Jujur saja, siapa yang tidak suka liburan? Tapi, pernahkah terpikirkan, di balik spot Instagramable yang kita kunjungi, ada cerita yang mungkin kurang sedap? Kali ini, kita akan membahas KEK Mandalika, bukan hanya dari sisi sunset-nya yang memukau, tapi juga dari sudut pandang mereka yang terkena dampak langsung. Siapkan kopi, mari kita mulai.
KEK Mandalika: Surga Wisata atau Mimpi Buruk Warga Lokal?
Mandalika, dengan MotoGP dan keindahan alamnya, memang mempesona. Namun, proyek ambisius ini juga menyimpan cerita tentang konflik agraria dan penggusuran masyarakat lokal. Front Rakyat Tolak PSN (Proyek Strategis Nasional) bahkan mendesak Presiden Prabowo untuk mengevaluasi kembali proyek KEK Mandalika ini. Apakah pembangunan harus selalu mengorbankan hak-hak masyarakat? Mari kita telaah lebih dalam.
Dewi Kartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), mengungkapkan bahwa proyek ini telah memicu konflik agraria dan menyebabkan hilangnya mata pencaharian masyarakat. “Banyak orang kehilangan tanah, nelayan kehilangan akses ke laut, dan pedagang lokal kehilangan mata pencaharian mereka,” ujarnya. Ini bukan sekadar angka statistik, tapi cerita tentang kehidupan yang berubah drastis.
Penggusuran Tanjung Aan: Deadline yang Menghantui
Baru-baru ini, warga Tanjung Aan, Nusa Tenggara Barat, menerima surat dari perusahaan bernama Vanguard, yang mengaku mewakili investor yang bekerja sama dengan ITDC (Indonesia Tourism Development Corporation), sebuah BUMN di bidang pariwisata. Surat tersebut memberikan grace period 14 hari untuk pengosongan lahan. Bayangkan, hanya dalam dua minggu, ratusan keluarga harus angkat kaki dari tempat yang mereka sebut rumah.
Nasib 186 warung, kafe, dan restoran milik warga dan pengusaha lokal di sepanjang pantai Tanjung Aan terancam. Lebih dari 1.000 orang yang bergantung pada area tersebut untuk mata pencaharian mereka terancam kehilangan pekerjaan. Apakah pariwisata yang berkelanjutan sustainable tourism harus mengorbankan kesejahteraan masyarakat lokal? Ini pertanyaan besar yang perlu kita jawab bersama.
Menurut Dewi Kartika, jika area pesisir Tanjung Aan digusur, maka akan menghilangkan sumber pendapatan ribuan warga yang bergantung pada mata pencaharian mereka di Pantai Tanjung Aan. Ini bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal identitas dan budaya masyarakat yang terancam punah.
Sertifikat HPL: Transparansi yang Dipertanyakan
Pada Maret 2025, Kantor Pertanahan Lombok Tengah menerbitkan dan menyerahkan setidaknya 12 sertifikat Hak Pengelolaan (HPL) kepada ITDC sebagai bagian dari proses pengadaan tanah yang sedang berlangsung. Dewi mengkritik proses tersebut karena kurangnya konsultasi, transparansi, dan partisipasi yang tulus dari ITDC, pemerintah daerah, dan kantor pertanahan.
Terutama persetujuan warga untuk pelaksanaan proyek, mulai dari rencana pembangunan, pengadaan tanah, kompensasi, hingga upaya penggusuran baru-baru ini di Tanjung Aan melalui Vanguard. Apakah ini win-win solution, atau hanya win bagi investor dan lose bagi masyarakat?
PSN dan Dampak Konflik Agraria: Statistik yang Mencengangkan
Menurut koalisi, penggusuran ini mewakili pola yang lebih luas dalam pelaksanaan proyek-proyek SEZ yang diberi label Proyek Strategis Nasional. Proyek semacam itu seringkali melibatkan manipulasi, penggusuran paksa, perampasan tanah, intimidasi, dan tindakan teror terhadap masyarakat yang terkena dampak. Angkanya pun tidak main-main.
KPA mencatat bahwa antara tahun 2020 dan 2024, pengadaan tanah untuk pengembangan PSN menyebabkan setidaknya 154 kasus konflik agraria, yang mencakup total 1.004.803 hektar dan berdampak pada 103.685 rumah tangga di seluruh Indonesia. Ini bukan sekadar angka, tapi representasi dari ribuan keluarga yang hidupnya terganggu akibat pembangunan.
ITDC dan Kementerian ATR/BPN: Sorotan Publik
Koalisi juga mengecam PT ITDC karena menekan warga di Tanjung Aan dan menyerukan kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN RI) untuk mengevaluasi penerbitan semua sertifikat HPL yang diberikan kepada ITDC. Apakah land tenure sudah sesuai prosedur?
"Dan mencabut HPL yang telah dilanggar dengan memasukkan area pemukiman, desa, mata pencaharian lokal, dan tanah bisnis masyarakat ke dalam otoritas ITDC," tegasnya. Ini adalah tuntutan yang jelas dan tegas dari masyarakat yang merasa hak-haknya diabaikan.
Partisipasi Masyarakat: Kunci Pembangunan Berkelanjutan
Koalisi lebih lanjut mendesak kementerian, lembaga, dan PT ITDC yang relevan untuk memastikan partisipasi yang bermakna dengan sepenuhnya melibatkan masyarakat yang terkena dampak, menekankan pentingnya menjunjung tinggi hak-hak konstitusional warga dan kepemilikan tanah land ownership. Ini bukan hanya soal membangun infrastruktur, tapi juga membangun kepercayaan dan keadilan.
Koalisi ini terdiri dari 23 organisasi masyarakat, termasuk KPA, AMAN, WALHI, dan KASBI. Mereka adalah suara-suara yang mewakili masyarakat yang seringkali tidak terdengar.
Belajar dari Mandalika: Pembangunan yang Berpihak pada Siapa?
Kasus KEK Mandalika adalah cermin bagi kita semua. Pembangunan memang penting, tapi jangan sampai mengorbankan hak-hak masyarakat. Transparansi, partisipasi, dan keadilan harus menjadi landasan utama dalam setiap proyek pembangunan. Jika tidak, sunset indah di Mandalika hanya akan menjadi ilusi, menutupi luka yang dalam bagi mereka yang kehilangan segalanya.
Mari kita pastikan bahwa pembangunan di Indonesia benar-benar inclusive dan berkelanjutan, di mana semua pihak mendapatkan manfaat, bukan hanya segelintir investor. Ingat, kemajuan sejati diukur dari seberapa baik kita memperlakukan mereka yang paling rentan. Jadi, lain kali Anda menikmati keindahan Mandalika, ingatlah juga cerita di balik layar.