Dunia musik seolah tak pernah kehabisan amunisi untuk menyuarakan protes, terutama ketika kebijakan pemerintah mulai terasa seperti _bug_ yang mengganggu pengalaman bermain. Bayangkan saja, di tengah hiruk pikuk agenda politik yang kian memanas, seorang maestro gitar tiba-tiba merilis daftar lagu yang judulnya saja sudah sangat eksplisit: “Fuck ICE.” Ini bukan sekadar _playlist_ biasa, melainkan deklarasi perang sonik yang dikurasi oleh musisi dan aktivis vokal, Tom Morello, yang sudah lama dikenal sebagai kritikus keras Presiden Donald Trump dan serangan Immigration and Customs Enforcement (ICE) terhadap imigran. Sepertinya, kuping sang presiden akan sedikit panas mendengar melodi perlawanan ini.
## Saat Musisi Beraksi: Notasi Protes yang Bikin Telinga Penguasa Panas
Tom Morello, otak di balik grup sekelas Rage Against the Machine, memang punya jejak rekam panjang dalam urusan menyuarakan kebenaran lewat senar gitar. Kali ini, sasarannya jelas: administrasi Trump yang terlihat antusias dalam meningkatkan penahanan dan deportasi massal imigran. Modalnya? Dana puluhan miliar dolar yang konon berasal dari proyek “Big Beautiful Bill” milik Trump sendiri. Ini bukan lagi soal opini, tetapi tentang perlawanan terhadap sistem yang dirasa makin represif, di mana musik menjadi senjatanya.
Playlist “Fuck ICE” ini secara lugas menampar wajah kebijakan, langsung pada intinya. Dengan 65 lagu yang dikurasi langsung oleh Morello, daftar putar ini tidak hanya berani dalam judulnya, tetapi juga kaya akan kedalaman politik dan musikal. Setiap lagu dipilih untuk merefleksikan kritik terhadap berbagai era politik yang represif, menunjukkan bahwa isu penindasan bukanlah hal baru, melainkan siklus yang terus berulang.
Keberagaman genre dan seniman yang terlibat dalam _playlist_ ini menunjukkan semangat inklusivitas yang kontras dengan gerakan otoriter yang semakin menguat. Dari _rock_ yang menggelegar hingga _hip-hop_ yang tajam, setiap nada dirangkai untuk merayakan perbedaan. “Sebuah _soundtrack_ yang asyik untuk dinikmati saat kalian mengusir para bajingan itu dari lingkunganmu,” tulis Morello dalam sebuah unggahan Instagram, melampirkan foto-foto beberapa artis yang turut memeriahkan “Fuck ICE.” Kalimat itu secara jelas menunjukkan bahwa ini adalah seruan untuk aksi, bukan sekadar mendengarkan pasif.
Morello mengklaim bahwa ini adalah “lagu-lagu yang terbukti secara klinis memiliki 100% tingkat keberhasilan dalam mengurangi kebrengsekan pemerintahan.” Pernyataan ini, tentu saja, adalah gaya khasnya yang penuh sarkasme namun menohok. Ini adalah cara Morello untuk menunjukkan bahwa musik memiliki kekuatan nyata untuk menginspirasi perubahan dan menyulut semangat perlawanan, terutama di kalangan mereka yang merasa terpinggirkan oleh kebijakan.
## Playlist Multiverse: Ketika Genre Berpadu Lawan Kebijakan Absurd
Daftar lagu “Fuck ICE” tidak hanya menampilkan nomor solo dari Morello atau karya-karya legendaris Rage Against the Machine. Ada deretan nama besar yang terlibat, sebuah _line-up_ yang bisa membuat konser festival manapun iri. Sebut saja Bruce Springsteen, yang belakangan ini bahkan secara langsung diancam oleh Trump, menunjukkan bahwa perlawanan tidak mengenal batasan usia maupun status ikonik. The White Stripes dan Led Zeppelin juga ikut meramaikan, membuktikan bahwa musik klasik pun masih relevan untuk menyuarakan isu kontemporer.
