Siap-siap, generasi now dan slightly-used: pernah nggak sih lo ngerasa band kesayangan lo itu punya banyak versi? Kayak rasa Indomie yang bisa lo masak dengan sejuta cara? Nah, ini dia yang mau kita bahas. Lebih dari sekadar nostalgia, ini tentang reimagining sebuah legenda.
Mengurai Benang Kusut Pavement: Lebih dari Sekadar Slacker Rock
Pavement, band indie rock kesayangan kita semua (atau yang seharusnya jadi kesayangan), itu ibarat teka-teki yang nggak pernah selesai. Gaya mereka yang slippery dan sulit ditebak justru jadi daya tarik utama. Ibaratnya, lo lagi dengerin lagu mellow, tiba-tiba sound effect aneh muncul. Bikin kaget, tapi bikin nagih. Band ini seolah mewakili gagasan bahwa setiap orang punya banyak versi dirinya. Multiverse, kalau kata anak Marvel.
Konsep “Pavements” (pakai ‘s’, plural!) ini yang jadi landasan utama. Film dan soundtrack yang menyertainya mencoba mengumpulkan berbagai interpretasi tentang band ini, ibarat menyatukan berbagai universe untuk mendapatkan pemahaman yang lebih dalam. Filmnya, sih, mungkin aja bikin lo mikir, “Ini apaan, dah?”, tapi soundtrack-nya… that’s where the magic happens.
Soundtrack-nya ini kayak mixtape yang dijahit dari berbagai interpretasi Pavement. Bukan sekadar kumpulan lagu, tapi sebuah experience tersendiri. Dibikin supaya bisa dinikmati dari awal sampai akhir, kayak dengerin playlist chill di Spotify pas lagi work from home. Jangan kaget kalau ada snippet aneh di sana-sini, itu memang disengaja, biar nggak terlalu serius.
Intinya, soundtrack ini menampilkan Pavement sebagai band yang baru. Mereka memainkan lagu-lagu lama dengan energi yang berbeda, lebih dewasa, lebih angular, dan lebih emosional. Kayak ketemu mantan, tapi dia lebih glow up dan bikin pangling. Beberapa lagu yang dulu mereka tulis pas masih umur 20-an, sekarang dimainkan 30 tahun kemudian, dengan rasa yang berbeda. Ini bukan cuma nostalgia, tapi reinterpretation.
Sebagai fans yang pernah nonton konser Pavement di era 90-an, satu hal yang selalu bikin penasaran adalah mood band-nya. Malam ini mereka bakal perform kayak gimana? Bakal bagus atau malah bikin kecewa? Pengalaman ini unik banget, nggak kayak nonton David Byrne yang selalu all out. Pavement justru punya cara sendiri untuk meruntuhkan ekspektasi penonton.
Soundtrack ini menangkap energi baru tersebut. Sesi latihan mereka kayak rekaman studio live, di mana mereka bereksperimen dan mencari sound yang paling pas. Hasilnya? Lagu-lagu rock yang straightforward, angular, dan incredible. Ibaratnya, lo dengerin lagu yang udah lo kenal, tapi dengan aransemen yang bikin merinding.
Dari Film ke Musik: Soundtrack Sebagai Pengalaman Pavement
Jadi, tracklist soundtrack-nya ini ngikutin alur filmnya? Kurang lebih, iya. Bagian yang paling seru adalah saat sang editor menyatukan suara-suara Pavement ke dalam elemen transisi di sepanjang film. Ini kayak easter egg buat fans berat, suara-suara yang sering muncul di antara lagu, yang jadi ciri khas Pavement.
Suara-suara itu kayak Stephen Malkmus yang tiba-tiba kontradiksi sama omongannya sendiri. Habis mainin lagu keren, eh, tiba-tiba muncul suara “doot doot doot doot doot doot”. Bikin vibe-nya rusak, tapi justru itu yang bikin unik. Elemen ini digunakan sebagai transisi di soundtrack, yang bikin pengalaman mendengarkannya jadi lebih imersif.
Tujuannya sederhana: soundtrack ini harus terasa seperti pengalaman menonton film, yang pada akhirnya terasa seperti pengalaman menjadi fans Pavement. Ini adalah interpretasi seorang fans yang berkolaborasi dengan band. Jadi, harapannya, fans lain juga bisa merasakan hal yang sama. Sebuah bentuk authorship yang diberikan band kepada fans, sebuah kehormatan yang nggak ternilai harganya.
Kolaborasi dengan Pavement: Mencari Formula Ajaib
Proses pembuatan soundtrack ini melibatkan kolaborasi erat dengan Steve West dan Spiral dari Pavement. Anggota band lainnya tetap aware dan ikut mendengarkan, dengan Bob Nastanovich juga memberikan input. Diskusi berfokus pada pemilihan track yang paling cocok, termasuk reinterpretation dari lagu-lagu awal mereka.
Pavement memberikan kepercayaan penuh kepada sang editor. Mereka percaya bahwa film ini akan semakin bagus, dan ketika sang editor menawarkan untuk “berlari” dengan soundtrack-nya, mereka langsung setuju. Hasilnya pun memuaskan semua pihak. Band ini percaya sama visi sang editor untuk soundtrack ini.
Kejutan di Balik Soundtrack: Lebih dari Sekadar Lagu
Ada beberapa track yang nggak ada di film, tapi justru jadi daya tarik utama soundtrack. Salah satunya adalah penampilan Kathryn Gallagher yang membawakan “Give It A Day”. Penampilannya luar biasa, mengubah lagu tersebut menjadi rock anthem yang bikin merinding. Terus, ada juga Joe Keery yang nyanyiin “Range Life” dengan gaya emo Malkmus yang lagi bosen tur.
Penampilan Joe Keery ini dibumbui dengan sorakan boo, bikin lagunya jadi super lucu dan konyol. Ini menunjukkan bahwa soundtrack ini nggak cuma berisi lagu-lagu serius, tapi juga sentuhan humor yang bikin segar. Intinya, soundtrack ini menambah tekstur dan lapisan yang lebih dalam ke dalam pengalaman Pavement.
Soundtrack ini, intinya, adalah perayaan Pavement dari sudut pandang seorang fans. Sebuah love letter buat band yang selalu berhasil bikin kita mikir, ketawa, dan kadang-kadang, sedikit bingung. Tapi itulah Pavement, kan? Unpredictable, unique, dan selalu bikin penasaran.