Dark Mode Light Mode

Rock and Roll Takkan Membunuhmu

Mungkin di permukaan, Matt Berninger tampak tidak punya alasan untuk bersedih. Vokalis The National yang karismatik ini, berusia 54 tahun, akrab dengan Barack Obama. Ia menghadiri pertemuan di San Vicente Bungalows, (klub anggota eksklusif yang bahkan disebut di album solonya, Get Sunk). Dan Taylor Swift adalah teman dan kolaborator; ia bernyanyi di "Coney Island" dari Evermore pada tahun 2020; Swift membalas budi dengan tampil di lagu The National tahun 2023, "The Alcott". Tapi, di balik gemerlap itu, ada cerita tentang bagaimana ia mengatasi masa-masa sulit.

Bangkit dari Keterpurukan: Perjalanan Kreatif Matt Berninger

Judul album Get Sunk dan beberapa lagu di dalamnya, sebenarnya sudah ada sebelum Berninger berhasil keluar dari depresi berat beberapa tahun lalu. Depresi itu begitu melumpuhkan, sampai ia khawatir tidak akan pernah bisa tampil lagi. Namun, kini, sang scruffy poet laureate dari melankoli paruh baya ini justru merasa lebih bahagia dan produktif dari sebelumnya. Ia baru saja melewati masa hot streak pasca-pandemi, dengan merilis beberapa album The National dan album solo keduanya setelah Serpentine Prison (2020).

Berninger, dengan gaya khasnya yang unfiltered, berbagi cerita tentang mengatasi burnout, proses kreatifnya yang unik, dan koneksi kosmik antara "sad dads" dan remaja perempuan. Ia bahkan bercanda tentang betapa berbahayanya menulis lirik di whiteboard dengan spidol permanen. "Rasanya seperti melanggar aturan, dan itu membantu saya melanggar aturan dengan kata-kata juga," ujarnya.

Cincinnati, Brooklyn, dan California: Transformasi Jiwa

Cincinnati, Ohio, membentuk pandangan dunianya, tetapi Brooklyn mengubahnya hingga tak dikenali. New York memberinya perubahan signifikan. "Ketika Anda pindah ke tempat baru, otak Anda bekerja berbeda, tubuh Anda bekerja berbeda, jiwa Anda bekerja berbeda," ungkapnya. "Saya sangat percaya itu." Tempat baru memang bisa jadi trigger kreativitas, gaes!

Perpindahan ke California, menurutnya, terjadi ketika ia merasa berhenti berubah. Tapi, perubahan itu butuh trik. Dulu ia menulis di buku catatan, lalu di ponsel, dan sekarang ia mencoba menghilangkan keduanya dari tangannya. "Jadi, saya menulis di whiteboard. Saya menulis di bola bisbol. Saya menulis di buku yang sedang saya baca. Saya punya salinan Great Gatsby yang mungkin berisi dua album lagu di dalamnya," jelasnya. Itu baru namanya out of the box!

Dari Hollywood Bowl ke Ruang Penulisan yang Kacau Balau

Tiga tahun terakhir The National adalah yang paling sehat dalam karir mereka. Berninger mengakui sempat mengalami depresi panjang dan writer's block. Namun, membuat dua album terakhir The National, tur, membuat album live Rome, dan tur bersama The War on Drugs, menjadi momen terbaik yang pernah ia rasakan bersama The National. Penampilannya di Hollywood Bowl pun mencerminkan hal itu.

"Saya telah kehilangan rasa takut pada penonton. Saya telah kehilangan rasa takut terlihat bodoh, mungkin sampai tingkat yang tidak sehat," candanya. Depresi membuatnya takut akan segalanya: tidak bisa menulis lagu lagi, tidak bisa naik panggung lagi, bahkan tidak bisa kembali menjadi seniman atau graphic designer. Jadi, ketika dia bangkit, dia mengambil risiko dan bersenang-senang.

