Dark Mode Light Mode
Hideo Kojima Akan Terus Ciptakan Game Walau Sudah Tiada
Pink Floyd di Pompeii MCMLXXII yang Dipugar: Rekaman Transisi Artistik di Dunia yang Bergejolak
Padma Resort Legian Jadi Favorit Abadi di Mata TripAdvisor

Pink Floyd di Pompeii MCMLXXII yang Dipugar: Rekaman Transisi Artistik di Dunia yang Bergejolak

Siapa yang sangka reruntuhan kuno bisa jadi panggung rock and roll yang abadi? Pink Floyd at Pompeii, sebuah film konser yang telah direstorasi dan di-remaster, kembali hadir untuk mengajak kita berdansa dengan sejarah. Bukan sembarang konser, ini adalah perjalanan ke momen krusial Pink Floyd, jembatan antara eksperimen psychedelic masa lalu dan progressive rock yang melambungkan nama mereka. Siap-siap terhipnotis!

Film ini, yang awalnya berjudul Pink Floyd: Live at Pompeii (1972), sempat mampir di bioskop-bioskop pilihan, termasuk IMAX dengan audio Dolby Atmos, pada April lalu. Sekarang, sudah bisa kamu nikmati dalam format DVD, Blu-Ray, atau platform streaming digital. Sebuah kesempatan emas untuk merasakan kembali magisnya Pompeii.

Lebih dari sekadar film konser, Pink Floyd at Pompeii adalah kapsul waktu. Kita diajak mengintip proses kreatif Pink Floyd di awal tahun 70-an, saat mereka menemukan identitas baru setelah kehilangan Syd Barrett. Bayangkan, konser tanpa penonton di tengah reruntuhan amfiteater Pompeii, Italia. Epik!

Sebagian besar film ini direkam dengan format 35mm di Pompeii. Sisanya? Di Studio Europasonor Paris dan Abbey Road Studios, bertepatan dengan sesi rekaman The Dark Side of the Moon. Sedikit bocoran, kita bisa mendengar cuplikan "Brain Damage," "On the Run," dan "Us and Them" dari album legendaris tersebut.

Pink Floyd at Pompeii adalah catatan penting evolusi Pink Floyd. Ini bukan hanya tentang musik, tetapi juga tentang perjalanan band ini melewati masa-masa sulit. Syd Barrett, frontman orisinal, harus meninggalkan band karena masalah kesehatan mental. Sebuah pukulan telak, namun sekaligus menjadi katalis perubahan.

Era psychedelic, dengan segala kebebasan berekspresi dan eksperimennya, meninggalkan jejak mendalam pada Pink Floyd. Meskipun era ini identik dengan kontra-kultur dan hippie, Pink Floyd berhasil melampaui batasan-batasan tersebut. Mereka tidak hanya menciptakan musik, tetapi juga pengalaman.

Meskipun beberapa band, seperti The Beatles dan Rolling Stones, sempat mencicipi ranah psychedelic, Pink Floyd benar-benar mendalaminya. Mereka bereksperimen dengan lirik surealis, inovasi audio, dan pertunjukan multimedia. Hasilnya? Musik yang menggugah jiwa dan memicu imajinasi.

Nostalgia Berbalut Teknologi: Kebangkitan Pink Floyd at Pompeii

Film yang di-remaster ini memperlihatkan perkembangan Pink Floyd saat mereka membangun identitas baru. Pada Oktober 1971, band ini sedang dalam masa transisi, menjauhi single dan beralih ke komposisi yang lebih kompleks dan lirik yang bermakna. Namun, mereka tetap setia pada eksperimen sonic era psychedelic. Sebuah perpaduan yang menarik, bukan?

Nick Mason, sang drummer, pernah berkata, "Kami menjadi albums band karena publik Inggris tidak tertarik membeli single kami." Penolakan ini memaksa mereka untuk berkreasi lebih jauh, menghasilkan proyek-proyek ambisius dan teknik pertunjukan live yang memukau. Mungkin, kadang ditolak itu justru bagus, ya?

