Siapa bilang hukum itu membosankan? Kabar baiknya, ada angin segar dalam perlindungan korban kekerasan seksual. Kabar buruknya? Seperti kopi pagi, masih perlu beberapa tweaks biar makin mantap. Pemerintah baru saja mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 29/2025 tentang Dana Bantuan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual (DBK-TPKS), sebuah turunan dari Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang disahkan tahun 2022. Ini adalah langkah maju, tapi mari kita telaah lebih lanjut.
PP DBK-TPKS ini sebenarnya merupakan game changer dalam upaya kita melindungi korban kekerasan seksual. Bayangkan, negara hadir secara konkret untuk memenuhi hak-hak mereka. Ini bukan sekadar janji manis di atas kertas, tetapi sebuah upaya untuk memberikan bantuan nyata. Undang-undang TPKS sendiri bertujuan untuk memberikan perlindungan yang lebih komprehensif kepada korban, mulai dari aspek hukum, psikologis, hingga sosial.
Namun, perlu diingat, setiap aturan pasti punya celah. Kita tidak bisa langsung berpuas diri. Seorang peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Asry Alkazahfa, menyoroti beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan lebih lanjut. Ibaratnya, PP ini adalah kue yang enak, tapi masih butuh topping biar makin sempurna.
Salah satu poin krusial adalah mekanisme pembayaran restitusi oleh negara. PP ini belum secara rinci mengatur bagaimana negara akan mengganti kerugian yang dialami korban. Padahal, kejelasan mekanisme ini sangat penting agar korban benar-benar mendapatkan haknya tanpa berbelit-belit.
Kemudian, koordinasi antara lembaga penegak hukum juga menjadi perhatian. PP ini seharusnya bisa memperkuat sinergi antara LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) dan Kejaksaan dalam menghitung aset pelaku. Tujuannya jelas, agar restitusi korban bisa dipenuhi seoptimal mungkin.
Selain itu, sumber pendanaan dalam PP ini juga belum diatur secara gamblang. UU TPKS memang menyebutkan bahwa negara dapat membantu membayar restitusi menggunakan APBN, tetapi bagaimana alokasinya, mekanisme pencairannya, semua masih abu-abu. Kejelasan pendanaan ini krusial untuk memastikan keberlanjutan program bantuan bagi korban.
Terakhir, PP ini dinilai belum mengatur secara spesifik kapan korban bisa mengajukan permohonan dana pemulihan dari LPSK. Tidak ada batasan waktu yang jelas bagi korban untuk mengakses dana ini. Padahal, kebutuhan korban bisa sangat mendesak, terutama dalam tahap awal pemulihan.
Restitusi Korban Kekerasan Seksual: Mimpi Indah atau Realita?
Intinya, meskipun PP DBK-TPKS ini merupakan langkah positif, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Tanpa adanya perbaikan dan penyempurnaan, jangan-jangan restitusi bagi korban kekerasan seksual hanya jadi mimpi di siang bolong. Kita tentu tidak mau itu terjadi.
Asry menyarankan agar Bappenas, Kementerian Keuangan, dan LPSK berkoordinasi untuk memperjelas alokasi anggaran negara untuk dana bantuan ini. Selain itu, perlu ada kebijakan yang eksplisit mengenai pendanaan ini. Bayangkan betapa leganya korban jika tahu bahwa dana bantuan itu benar-benar ada dan mudah diakses.
Mengapa Koordinasi Penegak Hukum itu Penting?
Koordinasi antara polisi dan kejaksaan juga memegang peranan penting. Sejak awal pemeriksaan kasus kekerasan seksual, mereka harus sudah mulai mengevaluasi aset atau kekayaan pelaku. Ini akan menjadi jaminan untuk pembayaran restitusi korban.
Polisi juga wajib menginformasikan hak-hak korban dan memberikan informasi serta akses ke Dana Bantuan Korban sejak korban melaporkan kejadian kekerasan seksual yang dialaminya. Informasi yang cepat dan akurat bisa membuat perbedaan besar dalam proses pemulihan korban.
Jurang Antara Harapan dan Kenyataan: Dimana Kita Berdiri?
Meskipun UU TPKS dan PP DBK-TPKS menjanjikan harapan baru bagi korban kekerasan seksual, masih ada jurang yang lebar antara harapan dan kenyataan. Regulasi yang ada masih perlu diimplementasikan secara efektif dan transparan. Jika tidak, korban hanya akan merasakan kekecewaan dan ketidakadilan.
Membangun Sistem Dukungan yang Kuat: Apa yang Bisa Kita Lakukan?
LPSK dan UPTD PPA (Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak) harus memperjelas konsep dana pemulihan melalui dana bantuan korban agar menjangkau seluruh aspek pemulihan korban dari tindak pidana kekerasan seksual. Pemulihan korban tidak hanya soal materi, tetapi juga mencakup aspek psikologis, sosial, dan spiritual.
Kita semua punya peran dalam menciptakan sistem dukungan yang kuat bagi korban kekerasan seksual. Pemerintah, lembaga penegak hukum, organisasi masyarakat sipil, dan individu, semuanya harus bahu-membahu untuk memastikan bahwa korban mendapatkan haknya dan bisa pulih sepenuhnya.
Jadi, mari kita kawal PP DBK-TPKS ini agar benar-benar memberikan manfaat bagi korban kekerasan seksual. Ingat, keadilan bukan hanya soal menghukum pelaku, tetapi juga soal memberikan pemulihan yang layak bagi korban. Ini adalah investasi untuk masa depan yang lebih baik, di mana setiap orang merasa aman dan terlindungi.