Dulu ada nasihat klise: "Jangan pikirkan gajah merah muda!" Tentu saja, begitu gajah itu muncul di benak, selamat tinggal konsentrasi. Arcade Fire, dengan album ketujuh mereka, Pink Elephant, tampaknya bermain-main dengan ide serupa. Judul lagunya sendiri adalah semacam mind trick: Win Butler memohon seseorang untuk bersenang-senang dan berhenti mengkhawatirkannya, sambil mengakui ketidakmampuannya untuk berhenti memikirkan mereka. Romantis? Mungkin. Rumit? Sudah pasti.
Album ini muncul setelah badai yang cukup besar, yakni tuduhan terhadap Butler terkait perilaku tidak pantas. Tentu saja, sulit untuk tidak memikirkannya saat mendengarkan musik mereka. Kita semua ingat bagaimana dulu mereka dipuja sebagai penerus band-band rock legendaris seperti David Bowie dan Bruce Springsteen. Tapi, apakah gajah merah muda ini akan merusak segalanya?
Kontroversi & Kebangkitan: Bisakah Seni Memisahkan Diri dari Seniman?
Sebuah laporan dari Pitchfork mengungkap beberapa klaim bahwa Butler menggunakan pengaruhnya untuk memaksa wanita muda ke dalam hubungan seksual dan mengirimkan teks yang tidak diinginkan. Responnya? Pengakuan perselingkuhan, namun bantahan terhadap tuduhan yang lebih serius. Istrinya, Régine Chassagne, menyatakan keyakinannya pada suaminya. Hasilnya? Ada yang tetap setia, ada yang kecewa, dan tur tetap berjalan. Ini memunculkan pertanyaan klasik: bisakah kita benar-benar memisahkan seni dari senimannya?
Menjelang Pink Elephant, Arcade Fire memilih jalur yang lebih hati-hati. Tur kecil, aplikasi eksklusif, dan penampilan singkat di SNL. Band ini menghindari wawancara mendalam. Ingat bagaimana dulu mereka selalu blak-blakan dan kadang kontroversial? Album Everything Now (2017), misalnya, datang dengan komentar meta tentang negativitas media sosial. Kali ini, mereka memilih untuk bermain aman.
Pink Elephant: Menyembuhkan Luka atau Menghindari Konfrontasi?
Pink Elephant seolah mencoba menavigasi badai, dengan tema-tema tentang melewati masa sulit. Lagu-lagu cinta dan komitmen yang diperbarui mendominasi. Dalam "Year of the Snake," Chassagne bernyanyi, "It's the time of the season when you think about leaving." Butler kemudian merespon, "I tried to be good / But I’m a real boy / My heart’s full of love / It’s not made out of wood." Apakah ini permintaan maaf? Pengakuan? Atau hanya lirik yang bagus?
Dalam "Alien Nation," Butler seolah berteriak kepada musuh-musuhnya, mengklaim mengembalikan "pain they would like to or could have caused" him "with love." Seolah-olah Pink Elephant berkata, "Kami tidak akan pergi, dan kami akan terus maju." Band ini ingin segera kembali menghangatkan hati pendengar. Sayangnya, beberapa penggemar masih berjuang untuk mengatasi perasaan campur aduk mereka.
Musik yang Bikin Nostalgia: Apakah Arcade Fire Terjebak di Masa Lalu?
Bekerja sama dengan Daniel Lanois, produser yang pernah bekerja dengan U2 dan Peter Gabriel, Arcade Fire menciptakan suara yang lebih gritty dan claustrophobic daripada WE. Eksperimen genre terasa seperti throwback, seolah Anda sedang mendengarkan radio rock di jam makan siang. Ada sedikit Durutti Column, sedikit New Order, bahkan sedikit Cutting Crew. Arcade Fire memang bukan orang asing dalam hal eksplorasi musik.
