan rumah baru di tengah perbedaan?

“The Ceremony” dan Refleksi Diri

Kadahj Bennett bilang, “The Ceremony” ini kayak cermin buat dirinya. Dia bisa ngeliat refleksi dirinya sendiri dalam diri Ekong, seorang pemuda yang lagi berjuang nyari jati diri tanpa sosok ayah. Ini nunjukkin gimana seni teater bisa jadi media buat refleksi diri dan memahami pengalaman orang lain. Nggak heran, banyak orang yang bilang nonton teater itu kayak terapi.

Ketika Minoritas Bersuara

Mahima Saigal juga ngerasa seneng banget karena “The Ceremony” ngasih ruang buat karakter Asia Selatan buat bersuara. Soalnya, selama ini karakter minoritas seringkali cuma jadi pelengkap penderita doang. Ini nunjukkin gimana pentingnya representasi dalam seni dan media. Kalau semua karakter cuma diisi sama orang kulit putih dan heteroseksual, kapan kita bisa ngeliat dunia dari perspektif yang berbeda?

Jangan Lupa Beli Tiketnya!

Buat yang penasaran pengen nonton, “The Ceremony” lagi dipentasin di Joan & Edgar Booth Theatre, Boston University, sampai tanggal 5 Oktober. Buruan beli tiketnya sebelum keabisan! Siapa tahu, abis nonton lakon ini, kamu jadi lebih paham sama diri sendiri dan orang-orang di sekitarmu.

Kerja Keras dan Cinta

Udofia berharap, “The Ceremony” bisa menginspirasi orang lain untuk memulai perjalanan cinta dan penemuan jati diri. “Banyak karakter kita yang harus mengubah perilaku mereka untuk mencapai impian mereka,” kata Udofia. “Jadi, saya berharap orang-orang menyadari bahwa kerja itu baik, dan untuk mendapatkan cinta, mungkin ada pekerjaan di sepanjang jalan.” Artinya, semua butuh proses. Nggak ada yang instan, termasuk cinta dan jati diri.

“The Ceremony”: Sebuah Ajakan untuk Berpikir

Pada akhirnya, “The Ceremony” adalah sebuah ajakan untuk berpikir. Berpikir tentang identitas, tentang cinta, tentang keluarga, dan tentang bagaimana kita merajut semua itu jadi satu kesatuan yang utuh. Lakon ini nggak ngasih jawaban yang pasti, tapi justru itu yang bikin menarik. Soalnya, setiap orang punya interpretasi sendiri-sendiri tentang apa arti “pulang” dan bagaimana caranya menemukan jati diri.

Previous Post

Royal Sorrow: ‘Innerdeeps’ Menggebrak Scene Progressive Metal Finlandia

Next Post

indonesian Sarkozy: Mantan Presiden Prancis Dipenjara, Apa Dampaknya Bagi Politik Eropa?

Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *