Apakah Kita Benar-Benar Kaya? Ketika Garis Kemiskinan Dunia Menggoyahkan Persepsi Kita
Pernah merasa gaji UMR itu cukup-cukup-tidak-cukup? Nah, ternyata standar "cukup" itu beda-beda tipis, tergantung siapa yang mengukurnya. World Bank (Bank Dunia) baru saja mengeluarkan data yang bikin kita garuk-garuk kepala, khususnya buat kita yang merasa sudah lumayan di negara berflower ini.
Bank Dunia menggunakan patokan baru untuk mengukur kemiskinan di negara-negara berpendapatan menengah atas (UMICs), termasuk Indonesia. Menurut mereka, kalau penghasilan kita di bawah US$8.30 (sekitar Rp135.000) per hari berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP) pada tahun 2021, berarti kita tergolong miskin. By the way, PPP ini semacam cara mengukur daya beli, bukan sekadar konversi mata uang biasa. Ini lebih fair karena mempertimbangkan perbedaan harga barang dan jasa antar negara. Sounds complicated? Intinya, ini cara lebih akurat untuk melihat apakah kita benar-benar mampu membeli kebutuhan dasar.
Perubahan ini bukan karena tiba-tiba ekonomi kita jeblok. Tapi, Bank Dunia memang secara berkala memperbarui definisi kemiskinan sesuai dengan standar hidup dan biaya hidup yang terus berubah di seluruh dunia. Jadi, masuknya Indonesia ke kategori UMIC pada tahun 2023, dengan Gross National Income (GNI) per kapita US$4,810, membuat tolok ukur kemiskinan kita dibandingkan dengan negara-negara UMIC lainnya. Logikanya, makin "kaya" suatu negara, makin tinggi standar minimal yang dianggap layak.
"Banyak negara menaikkan ambang batas kemiskinan mereka sebagai respons terhadap meningkatnya standar hidup minimum secara global,” kata Bank Dunia dalam laporannya.
*Kok Beda Sama Data Pemerintah?
Nah, di sinilah drama dimulai. Menurut data resmi Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2024, angka kemiskinan di Indonesia hanya 8.57%. Jauh banget kan bedanya? Kok bisa?
Perbedaan ini timbul karena metode yang digunakan berbeda. Keduanya memang menggunakan data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), tapi cara mengolahnya beda jauh. BPS lebih fokus pada perbedaan harga di wilayah perkotaan dan pedesaan, tanpa membandingkan dengan negara lain. Sementara Bank Dunia mempertimbangkan perubahan harga dari waktu ke waktu menggunakan Indeks Harga Konsumen (IHK), perbedaan harga antar daerah, dan perbandingan internasional melalui PPP. Ini seperti membandingkan apel dengan jeruk bali. Sama-sama buah, tapi rasanya beda.
"Garis kemiskinan nasional tetap yang paling relevan untuk kebijakan domestik, seperti distribusi bantuan sosial. Garis internasional dimaksudkan untuk perbandingan global,” jelas Bank Dunia. Jadi, jangan heran kalau pemerintah merasa angka kemiskinan kita baik-baik saja.
Metode Jadul Bikin Bingung? Urgensi Modernisasi Pengukuran Kemiskinan Nasional
Para ahli mulai angkat bicara soal metode pengukuran kemiskinan yang digunakan BPS. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengkritik BPS karena masih menggunakan metodologi yang relatif sama sejak tahun 1976. Bayangkan, dari zaman Orde Baru sampai sekarang, ukurannya masih sama!
"Pendekatan BPS sudah ketinggalan zaman. Sementara itu, Bank Dunia secara teratur memperbarui metodologinya untuk mencerminkan perubahan dinamis dalam konsumsi dan biaya hidup,” kata Bhima. Bhima mencontohkan Malaysia, yang merevisi garis kemiskinannya pada tahun 2019. Hasilnya? Identifikasi populasi rentan menjadi lebih akurat dan cakupan bantuan sosial lebih luas.