Setlist film ini—dengan versi extended dari "Echoes," "A Saucerful of Secrets," dan "Set the Controls for the Heart of the Sun"—menunjukkan peralihan band ke struktur progressive rock yang lebih luas dan kecenderungan improvisasi panjang. Pertunjukan tersebut terasa raw, mendalam, dan tanpa gangguan reaksi penonton. Musik dan latar kuno berbicara sendiri.

Steven Wilson dan Lana Topham: Pahlawan di Balik Layar

Sentuhan ajaib Steven Wilson, produser dan musisi terkenal, serta Lana Topham, dengan restorasi digital frame-by-frame, membuat film ini semakin memukau. Para personel Pink Floyd yang masih hidup pun terkesan dengan versi diri mereka yang lebih muda. David Gilmour memuji visi sutradara Adrian Maben.

Mason menyebut film ini "dokumen langka kami sebelum Dark Side," sambil menyesali tidak adanya film serupa yang merekam pertunjukan album-album sukses mereka lainnya. Roger Waters menggambarkan penampilan pra-Dark Side mereka sebagai "eksperimental," mengakui bahwa mereka berimprovisasi karena belum memiliki lagu yang konstruktif untuk ditampilkan. Kejujuran yang patut diapresiasi!

Ambisi Adrian Maben: Lebih dari Sekadar Konser

Adrian Maben, sang sutradara, punya ambisi besar: menciptakan film konser yang berbeda dari yang lain. Ia ingin menghilangkan gangguan penonton dan menempatkan musik Pink Floyd di ruang yang penuh sejarah. Pompeii dipilih karena auranya. Maben melihat amfiteater itu sebagai "ruang di luar waktu" di mana band dapat berinteraksi dengan lingkungan yang unik.

Tentu saja, tantangannya tidak mudah. Mengamankan izin dari otoritas setempat, memasang kabel di reruntuhan kuno, dan mengatasi gangguan prosesi keagamaan serta pemadaman listrik. Maben hanya punya enam hari untuk syuting, dan dua hari hilang karena masalah listrik dan kemacetan akibat festival Katolik. Classic problems!

Pompeii: Simbol Keabadian Seni di Tengah Bencana

Maben ingin menciptakan dialog antara musik dan lingkungan. Adegan para personel band berjalan-jalan di antara reruntuhan, mendaki lereng Gunung Vesuvius, dan merenungkan kolam lumpur mendidih Solfatara membangkitkan estetika yang populer dalam film-film era itu. Film ini menjadi "sanjungan terhadap keindahan… di antara coretan kemerahan langit matahari terbenam di atas Pompeii."

Pemilihan Pompeii sebagai latar film mengandung makna simbolis yang mendalam. Meskipun tidak ada referensi langsung ke konteks sosial dan politik saat itu, dunia masih dilanda gejolak dan krisis. Pompeii, dengan reruntuhannya, menjadi saksi bisu rapuhnya peradaban manusia di hadapan ancaman eksistensial.

Pink Floyd, dengan tampil di amfiteater kosong, memposisikan diri mereka sebagai inovator yang mendobrak batasan musik modern, berpadu dengan sisa-sisa budaya kuno. Fresko, patung, mosaik, dan pilar yang runtuh disandingkan dengan instrumental futuristik yang berada di garis depan teknologi sonic. Sebuah kontras yang memukau.

Kamera Maben menyoroti karya seni Pompeii yang masih bertahan, mengajak penonton untuk menyelidiki dan belajar tentang peradaban yang hilang. Film ini mencerminkan osilasi musik antara kekacauan dan ketertiban, disonansi dan harmoni. Close-up Waters memukul gong, Gilmour memetik gitar horizontal di atas tanah, vokal Wright, dan drum Mason sangatlah berkesan.