Genre yang diwakili pun sangat bervariasi, melintasi batas-batas konvensional dan menunjukkan bahwa perlawanan bisa datang dari mana saja. Dari Rise Against yang keras, Pearl Jam yang melankolis, hingga Refused yang _punk_ penuh energi. Tak ketinggalan Public Enemy dan Ice Cube yang mewakili _hip-hop_ dengan lirik-lirik sosial yang kuat, serta Idles dan Jane’s Addiction yang menambahkan sentuhan _alternative_ yang unik. Ini adalah semacam _melting pot_ sonik dari berbagai sudut pandang artistik.
Bayangkan saja, dalam satu _playlist_ kalian bisa menemukan Devo, Living Colour, Rush, Gogol Bordello, hingga legenda _country_ Willie Nelson. Ada juga Downtown Boys, Roger Waters, The Pogues, dan ikon _folk_ seperti Pete Seeger dan Woody Guthrie, yang lagu-lagunya sudah melegenda sebagai _anthem_ perjuangan. Dropkick Murphys dan The Clash juga hadir, membawa semangat _punk rock_ yang tak pernah padam. Bahkan ada Kneecap dan Townes Van Zandt, menunjukkan kedalaman kurasi yang sangat luas, menjangkau berbagai _niche_ pendengar.
Selain itu, _playlist_ ini juga memuat kolaborasi Morello dengan sejumlah seniman lain. Ada kolaborasi epik dengan GZA, Cypress Hill, Vic Mensa, dan Leikeli47. Ini semakin memperkuat gagasan bahwa perlawanan kolektif jauh lebih efektif daripada aksi individual. Setiap kolaborasi membawa warna dan perspektif baru, menciptakan sinergi musikal yang lebih kuat dan menjangkau audiens yang lebih luas.
## Nada Melawan Narasi: Sebuah Revolusi Musikal yang Tak Kenal Henti
Keberadaan _playlist_ ini lebih dari sekadar kumpulan lagu; ini adalah pernyataan budaya yang kuat. Dengan menyatukan begitu banyak suara dari berbagai latar belakang musikal, Morello menciptakan sebuah narasi tandingan terhadap retorika yang memecah belah. Ini adalah pengingat bahwa seni memiliki peran krusial dalam melawan ketidakadilan dan mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan di tengah gempuran kebijakan yang kerap terasa tidak manusiawi.
Daftar putar “Fuck ICE” juga berfungsi sebagai semacam _wake-up call_ bagi pendengarnya. Ini bukan musik latar untuk bersantai, melainkan seruan untuk berpikir dan bertindak. Setiap lirik, setiap _riff_, dan setiap _beat_ dirancang untuk membangkitkan kesadaran, menginspirasi diskusi, dan mungkin, bahkan memicu pergerakan di dunia nyata. Ini adalah contoh bagaimana hiburan bisa menjadi alat perjuangan.
Morello sendiri, yang baru-baru ini menjabat sebagai direktur musik untuk konser terakhir mendiang Ozzy Osbourne di Birmingham, Inggris, akan segera memulai tur pada musim gugur ini. Tur tersebut akan dimulai pada 13 November di Chicago. Ini menunjukkan bahwa semangat Morello untuk aktivisme tidak hanya berhenti di _playlist_ daring, tetapi juga merambah ke panggung langsung.
“Acara besar terakhir sebelum mereka melemparkan kita semua ke penjara!” canda Morello di Instagram saat mengumumkan tanggal tur. Pernyataan ini, meskipun diutarakan dengan nada bercanda, menyoroti kekhawatiran yang mendalam tentang potensi pembatasan kebebasan berekspresi. Lebih dari itu, itu adalah undangan terselubung bagi para penggemar untuk bergabung dalam sebuah pengalaman yang mungkin, dalam konteks politik saat ini, terasa semakin langka dan berharga.
Secara keseluruhan, _playlist_ “Fuck ICE” Tom Morello adalah manifestasi nyata dari kekuatan musik sebagai alat protes. Ini adalah suara lantang yang menolak bungkam, sebuah _soundtrack_ bagi mereka yang percaya bahwa perubahan itu mungkin. Di tengah _soundscape_ politik yang kian bising, melodi perlawanan ini membuktikan bahwa beberapa nada bisa jauh lebih keras daripada pidato politik mana pun.