Dulu, studio rekaman itu kayak kotak ajaib, tempat para dewa musik menciptakan keabadian. Sekarang? Lebih mirip bilik warnet yang disulap jadi tempat karaoke. Tapi tunggu dulu, ada satu tempat yang mencoba membangkitkan kembali era keemasan itu: Regent Sounds di London, yang kabarnya lebih angker dari rumah kontrakan mahasiswa akhir bulan.
Regent Sounds: Dari Sarang Hantu Jadi Istana Rock ‘n’ Roll?
Studio legendaris di “Tin Pan Alley” ini pernah jadi saksi bisu lahirnya karya-karya Jimi Hendrix, David Bowie, dan The Rolling Stones. Bayangkan, gaung musik mereka masih terasa di setiap sudut ruangan, bahkan mungkin berbisik di sela-sela debu yang menumpuk selama puluhan tahun. Setelah lama terbengkalai, Regent Sounds kini dihidupkan kembali dengan investasi multijutawan. Tujuannya? Menjadi landmark baru untuk rock ‘n’ roll, jazz, dan blues. Semoga saja bukan cuma jadi tempat foto-foto instagramable.
Pete Townshend, gitaris The Who, menyebut Regent Sounds sebagai “potongan besar sejarah musik rock”. Dan memang, sebagian besar dinding asli, ubin lantai, dan peralatan rekaman lawas masih dipertahankan. Arsip memorabilia juga ditemukan, siap dipamerkan di Denmark Street, yang sejak awal abad ke-20 dikenal sebagai pusat penerbit musik, toko alat musik, dan para penulis lagu.
Salah satu daya tarik utama adalah gitar Gibson 1949 milik T-Bone Walker, yang disebut-sebut sebagai pemicu revolusi musik 1950-an. Gitar ini menginspirasi banyak musisi legendaris, dari Chuck Berry dan BB King hingga Keith Richards. Apakah ini berarti kita akan melihat generasi baru gitaris yang terinspirasi dari gitar ini? Mari kita tunggu saja, sambil ngopi di warung sebelah.
Bukan Cuma Studio, Tapi Juga Toko Gitar “Naik Level”
Toko gitar Regent Sounds yang berada di gedung abad ke-18 yang sama, juga diperluas hingga empat kali lipat. Sekarang, ada bilik kedap suara bagi pengunjung untuk mencoba berbagai alat musik. Jadi, kalau suara fals Anda mengganggu tetangga, silakan datang ke sini. Investasi total mencapai hampir 6 juta poundsterling. Toko gitar ini sudah buka kembali, sementara studio rekaman masih dalam tahap renovasi. Targetnya, selesai dalam setahun. Semoga saja tidak molor seperti proyek infrastruktur di Indonesia.
Dulu, di Regent Sounds inilah The Beatles merekam “Fixing a Hole”, salah satu lagu kunci di album “Sgt Pepper’s Lonely Hearts Club Band”. Paul McCartney pernah bercerita tentang seorang pria yang mengaku sebagai Yesus Kristus datang ke studio. “Aku bilang: ‘Kalau begitu, sebaiknya kau masuk.’ Aku pikir, ya, mungkin saja bukan. Tapi kalau memang dia, aku tidak akan menjadi orang yang menolaknya… Jadi aku bilang: ‘Kalau kau janji akan diam dan duduk di sudut, kau boleh ikut.’ Aku memperkenalkannya kepada yang lain. Mereka bertanya: ‘Siapa ini?’ Aku jawab: ‘Dia Yesus Kristus.’ Kami немного tertawa,” kenang McCartney. Cerita ini membuktikan, bahkan di studio rekaman pun, hal-hal absurd bisa terjadi.
The Rolling Stones juga merekam hit besar pertama mereka, “Not Fade Away”, di Regent Sounds. “Kami membuat rekaman awal kami di Revox dua jalur di sebuah ruangan yang diisolasi dengan karton telur,” kenang Keith Richards. Mungkin karena itulah, suara mereka jadi begitu unik dan berkarakter. Siapa tahu, kalau Anda rekaman di kamar mandi dengan dinding dilapisi karton telur, bisa jadi the next big thing.
