Dark Mode Light Mode

Rima Kokain Dana Pensiun

Mungkin kamu pernah dengar ungkapan “jangan nilai buku dari sampulnya.” Tapi, gimana kalau sampulnya itu dibuat untuk dinilai? Itulah yang mungkin kita rasakan saat mendengarkan album terbaru Clipse, Let God Sort Em Out. Setelah 16 tahun vakum, ekspektasi tentunya setinggi langit. Tapi, apakah album ini berhasil memenuhi hype yang ada? Mari kita bedah satu per satu.

Duo hip-hop legendaris ini, yang terdiri dari Pusha T dan Malice, kembali dengan dukungan penuh dari Pharrell Williams. Secara teori, ini adalah resep sempurna untuk sebuah comeback yang epik. Pusha T, dengan solo karirnya yang solid, berkolaborasi kembali dengan Malice, yang kehadirannya selalu menyimpan aura misteri. Pharrell, sang arsitek suara Clipse, kembali memegang kendali produksi. Namun, hasilnya justru terasa aneh, datar, dan terlalu dibuat-buat.

Album ini mencoba keras untuk menunjukkan betapa “pentingnya” dirinya. Nuansa gospel yang khidmat, minimalisme mewah yang berlebihan, dan sindiran-sindiran kecil terhadap perseteruan di industri musik terasa seperti parody dari keseriusan itu sendiri. Ibaratnya, album ini lebih terasa seperti business brief lengkap dengan catatan kaki imajiner dari tim marketing Louis Vuitton (Pharrell saat ini menjabat sebagai direktur kreatif menswear LV, dan sebagian album direkam di kantornya di Paris).

Produksi: Lebih Mahal daripada Berkesan?

Salah satu masalah utama Let God Sort Em Out adalah bagaimana album ini terlalu fokus pada estetika mewah dan high-end. Ini bukan lagi suara raw dan “mentah” dari Hell Hath No Fury. Produksinya terasa seperti soundtrack untuk iklan parfum Balenciaga. Ketika beat mencoba untuk kembali ke akar mereka yang stripped-back, seperti pada lagu “Let God Sort Em Out/Chandeliers” dan “E.B.I.T.D.A.”, mereka justru dirusak oleh beat switch yang setengah hati atau vocal bed yang terlalu manis.

Dulu, Pharrell membuat musik hard yang terdengar weird. Sekarang, dia membuat musik mahal yang terdengar… mahal. Sederhananya, ini adalah coke rap dengan 401(k) dan investasi crypto. Hip-hop sudah lama bergeser, kita tahu itu. Tapi apakah pergeseran ini sesuai dengan identitas Clipse?

Malice: Sang Putra yang Kembali, atau Sekadar Nostalgia?

Malice, seperti biasa, tetap tenang dan metodis di mic. Dia berceramah seperti seseorang yang menjual keselamatan abadi sebagai sebuah lifestyle brand. Suaranya terdengar kokoh, meskipun sedikit mekanis, dan seringkali terjebak dalam moralisasi datar dan referensi budaya pop yang sudah ketinggalan zaman (termasuk dua name-drop Lion King dalam delapan bar di lagu “Ace Trumpets”). Kembalinya dia diposisikan sebagai momen penting, tetapi dia lebih terasa seperti penerima lifetime achievement Oscar yang hadir hanya untuk sesi foto.

Pusha T: Teknisi Verbal yang Terlalu Nyaman?

Sementara itu, Pusha T, sang teknisi verbal dengan kumis andalannya, sepertinya bermain aman. Dia tetap menjadi master dalam menyampaikan penghinaan, tetapi cibiran-cibirannya jarang mengenai sasaran yang layak. Sindiran terhadap Drake dan Kanye terasa seperti kewajiban kontrak, dan diss terhadap Travis Scott hampir tidak terasa sama sekali. Bahkan, lebih menjengkelkan ketika dia menyerang “content creators” dan menegaskan bahwa dia “membenci itu,” seolah-olah kita lupa bahwa dia pernah mengejek Filet-o-Fish McDonald’s. Apa kabar beef yang lebih substantive?

