“Game Over” Beneran atau “Game Never Ends?” Mari Kita Bahas!
Pernah gak sih kalian ngerasa kesel berat waktu game kesayangan tiba-tiba “disunat” alias gak bisa dimainin lagi karena servernya ditutup? Bayangin, udah investasi waktu dan duit, eh, malah jadi pajangan digital doang. Nah, di sinilah gerakan “Stop Killing Games” hadir sebagai pahlawan tanpa jubah (tapi mungkin pake headset gaming?). Gerakan ini bukan sekadar curhat masal, tapi upaya serius buat melestarikan akses ke video game, bahkan setelah “dukungan resmi” dari developer berakhir. Sounds familiar?
Dari mana Ide “Stop Killing Games” Muncul?
Ide ini digagas oleh Ross Scott (Accursed Farms), seorang YouTuber dan gamer yang peduli banget sama nasib game-game yang terancam punah. Bayangin, udah beli game dengan harapan bisa dimainin kapan aja, eh, malah dicabut hak aksesnya. Kan gak lucu. Gerakan ini mulai viral sekitar April 2024 dan langsung dapet dukungan dari banyak gamer yang merasakan hal serupa. Mereka muak ngeliat game yang udah dibeli mahal-mahal jadi unplayable gara-gara server dimatiin. Parahnya lagi, seringkali tanpa peringatan atau kompensasi yang jelas.
Kenapa Ini Penting Banget?
Masalahnya bukan cuma soal game online dengan multiplayer. Sekarang, banyak game single-player juga butuh koneksi internet buat jalan, entah karena DRM (Digital Rights Management), server-side progression, atau konten episodik yang dikunci di download server. Begitu dukungan berakhir, pemain seringkali kehilangan akses ke game yang mereka pikir udah jadi hak milik mereka. Contohnya, game balap The Crew, Battleborn, dan banyak lagi yang udah dinonaktifkan atau dihapus dari toko digital. Tragis! Bahkan, EA juga pernah mengumumkan akan mematikan layanan online untuk Anthem.
Filosofi “Beli Ya Punya, Dong!”
Inti dari gerakan “Stop Killing Games” adalah bahwa jika sebuah game dijual, game itu harus tetap bisa dimainkan dalam bentuk apa pun, bahkan setelah dukungan resmi berakhir. Ini bukan soal menuntut developer untuk terus-terusan maintenance server selamanya, tapi tentang memberi pemain kemampuan untuk melestarikan game tersebut jika mereka mau. Ross Scott sendiri menyuarakan bahwa 68% dari 700 game online yang bergantung pada server, kini tak bisa dimainkan atau akan segera tak bisa dimainkan.
Microsoft emang lumayan oke soal pelestarian game, dengan fitur backward compatibility yang memungkinkan kita main game Xbox dan Xbox 360 di konsol Xbox One dan Xbox Series X|S. Tapi, tetep aja ada batasan, terutama soal lisensi. Bahkan, Microsoft pun gak bisa ngasih akses ke beberapa game karena masalah hak cipta. Di sinilah peran legislasi diperlukan.
Lalu, Apa Solusinya? Offline Mode Jadi Kunci?
Ross Scott mengusulkan beberapa solusi, seperti:
- Menyertakan offline mode di setiap game.
- Merilis server software ke publik agar komunitas bisa bikin server sendiri.
- Memperkenalkan perlindungan hukum yang mengatur hak-hak pemain.
Tujuannya bukan biar semua game online tetep hidup selamanya, tapi biar pemain punya opsi buat melestarikan game favoritnya. Bayangin, bisa main game online kesayangan bareng temen-temen lewat server komunitas, meskipun developer udah angkat tangan. Keren kan?
Kontroversi Ala PirateSoftware: “Stop Killing Games” Kurang Kerjaan?
Jason Hall, yang lebih dikenal dengan nama PirateSoftware, mantan pegawai Blizzard dan streamer Twitch, punya pandangan yang beda. Dia mengkritik gerakan “Stop Killing Games” sebagai sesuatu yang terlalu idealis, kurang praktis, dan membebani indie developer. PirateSoftware juga gak setuju dengan keterlibatan pemerintah, karena menurutnya malah bikin masalah baru.
Efek Streisand: Makin Ditolak, Makin Terkenal!
Kritik PirateSoftware justru jadi bumerang. Videonya memicu backlash dari komunitas gaming. Banyak yang ngerasa dia salah mengartikan tujuan gerakan “Stop Killing Games”. Awalnya, emang ada penurunan jumlah petisi, tapi kemudian, berkat dukungan dari content creator besar, gerakan ini justru makin viral. Istilah kerennya, Efek Streisand, ketika upaya untuk menekan sesuatu malah membuatnya makin dikenal.
Para Influencer Turun Tangan: Dukungan dari MoistCr1TiKaL, PewDiePie, dan Lainnya!
MoistCr1TiKaL merilis beberapa video yang membantah argumen PirateSoftware dan membela pesan inti “Stop Killing Games”. PewDiePie dan Jacksepticeye juga secara terbuka menyatakan dukungan mereka. Bahkan, SomeOrdinaryGamers udah membahas topik ini sejak 2024 dan mempopulerkan quote “Piracy isn’t stealing if Buying Isn’t Owning…”, setelah Ubisoft komentar bahwa gamer tidak memiliki game.
Cara Ikutan Gerakan: Suarakan Hak Kita!
Buat kalian yang setuju dengan ide ini, ada beberapa cara buat ikutan:
- Tanda tangani petisi di situs resmi Stop Killing Games.
- Sebarkan informasi tentang gerakan ini ke temen-temen sesama gamer.
- Dukung content creator yang menyuarakan ide ini.
Gerakan ini udah berhasil mencapai target awal, yaitu satu juta tanda tangan di Uni Eropa. Tapi, perjuangan belum selesai!
“Stop Killing Games” di Eropa: Mendorong Kebijakan yang Pro-Gamer
Tujuan utama dari petisi ini adalah buat memaksa Komisi Eropa untuk mempertimbangkan legislasi baru yang melindungi hak-hak gamer. Ingat waktu Komisi Eropa memaksa Apple buat pake USB-C di iPhone? Nah, tekanan dari EU emang bisa mempengaruhi kebijakan teknologi. Targetnya sekarang adalah 1.5 juta tanda tangan, buat memastikan petisi ini lolos validasi.
Ini Bukan Sekadar Nostalgia, Tapi Hak!
Gerakan “Stop Killing Games” bukan cuma soal nostalgia. Ini tentang hak kita sebagai konsumen. Kita berhak punya akses ke game yang udah kita beli, meskipun developer udah gak support lagi. Ini tentang memberi pemain kebebasan buat melestarikan game favoritnya, entah lewat server komunitas atau peer-to-peer matches.
Game yang Kita Beli, Game yang Kita Punya Selamanya!
Intinya, gerakan “Stop Killing Games” adalah tentang mempertahankan akses ke game yang udah kita bayar, kita nikmati, dan kita sayangi. Kalo bukan kita yang berjuang, siapa lagi? Jadi, tunggu apa lagi? Ayo, suarakan hak kita sebagai gamer! Jangan biarkan game kesayangan kita “mati” sia-sia.