Rahasia Dapur Regent Sounds: Murah Tapi Berkualitas
The Kinks, Genesis, dan The Eagles adalah beberapa band lain yang sesi rekaman mereka di Regent Sounds membantu membentuk suara sebuah generasi. Patrick Racz, salah satu pemilik Regent Sounds, menyebut tempat ini sebagai “tanah suci” bagi warisan musik ibu kota. “Anda berdiri di jejak langkah para raksasa,” katanya. “Di sinilah Hendrix berdiri saat dia merekam. Di sinilah The Rolling Stones berada dan David Bowie.”
Racz, yang menjadi kaya raya berkat inovasinya (keran triflow dan teknologi SmartFlash), kini berinvestasi di Regent Sounds. Investasinya termasuk kolaborasi dengan Nikon untuk mengembangkan teknologi otentikasi instrumen yang disebut Racz sebagai “revolusioner”. Teknologi ini dapat memindai instrumen dengan detail yang belum pernah terjadi sebelumnya. Mungkin ini bisa jadi solusi untuk mengatasi pemalsuan alat musik yang marak terjadi.
Reinkarnasi Studio Analog di Era Digital?
Crispin Weir, pemilik lainnya, mengatakan bahwa Regent Sounds dulu “murah tapi memiliki suara yang sangat bagus”. “Kebanyakan studio mematok harga tiga atau empat kali lipat,” katanya. Weir juga mengenang bagaimana banyak studio tutup ketika rekaman digital mulai populer, memungkinkan musisi untuk merekam di rumah dengan biaya yang jauh lebih murah. “Sekarang orang-orang menyukai hal baru, yaitu bisa pergi ke studio,” ujarnya.
Regent Sounds akan kembali menjadi studio analog, menggunakan peralatan asli yang digunakan oleh Hendrix dan lainnya – kecuali karton telur yang dulu melapisi langit-langit. “Anda mendapatkan kimia tertentu saat bermain bersama yang sulit didapatkan saat Anda merekam semuanya secara individual,” kata Weir. Mungkin benar juga, ada sesuatu yang magis dari proses rekaman analog yang tidak bisa digantikan oleh teknologi digital.
“Electric Blues!”: Pesta Reuni Para Dewa Musik
Peluncuran meriah akan diadakan untuk merayakan “kelahiran kembali” Regent Sounds, bersamaan dengan publikasi buku baru Tony Bacon, “Electric Blues! T-Bone Walker and the Guitar That Started It All”. Bacon membayangkan Regent Sounds menjadi mecca bagi para penggemar rock ‘n’ roll. “Tanpa kejeniusan dan virtuositas T-Bone Walker, tidak mungkin kita memiliki proliferasi rock ‘n’ roll dari artis seperti The Rolling Stones atau Jimi Hendrix, yang jejak langkahnya membuat Regent Sounds menjadi tanah suci bagi penggemar musik,” kata Bacon.
“Biasanya, setiap hari ada setidaknya 30 hingga 50 kelompok orang yang berfoto di luar toko. Orang-orang datang dari seluruh dunia. Ini seperti ritual,” kata Racz. Sebuah pengakuan yang menunjukkan betapa Regent Sounds memiliki daya tarik yang kuat bagi para penggemar musik dari berbagai penjuru dunia. Mungkin karena di tempat inilah, sejarah musik pernah ditulis.
Jadi, apakah Regent Sounds akan benar-benar menjadi landmark baru untuk rock ‘n’ roll, jazz, dan blues? Atau hanya menjadi nostalgia yang dipoles ulang? Waktu yang akan menjawab. Yang jelas, kita semua berharap tempat ini bisa menginspirasi generasi baru musisi untuk menciptakan karya-karya yang abadi. Dan semoga saja, harganya tetap ramah di kantong mahasiswa.