Dark Mode Light Mode

Rencana 40 Triliun Rupiah: Jakarta Tenggelam, Dunia Terancam

Jakarta Tenggelam: Kisah Kota yang Kabur dari Nasibnya

Jakarta, megapolitan yang ramai dengan gedung pencakar langit dan sejarah kaya, kini menghadapi krisis eksistensial. Bayangkan sebuah kota yang tenggelam lebih cepat dari Venezia, sekitar 15 hingga 26 sentimeter per tahun! Prediksi suram mengatakan, sekitar 40% wilayah Jakarta bisa berada di bawah laut pada tahun 2050. Tapi jangan panik dulu, mari kita ulas drama ini.

Kota ini bukan hanya penting bagi Indonesia, tetapi juga jantung ekonomi, budaya, dan politik bagi lebih dari 280 juta penduduk yang tersebar di 17.000 pulau. Namun, Jakarta seperti pasien kritis yang membutuhkan tindakan penyelamatan darurat. Apakah solusinya membangun tembok raksasa, atau justru pindah ke kota baru di tengah hutan?

Bagaimana Jakarta Bisa Sampai ke Titik Nadir?

Jakarta terletak di dataran rendah di muara 13 sungai. Kondisi ini secara alami membuatnya rentan terhadap banjir, apalagi saat musim hujan tiba. Sejarah mencatat, Belanda yang mendirikan Batavia di abad ke-17 mencoba meniru Amsterdam dengan membangun kanal. Sayangnya, perawatan yang buruk dan kurangnya pemahaman iklim tropis menyebabkan stagnasi, penyakit, dan banjir yang semakin parah. Kanal-kanal peninggalan Belanda ini, meski masih ada, jelas tidak dirancang untuk menampung 11 juta jiwa.

Ledakan populasi setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 memicu pertumbuhan kota yang tidak terkendali. Migrasi besar-besaran dari desa, pembangunan permukiman informal di tepi sungai yang mempersempit aliran air, serta pengelolaan sampah yang buruk memperparah masalah banjir. Tapi ada satu faktor yang paling krusial: penurunan permukaan tanah.

Air tanah diekstraksi secara besar-besaran untuk memenuhi kebutuhan air lebih dari 11 juta penduduk. Praktik ini, terutama di daerah kumuh yang kekurangan akses air bersih, menyebabkan tanah di atas akuifer (lapisan batuan yang mengandung air) terus menurun. Pemerintah sebenarnya sudah lama berupaya menindak ekstraksi air ilegal ini, tapi penegakan hukumnya seringkali lemah.

Tembok Raksasa: Solusi Glamor atau Bencana Baru?

Pemerintah Indonesia memilih solusi yang cukup futuristik: tembok laut raksasa senilai 40 miliar dolar AS. Proyek ini juga mencakup pembangunan 17 pulau buatan yang dirancang menyerupai Garuda, burung mitos yang menjadi simbol negara. Tujuannya? Menjadi penghalang gelombang pasang dan kenaikan permukaan air laut. Pulau-pulau buatan ini juga diharapkan bisa mengurangi kepadatan penduduk Jakarta.

Tembok sepanjang 32 kilometer dan setinggi 20 meter ini dirancang oleh perusahaan asal Rotterdam, Belanda, seolah mengulang sejarah Jakarta di masa lalu. Pembangunannya dilakukan secara bertahap, dimulai dengan memperkuat tanggul yang ada. Nantinya, tembok ini akan diperpanjang hingga menjadi waduk raksasa yang bisa menyimpan air hujan dan mengurangi ketergantungan pada air tanah. Sistem pintu air juga akan diintegrasikan untuk mengendalikan aliran dari 13 sungai yang melintasi Jakarta.

Apakah Tembok Laut adalah Jawaban yang Tepat?

Meskipun terdengar menjanjikan, rencana ini menuai banyak kritik. Para ahli memperingatkan bahwa tembok laut dapat mengganggu ekosistem laut, mengubah arus laut, dan menyebabkan erosi pulau-pulau di sekitarnya. Lebih buruk lagi, tembok ini bisa memerangkap air yang tercemar dari sungai-sungai Jakarta, mengubah teluk menjadi laguna yang beracun. Belum lagi potensi penggusuran masyarakat pesisir tanpa kompensasi yang memadai.

Selain itu, biaya yang sangat besar dan waktu penyelesaian yang diperkirakan mencapai 40 tahun juga menjadi sorotan. Pada saat tembok ini selesai, mungkin 95% wilayah Jakarta Utara sudah berada di bawah permukaan air laut. Pembiayaan proyek yang bergantung pada reklamasi lahan dan investasi swasta menimbulkan kekhawatiran bahwa kepentingan komersial akan diutamakan daripada kesejahteraan publik. Tentu saja, dugaan korupsi juga menambah keraguan terhadap proyek ini.

Nusantara: Kabur dari Jakarta yang Tenggelam

Sambil membangun tembok laut, pemerintah Indonesia juga membangun ibu kota baru bernama Nusantara, jauh dari Jakarta, di tengah hutan Kalimantan. Ini bukan konsep baru, beberapa negara lain juga pernah membangun ibu kota dari nol. Tapi, melarikan diri dari kota yang tenggelam? Ini mungkin pertama kalinya dalam sejarah modern.

Pembangunan Nusantara dimulai pada tahun 2022 dan diperkirakan menelan biaya sekitar 35 miliar dolar AS. Kota ini dirancang sebagai pusat perkotaan yang "cerdas" dan "hijau," dengan sumber energi terbarukan dan ruang terbuka hijau yang luas. Bahkan, Istana Kepresidenan yang berbentuk Garuda sudah mulai dibangun. Sepertinya, pemerintah Indonesia benar-benar terobsesi dengan burung mitos ini.

Ibu Kota Baru: Beban Lingkungan dan Potensi Konflik

Namun, proyek Nusantara juga tidak luput dari kritik. Lokasi pembangunan yang menempati kawasan hutan lindung mengancam habitat satwa liar yang dilindungi, seperti orangutan. Masyarakat adat, seperti suku Balik, juga terancam kehilangan tanah leluhur dan warisan budaya. Selain itu, proyek ini kesulitan menarik investasi asing, sehingga bergantung pada dana negara dan menimbulkan kekhawatiran tentang keberlanjutan finansialnya.

Meskipun Istana Kepresidenan hampir selesai, bandara dan infrastruktur penting lainnya masih menunggu untuk dibangun. Kisah Jakarta yang tenggelam mengingatkan kita pada mitos-mitos tentang keserakahan dan keangkuhan. Mungkin, daripada proyek-proyek megah yang glamor, solusi yang lebih membumi adalah memberikan akses air bersih yang layak bagi masyarakat rentan. Akses air bersih yang merata mungkin jauh lebih efektif daripada istana di tengah hutan.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Suede / Sci-Fi Lullabies: Rilis Ulang, Dibongkar – Edisi SuperDeluxe

Next Post

Tips Jitu untuk Pemula: Jangan Sampai Salah Langkah di Awal Permainan