"Kita seharusnya tidak takut dengan angka kemiskinan yang lebih tinggi. Justru, data yang diperbarui dapat membantu kita merancang kebijakan yang lebih tepat sasaran dan mengurangi kemiskinan secara lebih efektif,” tambahnya.
Angka Kemiskinan: Jangan Takut Jujur!
Bhima mendesak BPS untuk berkolaborasi dengan akademisi independen dan organisasi internasional untuk merevisi garis kemiskinan nasional. Ia khawatir, kalau kita terlalu menutup mata terhadap angka kemiskinan yang sebenarnya, bantuan yang diberikan jadi tidak tepat sasaran dan banyak yang membutuhkan jadi terlewatkan.
Kalau kita menggunakan patokan Bank Dunia untuk negara berpendapatan menengah ke bawah (US$4.20 per hari atau Rp765.000/bulan), 19.9% orang Indonesia tergolong miskin. Kalau menggunakan ambang batas kemiskinan ekstrem (US$3 per hari atau Rp546.000/bulan), angkanya turun jadi 5.4%. Tetap saja, ini menunjukkan bahwa ada gap yang cukup signifikan antara data yang kita punya dengan realita di lapangan.
"Khawatir jumlah masyarakat miskin yang kurang terdata berisiko menyebabkan bantuan sosial tidak menjangkau populasi yang sebenarnya dikategorikan miskin,” pungkas Bhima.
Apa Akibatnya Kalau Kita Underestimate Kemiskinan?
Kalau angka kemiskinan kita underestimate, dampaknya bisa serius. Kebijakan yang diambil jadi kurang tepat sasaran, anggaran untuk program pengentasan kemiskinan jadi tidak efektif, dan akhirnya kesenjangan sosial makin lebar. Kita jadi seperti dokter yang salah mendiagnosis penyakit pasiennya. Alih-alih sembuh, penyakitnya malah makin parah.
Terus, Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Sebagai warga negara yang baik, kita bisa mulai dengan meningkatkan kesadaran tentang masalah ini. Jangan cuma fokus pada flexing di media sosial, tapi juga peduli dengan kondisi di sekitar kita. Dukung inisiatif yang bertujuan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan data kemiskinan. Ingat, data yang akurat adalah kunci untuk mengatasi masalah kemiskinan secara efektif.
Siapa yang Seharusnya Bertanggung Jawab?
Tentu saja, pemerintah punya peran utama dalam hal ini. BPS perlu segera merevisi metodologi pengukuran kemiskinan agar lebih relevan dengan kondisi saat ini. Selain itu, perlu juga ada koordinasi yang lebih baik antara berbagai instansi pemerintah agar program pengentasan kemiskinan bisa berjalan lebih sinergis.
Garis Kemiskinan: Lebih dari Sekadar Angka
Pada akhirnya, garis kemiskinan bukan cuma sekadar angka. Ini adalah cerminan dari seberapa fair dan just sebuah negara memperlakukan warganya. Kalau kita masih menggunakan standar yang ketinggalan zaman, berarti kita gagal untuk melihat dan mengatasi masalah kemiskinan yang sebenarnya. Jadi, mari kita mulai berani jujur pada diri sendiri dan pada data, agar kita bisa membangun Indonesia yang lebih adil dan sejahtera untuk semua.
Saatnya Berbenah: Jangan Sampai Ketinggalan Zaman!
Intinya, angka kemiskinan yang akurat itu penting banget. Dengan data yang tepat, kita bisa merancang kebijakan yang lebih efektif dan memastikan bantuan sampai ke tangan yang benar-benar membutuhkan. Jangan sampai kita tertipu oleh ilusi kemakmuran, sementara masih banyak saudara-saudara kita yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar. Ingat, kemajuan suatu bangsa diukur dari seberapa baik ia memperlakukan yang paling rentan.