Di ruang kerjanya, sebuah whiteboard penuh dengan tulisan tangan. "Itu beberapa lagu di sana dan saya sedang menulis liriknya di sana. Saya akan menulis seluruh rekaman hanya di papan itu," jelasnya. Proses ini membuatnya tetap fun. Menulis dengan spidol permanen di whiteboard terasa salah, tapi justru itu yang membuatnya bebas.

Lebih dari Sekedar "Sad Dads": Mengapa Remaja Menyukai The National?

Banyak orang menganggap The National itu sedih dan tua. Berninger, dengan santai, menanggapi stereotip itu dengan menjual T-shirt "Sad Dad" selama tur. "Oke, kalau itu yang orang katakan tentang kami – yang tidak terlalu jauh dari kenyataan. Kami semua ayah dan kami semua berjuang dengan kecemasan dan depresi. Jadi biarlah menjadi ‘sad dads'," ujarnya.

Yang menarik, justru remaja perempuan yang tertarik dengan konsep "sad dads" ini. Phoebe Bridgers mengatakan bahwa ada kesamaan antara otak pria paruh baya dan otak remaja perempuan. Berninger pun setuju. Ia memiliki seorang putri remaja, dan mereka saling memahami. Fenomena ini juga terkait dengan kolaborasi Aaron Dessner (gitaris The National) dengan Taylor Swift.

Koneksi antara penggemar Taylor Swift dan The National terletak pada tema-tema yang sama: kesedihan, introspeksi, kecemasan, dan melodrama. Remaja mencari kegembiraan dan kesenangan, tetapi mereka juga tertarik pada sisi gelap dan rumit kehidupan. Musik orang dewasa yang tertekan, menurut Berninger, akhirnya mengatakan kebenaran, dan remaja jarang mendengar itu dari dunia luar.

"Nowhere Special": Kekacauan yang Indah

Lirik Berninger memang menjadi daya tarik utama. Lagu "Nowhere Special" memiliki sekitar 10.000 kata. Liriknya memenuhi seluruh bagian dalam sampul album. Lagu itu memiliki banyak arus pemikiran yang saling bersilangan. "Don’t make me cry in the back of a black car" bahkan bukan miliknya; temannya, Jamie, yang menulisnya.

"So I’m late for the bungalow meeting" adalah lirik yang sangat Hollywood. Berninger menjelaskan bahwa ia terlambat untuk pertemuan dengan labelnya, Concord, di San Vicente Bungalows, karena ia kehabisan anggaran dan waktu. Ia merekam "Nowhere Special" sore setelah The National bermain di Hollywood Bowl.

Lagu itu adalah upaya terakhir. Ia mengumpulkan semua lirik yang belum ia masukkan ke dalam lagu lain, ditambah masalah dengan latency di headphone dan click track. Jadi, semua yang ia nyanyikan tentang click track dan latency benar-benar terjadi. Ia hanya butuh lirik!

Hasilnya adalah kumpulan kesadaran yang mengalir, seperti tumpukan Lego. "Saya selalu menggambarkan lirik saya sebagai kolase atau menyusun Lego. Dan kadang-kadang saya akan memoles satu Lego hijau kecil hanya untuk membuatnya benar selama sebulan. Tetapi di lain waktu itu hanya tumpukan Lego," jelasnya. "Nowhere Special" adalah lagu pertamanya yang terdengar seperti tumpukan Lego, tetapi tetap indah.

Pelajaran dari Matt Berninger: Jangan Takut Kekacauan

Matt Berninger mengajarkan kita untuk tidak takut pada kekacauan. Semakin kacau sebuah pertunjukan live, semakin banyak hal yang salah, semakin menyenangkan baginya. "Rock and roll tidak bisa membunuhmu," tegasnya. Dan mungkin, justru dalam kekacauan itulah kita menemukan kebenaran dan keindahan. Jadi, berani sunk?

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Gemini 2.5 Pro Versi Indonesia Rilis: Era AI Baru Dimulai

Next Post

Merah Putih Sinergi Koperasi: Prabowo Perintah Konsolidasi