Dunia akademis Indonesia tengah sedikit bergejolak, bukan karena skripsi yang nggak kelar-kelar, tapi karena rencana penulisan ulang sejarah Indonesia. Bayangkan saja, kita sudah nyaman dengan buku sejarah yang ada, lalu tiba-tiba ada proyek rewrite besar-besaran. Lumayan bikin alis berkerut, kan?
Sejarah, sebagai sebuah narasi yang membentuk identitas bangsa, memang selalu menjadi arena perdebatan. Siapa yang berhak bercerita? Versi mana yang paling akurat? Dan, yang paling penting, kepentingan siapa yang bermain di baliknya? Penulisan ulang sejarah, apalagi yang berskala nasional, tentu saja mengundang tanya dan kritik.
Proyek penulisan ulang sejarah Indonesia yang digagas oleh Kementerian Kebudayaan ini memang ambisius. Tujuannya mulia, yakni menyambut 80 tahun kemerdekaan Indonesia dengan menyajikan narasi sejarah yang komprehensif dalam 10 jilid buku. Tapi, seperti kata pepatah, jalan menuju neraka diaspal dengan niat baik. Detail-detail yang kurang pas bisa merusak segalanya.
Salah satu tokoh yang vokal menyuarakan kegelisahannya adalah arkeolog senior, Harry Truman Simanjuntak. Beliau, yang awalnya ditunjuk sebagai editor jilid pertama, memutuskan mundur dari tim karena perbedaan pandangan akademis yang cukup mendasar. Kita bahas lebih lanjut yuk, kenapa seorang sejarawan sekelas beliau sampai walk out.
Ketidaksepakatan terminologi menjadi salah satu alasan utama pengunduran diri Harry Truman. Perdebatan mengenai penggunaan istilah "prasejarah" versus "sejarah awal" menjadi titik krusial. Menurut beliau, menghilangkan istilah "prasejarah" dan menggantinya dengan "sejarah awal" adalah sebuah kesalahan fatal dari sudut pandang akademis. Prasejarah, dengan metode dan pendekatannya sendiri, adalah bagian penting dari pemahaman kita tentang masa lalu.
Perbedaan pendekatan ini bukan hanya soal istilah, tapi juga soal epistemologi. Sejarah, dalam konteks akademis, umumnya merujuk pada periode setelah adanya tulisan. Sedangkan prasejarah, adalah masa sebelum itu, yang dipelajari melalui artefak dan budaya material. Mencampuradukkan keduanya, menurut Harry Truman, mencerminkan pandangan yang sempit sebagai seorang ilmuwan.
Mungkin bagi sebagian orang, perbedaan ini terdengar sepele. Tapi bagi seorang akademisi, ketepatan istilah dan metodologi adalah fondasi dari sebuah penelitian. Bayangkan saja, kita mau bikin kopi, tapi nggak tahu bedanya robusta dan arabika. Hasilnya pasti nggak maksimal, kan?
Prasejarah Hilang? Mengapa Ini Penting
Istilah "prasejarah" bukanlah sekadar label. Ia mewakili sebuah disiplin ilmu dengan metodologi dan pendekatan yang khas. Mengabaikan atau menghilangkan istilah ini sama saja dengan mengabaikan kekayaan pengetahuan dan pemahaman tentang masa lalu yang pre-literate. Kita bisa kehilangan banyak hal tentang bagaimana manusia purba hidup, berinteraksi, dan beradaptasi dengan lingkungannya.
Harry Truman berpendapat bahwa bagian tentang prasejarah seharusnya tetap ditulis dan didiskusikan secara mendalam. Bahkan, beliau sampai membuat outline sendiri yang fokus pada konsep penulisan prasejarah Indonesia. Tujuannya adalah agar pembaca memahami bahwa narasi sejarah yang disajikan adalah hasil dari penelitian yang cermat dan metodologis.
Bagian prasejarah penting untuk menjelaskan metode dan pendekatan yang digunakan dalam penulisan sejarah. Dari pendekatan dan metode tersebut, pembaca dapat memahami bahwa diskusi ini merupakan hasil dari penelitian yang dilakukan dengan cara tertentu. Ini seperti behind the scenes sebuah film, yang menunjukkan bagaimana efek visual dibuat atau bagaimana adegan sulit diambil.
Batas Waktu Hingga Era Jokowi: Apakah Objektif?
Selain masalah terminologi, Harry Truman juga menyoroti batasan waktu penulisan sejarah yang direncanakan hingga era Presiden Joko Widodo. Menurutnya, hal ini berpotensi menimbulkan bias dalam penulisan sejarah, apalagi jika mengingat bahwa yang bersangkutan masih hidup dan baru saja menyelesaikan masa jabatannya.
Independensi penulisan sejarah menjadi dipertanyakan jika narasi sejarah dibentuk oleh orang-orang yang masih terlibat secara langsung dalam peristiwa tersebut. Ini seperti meminta sutradara film untuk mengkritik filmnya sendiri. Pasti ada conflict of interest, kan?
Batasan waktu ini menjadi sorotan karena rentan terhadap subjektivitas dan kepentingan politik tertentu. Sejarah seharusnya ditulis dengan perspektif yang lebih luas dan objektif, yang memungkinkan interpretasi yang lebih netral dan akurat.
Kepentingan di Balik Layar: Siapa yang Mengendalikan Narasi?
Pertanyaan besar yang muncul dari proyek penulisan ulang sejarah ini adalah: siapa yang sebenarnya mengendalikan narasi? Apakah ini murni upaya akademis untuk menyajikan sejarah yang lebih komprehensif, atau ada agenda tersembunyi di baliknya?
Dalam dunia politik dan kekuasaan, sejarah sering kali digunakan sebagai alat legitimasi. Narasi sejarah yang dipolitisasi dapat digunakan untuk memperkuat identitas nasional, membenarkan kebijakan pemerintah, atau bahkan menyerang lawan politik.
Oleh karena itu, penting bagi kita sebagai pembaca untuk bersikap kritis terhadap narasi sejarah yang disajikan. Jangan telan mentah-mentah setiap informasi yang kita dapatkan. Lakukan riset sendiri, bandingkan dengan sumber-sumber lain, dan bentuk opini kita sendiri. Kita harus berani mempertanyakan dan menantang narasi dominan yang mungkin sarat dengan kepentingan tertentu.
Sejarah: Bukan Sekadar Tanggal dan Nama
Sejarah bukan hanya tentang tanggal, nama, dan peristiwa penting. Lebih dari itu, sejarah adalah tentang bagaimana kita memahami diri kita sendiri sebagai bangsa. Ini tentang bagaimana kita belajar dari masa lalu, membangun masa kini, dan merencanakan masa depan.
Penulisan ulang sejarah, jika dilakukan dengan benar dan dengan semangat akademis yang tinggi, dapat menjadi kesempatan untuk memperkaya pemahaman kita tentang masa lalu. Tapi jika dilakukan dengan kepentingan politik yang tersembunyi, maka akan menjadi bencana bagi identitas dan jati diri bangsa.
Yang jelas, proyek ini seharusnya menjadi pengingat bagi kita semua bahwa sejarah adalah sesuatu yang fluid dan terus berubah. Interpretasi sejarah selalu dipengaruhi oleh konteks sosial, politik, dan budaya tempat kita berada. Oleh karena itu, kita harus selalu terbuka terhadap perspektif baru dan terus belajar dari masa lalu. Dan yang pasti, jangan sampai salah pakai istilah "prasejarah"!