Dark Mode Light Mode

Program yang dipimpin pekerja atasi kekerasan berbasis gender dalam rantai pasok, terancam di Indonesia

Hai guys, pernah nggak sih kalian mikir, kaos yang lagi kalian pake itu, literally, hasil keringat dan air mata orang lain? Bukan cuma desainernya, tapi juga para pekerja di pabrik garmen. Sayangnya, cerita di balik layar seringkali jauh dari glamour.

Kekerasan Gender di Rantai Pasokan: Lebih dari Sekadar Gosip

Kekerasan berbasis gender (KBG) dan pelecehan, it's a real thing, dan sayangnya, merajalela di rantai pasokan global. Bayangin aja, banyak pekerja perempuan di industri garmen, makanan, dan perhotelan yang jadi korban sentuhan nggak pantas, rayuan gombal, bahkan sampai kekerasan seksual. Promosi? Kadang jadi deal menjijikkan yang bergantung sama "kasih sayang" bos. Ew!

Padahal, udah puluhan tahun isu ini diangkat, dan ada lho Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) Nomor 190 yang disahkan tahun 2019, diratifikasi oleh 49 negara. Tapi, riset nunjukkin, progress-nya nyaris nggak ada. Sedih, kan? Laporan dari Statistics Canada di tahun 2024 bahkan nemuin, 47% perempuan pernah ngalamin pelecehan atau kekerasan seksual di tempat kerja. That's almost half!

Di negara dan industri tertentu, angkanya lebih parah lagi. Di Bangladesh, studi tahun 2018 nunjukkin, minimal 60% pekerja garmen pernah ngalamin KBG dalam setahun terakhir. Di Indonesia? Survei lain nemuin, 85% pekerja garmen khawatir soal pelecehan seksual di tempat kerja. Seriously? We need to do better!

Ironisnya, di tengah masalah global yang njelimet ini, para pekerja perempuan di rantai pasokan garmen justru nemuin solusi yang efektif buat ngelawan KBG dan pelecehan. Mereka nggak cuma ngomel di Twitter, tapi take action!

Perjanjian Mengikat yang Dipimpin Pekerja: Bukan Sekadar Janji Manis

Didukung sama serikat pekerja dan organisasi kayak Asia Floor Wage Alliance, Worker Rights Consortium, dan Global Labor Justice, para pekerja perempuan ngerancang perjanjian hukum yang mengikat sama brand dan supplier buat ngehapus KBG dan pelecehan. Ini bukan sekadar statement, tapi komitmen nyata!

Contohnya? Perjanjian Jawa Tengah untuk Keadilan Gender yang groundbreaking. Ditandatangani Juli 2024, perjanjian ini ngelindungin 6.250 pekerja yang produksi baju buat brand kayak Nike dan Fanatics, di bawah lisensi universitas yang terafiliasi sama Worker Rights Consortium. Keren, kan?

Worker Rights Consortium berhasil ngebujuk Fanatics, yang juga punya lisensi buat produksi apparel dengan logo Nike, buat ikutan perjanjian ini. Alasan nya? Ada laporan soal KBG dan pelecehan di dua pabrik garmen di Jawa Tengah, punya perusahaan Korea, Ontide.

Perjanjian ini ngebentuk program yang dipimpin serikat pekerja buat nyelesaiin masalah di dua pabrik Indonesia. Kalo manajemen pabrik nggak patuh, mereka bisa kehilangan kontrak bisnis sama Nike dan Fanatics. Ini yang namanya akuntabilitas.

Belajar dari India, Berkembang di Indonesia: Lebih dari Sekadar Copy-Paste

Perjanjian Jawa Tengah 2024 ini nggak ujug-ujug muncul. Ini adalah hasil pengembangan dari perjanjian serupa yang udah sukses diimplementasi sebelumnya.

Salah satunya, Perjanjian Dindigul 2022 di India yang bertujuan buat ngehapus KBG dan pelecehan. Ada juga Perjanjian 2019 di Lesotho. Intinya, kita saling belajar dan improve!

Perjanjian Dindigul dipimpin sama serikat pekerja independen, mayoritas dari komunitas Dalit, yang dijalankan sama perempuan. Mereka bikin perjanjian hukum yang mengikat sama perusahaan garmen besar, kayak H&M Group, Gap Inc., PVH, dan Eastman Exports Global Clothing Ltd. Sementara itu, perjanjian Lesotho melibatkan brand kayak Levi Strauss & Co., Nien Hsing Textile Co., serikat pekerja, aktivis hak-hak perempuan, dan organisasi buruh.