Momen Cemerlang yang Terkubur

Ada beberapa momen cemerlang yang mengisyaratkan potensi sebenarnya dari Let God Sort Em Out, seperti “Inglorious Bastards” dan “All Things Considered”. Dua master mouthing off berbicara jujur di atas beat yang jarang dan skeletal, sepenuhnya menyadari bahwa reuni itu sendiri adalah event utamanya, bukan semua hoopla buatan di sekitarnya.

Sayangnya, kilauan ini terkubur di bawah beban feature yang tidak perlu, seperti teatrikal histeris Kendrick Lamar di lagu “Chains & Whips” yang sudah terlalu keras, yang bertujuan untuk membakar bumi tetapi malah berakhir dengan hanya terengah-engah, dan varnish Pharrell yang menyesakkan. Album ini terlalu banyak mencoba, dan akhirnya kehilangan esensinya.

Terlalu Hormat untuk Menjadi Menarik

Pada akhirnya, Let God Sort Em Out terlalu menghormati dirinya sendiri untuk menjadi menarik. Clipse dulu membuat musik seolah-olah kelangsungan hidup mereka dipertaruhkan. Sekarang, mereka nge-rap seperti orang-orang yang sudah menang, dengan sopan berjalan melalui victory lap yang layak tetapi membosankan. Album ini mengenakan kilau sterinya seperti baju besi yang, mengingat betapa langkanya tingkat kemewahan ini untuk album hip-hop yang dibuat oleh MC yang lebih tua dari usia minimum untuk menjadi presiden, mungkin bahkan patut dikagumi, tetapi album ini tidak bergerak maju atau mundur.

Masa Depan Clipse: Apa yang Selanjutnya?

Lantas, apa yang bisa kita harapkan dari Clipse di masa depan? Apakah Let God Sort Em Out hanyalah sebuah blip di radar mereka, atau pertanda bahwa mereka telah kehilangan sentuhan magis mereka? Hanya waktu yang akan menjawabnya. Namun satu hal yang pasti, album ini meninggalkan kita dengan banyak pertanyaan daripada jawaban. Comeback ini membuktikan bahwa reuni saja tidak cukup.

Kesimpulan: Kilau yang Hambar

Let God Sort Em Out adalah album yang secara teknis kompeten, tetapi kurang jiwa. Album ini seperti mobil sport mewah yang hanya diparkir di garasi: terlihat bagus, tetapi tidak pernah benar-benar melaju. Album ini berpose dan mengharapkan kita untuk bertepuk tangan. Is it worth a listen? Mungkin untuk die-hard fans. Namun, bagi pendengar baru, mungkin lebih baik untuk menjelajahi karya-karya Clipse yang lebih awal. Sayang sekali, ya? Album ini memiliki semua bahan yang tepat, tetapi resepnya sepertinya kurang garam dan merica.

Hip-Hop dan Nostalgia: Sebuah Refleksi

Fenomena comeback di dunia hip-hop memang menarik. Nostalgia adalah powerful drug. Tapi, apakah nostalgia cukup untuk membuat sebuah album menjadi sukses? Let God Sort Em Out menunjukkan bahwa jawabannya mungkin tidak sesederhana itu. Album ini adalah pengingat bahwa inovasi dan keberanian untuk bereksperimen tetap penting, bahkan bagi legenda sekalipun.

Mengapa Album ini Penting (atau Tidak)?

Meskipun Let God Sort Em Out mungkin bukan masterpiece yang kita harapkan, album ini tetap penting dalam konteks lanskap hip-hop saat ini. Album ini memicu percakapan tentang evolusi suara, pentingnya authenticity, dan tantangan untuk memenuhi ekspektasi yang tinggi. Album ini mungkin bukan classic, tetapi ia memberikan sesuatu untuk dipikirkan.

Pesan Penting: Jangan terlalu terpaku pada nostalgia. Teruslah bereksperimen, teruslah berinovasi, dan jangan takut untuk mengambil risiko. Karena, pada akhirnya, legacy sejati dibangun di atas keberanian untuk menjadi diri sendiri.

Penutup:

Clipse, we still love you, tapi Let God Sort Em Out? Not so much. Mungkin lain kali kalian akan kembali dengan sesuatu yang benar-benar mengguncang dunia. Kita tunggu saja.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Google Contacts Kini Catat Aktivitas Terbaru, Privasi Pengguna Terancam

Next Post

Varlet bukan hanya RPG penemuan jati diri, tapi juga pembuktian Furyu