"Echoes": Anthem Empati dan Koneksi Manusiawi

Di awal dan akhir Pink Floyd at Pompeii, band ini menampilkan bagian satu dan dua dari lagu epik "Echoes," lagu yang memenuhi seluruh sisi dua album Meddle (1971). Lirik "Echoes" menandai perubahan signifikan dalam tema yang diangkat Pink Floyd. Waters menggambarkan bagian ini sebagai momen kreatif terobosan bagi band.

Strangers passing in the street
By chance two separate glances meet
And I am you and what I see is me
And do I take you by the hand
And lead you through the land
And help me understand the best I can?

Waters menjelaskan bahwa "Echoes" adalah keberangkatan dari psychedelia Pink Floyd sebelumnya yang berfokus pada diri sendiri dan beralih ke empati yang lebih berorientasi ke luar, mengeksplorasi hasrat manusia untuk terhubung. Tema ini kemudian menjadi pusat dari The Dark Side of the Moon dan album-album berikutnya. Sebuah anthem untuk kemanusiaan!

Kenangan Abadi dan Inspirasi yang Terus Mengalir

Kurangnya dokumentasi visual Pink Floyd menampilkan album-album sukses mereka seperti The Dark Side of the Moon, Wish You Were Here, dan Animals menjadi penyesalan bagi penggemar. Dalam konteks ini, Pink Floyd at Pompeii semakin penting, menjadi satu-satunya rekaman sinematik energi live dan proses kreatif band selama era krusial.

Pengaruh film ini terus tumbuh, menginspirasi generasi musisi dan pembuat film. Jonny Greenwood dari Radiohead pernah berkata kepada rekan-rekannya, "Beginilah seharusnya kita membuat video." Fokus film pada interaksi antara musisi dan penekanan pada suasana daripada tontonan menjadikannya batu sentuhan bagi seniman.

Pink Floyd at Pompeii menyoroti diskusi di antara personel band tentang peran teknologi dalam musik mereka. Adegan di Abbey Road Studios memperlihatkan mereka bereksperimen dengan synthesizer, efek kaset, dan inovasi lain yang mendefinisikan suara progressive rock. Momen-momen ini mengungkap band yang terlibat dengan kemungkinan alat-alat baru.

Maben menekankan bahwa film ini unik karena menunjukkan "bagaimana grup bekerja bersama di studio rekaman." Interaksi antara peralatan analog dan kreativitas musik ditonjolkan, menyoroti kegembiraan dan tantangan dalam mendobrak batasan. Sebuah pelajaran berharga bagi para musisi muda.

Remaster dan restorasi tahun 2025 telah membawa kualitas visual dan sonic film ini ke tingkat yang baru. Penonton memuji peningkatan gradasi warna, kejelasan, dan suara surround yang mendalam. Beberapa orang mencatat bahwa pemutaran IMAX sangat memukau dalam kekuatan musik dan keindahan visual. Pengalaman yang tak terlupakan!

Tentu saja, ada beberapa kelemahan, seperti variasi sudut kamera yang terbatas dan kurangnya wide shot. Namun, ini adalah akibat dari rekaman yang hilang dan keterbatasan teknis produksi asli. Remaster tidak dapat mengatasi keterbatasan ini, tetapi memungkinkan kita untuk lebih mengapresiasi apa yang dicapai sebagai proyek terobosan.

Jadi, tunggu apa lagi? Jangan lewatkan kesempatan untuk menyaksikan keajaiban Pink Floyd at Pompeii. Film ini bukan hanya untuk penggemar Pink Floyd, tetapi juga untuk siapa saja yang menghargai seni, sejarah, dan kekuatan musik. Dijamin, kamu akan terpesona! Siapkan headset terbaikmu dan nikmati perjalanan ke masa lalu yang gemilang!

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Hideo Kojima Akan Terus Ciptakan Game Walau Sudah Tiada

Next Post

Padma Resort Legian Jadi Favorit Abadi di Mata TripAdvisor