Meskipun tiap perjanjian unik, semuanya punya prinsip yang sama: tanggung jawab sosial yang dipimpin pekerja. Ini berarti, organisasi pekerja, serikat pekerja, supplier, dan brand masuk ke dalam perjanjian yang bisa ditegakkan secara hukum. Perusahaan transnasional gunain pengaruh dan hubungan rantai pasokan mereka buat ngefek perubahan di tempat kerja supplier.

Model Akuntabilitas Baru: Bukan Sekadar Kotak Saran

Perjanjian-perjanjian ini nyediain sistem deteksi dan perbaikan yang dipimpin pekerja buat ngadepin KBG dan pelecehan. Contohnya, di perjanjian Lesotho, pekerja bisa gunain hotline 24 jam yang dioperasikan sama organisasi perempuan lokal buat ngajuin keluhan, atau langsung ngelapor ke serikat pekerja yang terlibat.

Perjanjian Dindigul juga nyediain banyak kanal buat pekerja ngajuin keluhan KBG dan pelecehan, termasuk monitor di lantai produksi yang dipilih sama serikat pekerja lokal (satu buat tiap 25 pekerja). Ada juga jalur lain, kayak lapor ke serikat pekerja atau komite anti-pelecehan seksual yang diwajibkan sama hukum India.

Di Perjanjian Jawa Tengah, pekerja bisa ngajuin keluhan ke komite anti-pelecehan, monitor di lantai produksi, atau serikat pekerja mereka. Nggak cuma itu, tiap perjanjian ngijinin pekerja minta investigasi independen, dan nyediain beragam solusi kalo ada insiden atau pelanggaran kebebasan berserikat.

Yang bikin perjanjian ini beda dari inisiatif lain buat ngelawan KBG dan pelecehan di rantai pasokan adalah: mereka beneran berhasil! Studi dari Cornell University's Global Labor Institute nunjukkin, 76% keluhan berhasil diselesaiin dalam dua minggu berkat Perjanjian Dindigul.

Laporan itu juga nyebutin, program ini "ngebentuk mekanisme monitoring yang kuat, mastiin perbaikan yang efektif dan ngurangin pelanggaran" KBG dan pelecehan, serta kebebasan berserikat – sederhananya, hak buat gabung atau keluar dari kelompok (kayak serikat pekerja), dan hak kelompok itu buat ngelakuin aksi kolektif.

Kemajuan yang Terancam: Bukan Cuma Masalah Politik

Meskipun sukses, inisiatif yang dipimpin pekerja ini ngadepin banyak tantangan. Organisasi buruh yang dukung perjanjian ini lagi kesulitan, bahkan beberapa berisiko bangkrut. Why? Karena banyak pemotongan anggaran dari negara-negara maju yang mendukung penegakan hukum tenaga kerja.

Di saat yang sama, perusahaan mulai rollback program diversity, equity, and inclusion (DEI), yang ngehambat ruang politik buat serikat pekerja negosiasiin perjanjian kayak gini. Tarif dan gejolak perdagangan global – apalagi upaya buat nata ulang rantai pasokan buat ngehindarin tarif mahal – jadi alasan brand narik komitmen dari inisiatif yang dipimpin pekerja dan ngerubah pola sourcing buat ngehindarin mereka.

Intinya, kalo pemangku kepentingan tenaga kerja kehilangan sumber daya buat dukung inisiatif kayak gini, dampaknya bakal ngerusak buat perempuan dan tempat kerja di rantai pasokan seluruh dunia. Program-program ini nunjukkin, kalo pekerja memimpin, perubahan nyata itu mungkin. Tapi, mereka butuh investasi dan dukungan politik berkelanjutan buat bertahan.

Jadi, lain kali kalo kalian beli baju, inget ya, ada perjuangan panjang di baliknya. Dukung brand yang peduli sama hak-hak pekerja dan mau ikutan inisiatif kayak gini. Kita bisa bikin perbedaan!

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Di Balik Makna Tersembunyi 'Hit Me Hard and Soft' Billie Eilish

Next Post

Game Pass Bangkitkan Nostalgia: Lebih dari 50 Game Klasik Activision Era 80-90an Hadir!