Sayangnya, Pink Elephant terlalu banyak memberi ruang pada suara-suara yang mengingatkan kita pada resepsi pernikahan Generasi X, dan kurang fokus pada arah yang lebih baru. Elephant ditutup dengan "Stuck in My Head," lagu yang mengingatkan kita pada "Rebellion (Lies)" dari album Funeral. Apakah band ini secara sadar menelusuri kembali langkah-langkah mereka sendiri?
Harapan Palsu atau Kejujuran yang Tulus?
Elephant terasa seperti hopepunk ala Chris Martin: optimisme yang berlebihan dan kejujuran yang klise. Lagu-lagu dance-rock memberikan energi pada album ini, tetapi seringkali lagu-lagu yang sederhana dan jujur yang paling berkesan. "Ride or Die," misalnya, adalah tentang keinginan untuk menghilang ke dalam kehidupan lain, bahkan bekerja nine-to-five asalkan bisa bersama orang yang dicintai.
Sebaliknya, "Alien Nation" terasa canggung, mencoba mencampuradukkan anomie Everything Now dengan electro-rock yang kurang meyakinkan. Kesederhanaan juga bisa menjadi kelemahan bagi album ini. Band di balik Reflektor dan Everything Now yang polyrythmic memuat Elephant dengan versi yang lebih sederhana dari eksplorasi sonic mereka, yang terasa kurang bermakna secara lirik dan melodis.
Gajah Merah Muda di Ruangan: Apakah Arcade Fire Bisa Mengatasinya?
Seolah-olah band yang menulis "My Body Is a Cage" kini mengurung diri mereka dalam balada new-wave. Kurangnya pengakuan atas tuduhan terhadap Butler menghantui momen-momen penting dan kesalahan album ini. Ironisnya, musiknya penuh dengan kontradiksi.
Apakah "I Love Her Shadow" menggali tema cinta dan reinkarnasi dalam "Snake" saat Butler bernyanyi, "We never met but I remember who you are," atau apakah itu hanya gombalan rock star? Mengapa band ini terobsesi dengan mitos ular yang berganti kulit? Sulit untuk tidak membaca pengampunan Butler terhadap para pencela dalam "Alien Nation" sebagai tanggapan kepada siapa pun yang meragukan band ini.
Kebebasan untuk Berterus Terang?
Apalagi band ini dulu begitu vokal tentang isu-isu kemanusiaan. Ironisnya, band yang dulu begitu vokal tentang isu-isu sosial kini bungkam tentang masalah yang menimpa mereka. Bahkan jika band merasa sudah menjelaskan semuanya bertahun-tahun lalu, inisiatif media sosial bertema trust membutuhkan tinjauan tentang bagaimana pengelolaan ruang publik mereka berkembang setelah tuduhan penyalahgunaan kekuasaan.
Semakin lama, semakin terasa seolah-olah segalanya, bahkan lagu-lagu klasik seperti "Wake Up" dan "No Cars Go," dilapisi dengan lapisan ketidaknyamanan yang sama. Diskoordinasi tercipta dengan menutupi kualitas terburuk tokoh yang dihormati untuk menikmati yang terbaik. Di tahun comeback yang berantakan, terlalu disayangkan bahwa mereka yang diam-diam tidak dibatalkan tidak menggunakan kebebasan baru mereka untuk lebih berterus terang.
Pada akhirnya, Pink Elephant adalah album yang kompleks dan membingungkan. Ia menawarkan momen-momen keindahan dan kefrustrasian, nostalgia dan inovasi. Tapi yang paling penting, ia memaksa kita untuk mempertimbangkan hubungan yang rumit antara seni dan seniman, serta pertanyaan abadi tentang pengampunan dan akuntabilitas. Apakah Arcade Fire berhasil mengatasi gajah merah muda di ruangan itu? Mungkin tidak sepenuhnya. Tapi mereka mencoba. Dan mungkin itu saja sudah cukup.