Korupsi oh korupsi, masalah klasik yang tak pernah basi. Bahkan, bisa dibilang, dari zaman kerajaan sampai era digital ini, korupsi tetap menjadi "momok" yang menghantui negeri kita. Pertanyaan besarnya, bagaimana cara kita memberantasnya? Apakah "obat" yang selama ini kita berikan sudah cukup manjur?
Lama sudah Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset terkatung-katung di Gedung DPR. Mirisnya, RUU yang digadang-gadang sebagai jurus pamungkas untuk memiskinkan koruptor ini, nasibnya justru lebih "memprihatinkan" dari dompet mahasiswa akhir bulan. Padahal, dengan adanya RUU Perampasan Aset, negara punya dasar hukum yang lebih kuat untuk menyita aset hasil tindak pidana korupsi, bahkan tanpa harus menunggu vonis pengadilan. Ibaratnya, "tangkap dulu, urusan (pembuktian) belakangan." Tentu saja, dengan mengedepankan asas praduga tak bersalah.
Presiden terpilih Prabowo Subianto tampaknya punya strategi berbeda. Alih-alih menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), yang notabene bisa langsung berlaku tanpa persetujuan DPR, beliau memilih untuk membangun konsensus politik dengan para wakil rakyat. Langkah ini tentu menuai pro dan kontra. Sebagian pihak khawatir, pendekatan konsensus ini akan memakan waktu lebih lama dan membuka celah bagi koruptor untuk "kabur" bersama asetnya. Namun, sebagian lainnya berpendapat, konsensus politik justru akan memberikan legitimasi yang lebih kuat bagi RUU Perampasan Aset.
RUU Perampasan Aset: Antara Harapan dan Kenyataan
RUU Perampasan Aset memang bukan silver bullet yang bisa langsung memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya. Namun, kehadiran RUU ini diharapkan bisa menjadi game changer dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Bayangkan saja, jika negara bisa menyita aset para koruptor, uang hasil korupsi tersebut bisa digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, atau bahkan subsidi untuk masyarakat yang kurang mampu. Sebuah ironi yang indah, bukan?
Namun, keberhasilan RUU Perampasan Aset juga sangat bergantung pada implementasinya di lapangan. Tanpa adanya pengawasan yang ketat dan penegakan hukum yang tegas, RUU ini hanya akan menjadi "macan kertas" yang taringnya ompong. Kita tentu tidak ingin melihat para koruptor "bermain mata" dengan para penegak hukum, sehingga aset hasil kejahatan mereka tetap aman sentosa di tangan mereka.
Mengapa Konsensus Politik Lebih Diprioritaskan?
Keputusan Prabowo Subianto untuk mengutamakan konsensus politik dengan DPR, alih-alih menerbitkan Perppu, tentu bukan tanpa alasan. Ada beberapa faktor yang mungkin menjadi pertimbangan utama:
- Legitimasi: RUU yang disetujui oleh DPR akan memiliki legitimasi yang lebih kuat dibandingkan Perppu. Hal ini penting untuk menghindari adanya gugatan hukum di kemudian hari.
- Dukungan Politik: Dengan membangun konsensus politik, Prabowo Subianto berharap dapat memperoleh dukungan yang solid dari seluruh fraksi di DPR. Dukungan ini akan sangat penting untuk memastikan RUU Perampasan Aset dapat disahkan dengan mulus.
- Stabilitas: Penerbitan Perppu seringkali dipandang sebagai tindakan yang kontroversial dan dapat memicu ketegangan politik. Dengan memilih jalur konsensus, Prabowo Subianto ingin menjaga stabilitas politik dan menghindari konflik yang tidak perlu.
Menegakkan Hukum Tanpa Kompromi: Mungkinkah?
Banyak pihak yang pesimis dengan pendekatan konsensus yang dipilih Prabowo Subianto. Mereka khawatir, pendekatan ini akan membuka celah bagi para koruptor untuk melobi para anggota DPR dan mempengaruhi isi RUU Perampasan Aset. Apalagi, kita tahu betul, "politik itu dinamis", dan terkadang, kepentingan pribadi atau golongan bisa mengalahkan kepentingan bangsa.
Namun, di sisi lain, kita juga harus memberikan kesempatan kepada Prabowo Subianto untuk membuktikan komitmennya dalam pemberantasan korupsi. Beliau telah berjanji untuk mempercepat pengesahan RUU Perampasan Aset. Kita berharap, janji ini bukan sekadar "janji manis" yang sering kita dengar menjelang pemilu.
Aset Negara Aman, Dompet Rakyatpun Tentram?
RUU Perampasan Aset ini ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, ia bisa menjadi senjata ampuh untuk memberantas korupsi dan mengembalikan aset negara yang dicuri. Namun, di sisi lain, ia juga bisa disalahgunakan untuk menindas pihak-pihak yang tidak bersalah. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa RUU ini diimplementasikan dengan hati-hati dan transparan, dengan menjunjung tinggi prinsip keadilan dan HAM. Dengan tata kelola pemerintahan yang baik dan transparan (good governance), RUU ini akan semakin efektif memberantas korupsi.
Kita sebagai masyarakat sipil juga punya peran penting dalam mengawal proses pengesahan dan implementasi RUU Perampasan Aset. Kita harus terus menyuarakan dukungan kepada para anggota DPR yang memiliki komitmen untuk memberantas korupsi. Kita juga harus mengawasi kinerja para penegak hukum dan memastikan bahwa mereka tidak "masuk angin" dalam menangani kasus-kasus korupsi. Ingat, keberhasilan pemberantasan korupsi adalah tanggung jawab kita bersama.
Akhirnya, kita hanya bisa berharap, RUU Perampasan Aset ini bisa segera disahkan dan diimplementasikan dengan efektif. Kita ingin melihat para koruptor yang selama ini "enak-enakan" menikmati hasil kejahatan mereka, akhirnya bisa merasakan "getir"nya hidup di balik jeruji besi dan aset mereka disita untuk kepentingan negara. Semoga saja, mimpi ini bukan sekadar mimpi di siang bolong.