Siapa bilang rock and roll itu damai? Drama terbaru di kubu The Who membuktikan sebaliknya. Pertengkaran internal, tuduh-menuduh di media, dan keluarnya drummer—ini bukan episode reality show, tapi kenyataan pahit di balik panggung legenda musik.
The Who: Dari Panggung ke Ruang Sidang (Media)
The Who, band rock legendaris yang telah menemani kita melewati berbagai generasi, kembali menjadi sorotan. Kali ini, bukan karena album baru atau konser spektakuler, melainkan perseteruan antara vokalis Roger Daltrey dan mantan drummer Zak Starkey. Starkey, putra dari Ringo Starr (The Beatles), telah menjadi bagian dari The Who selama hampir 30 tahun sebelum akhirnya berpisah jalan dengan band tersebut. Sebuah perpisahan yang, mari kita akui, jauh dari kata harmonis.
Pertengkaran ini bermula dari penampilan yang kurang memuaskan di acara amal di Royal Albert Hall, London, pada bulan Maret lalu. Daltrey menuduh Starkey bermain terlalu keras dan melakukan kesalahan, sementara Starkey berbalik menuduh Daltrey yang melakukan kesalahan, termasuk melewatkan intro lagu “The Song Is Over”. Seru, kan? Lebih seru dari plot twist di sinetron kejar tayang.
Akar Masalah: Lebih Dalam dari Sekadar Nada yang Fals
Namun, akar masalahnya ternyata lebih kompleks daripada sekadar masalah teknis atau perbedaan pendapat tentang siapa yang salah dan siapa yang benar. Daltrey menjelaskan bahwa masalah utama pada malam itu sebenarnya adalah masalah sound system. The Who menggunakan electronic drums dalam konser live agar Daltrey dapat mendengarnya dengan jelas melalui in-ear monitors. Namun, level sub-bass pada suara drum terlalu tinggi, sehingga Daltrey kesulitan untuk menyelaraskan nada.
Bayangkan saja, seperti menerbangkan pesawat tanpa melihat horizon. Daltrey berusaha memberi isyarat kepada sound engineer, namun Starkey salah paham dan mengira Daltrey menyalahkannya. Kesalahpahaman inilah yang kemudian memicu rentetan kejadian yang berujung pada keluarnya Starkey dari The Who. Tech issue yang berujung pada drama band? Klasik!
Perang Kata-kata di Media: Siapa Bilang Musisi Itu Kalem?
Setelah kejadian tersebut, kedua belah pihak tidak ragu untuk saling melempar komentar pedas di media. Starkey, dalam wawancaranya dengan Rolling Stone, menuduh Daltrey “tersesat”, sementara Daltrey, dalam wawancaranya dengan The Times, menyebut komentar Starkey sebagai “pembunuhan karakter” dan sangat mengecewakan. Sebuah perang kata-kata yang, jujur saja, cukup menghibur untuk diikuti. Tapi mungkin tidak bagi mereka yang terlibat langsung.
Komentar-komentar pedas ini, sayangnya, disaksikan oleh jutaan penggemar The Who di seluruh dunia. Video penampilan “The Song Is Over” yang diunggah secara online memperlihatkan momen ketika Daltrey tampak frustrasi dan memberi isyarat kepada Starkey. Publik pun ikut memberikan penilaian, meskipun, seperti yang diungkapkan Daltrey, “penonton dapat melihat apa yang terjadi di atas panggung dan memiliki kesalahpahaman total tentang apa yang sebenarnya terjadi.”
The Who Tanpa Starkey: Babak Baru atau Akhir dari Sebuah Era?
Meskipun Daltrey mengakui adanya kesalahpahaman, ia tetap tegas dengan keputusan The Who untuk berpisah dengan Starkey. “Pete [Townshend] dan saya berhak untuk menjadi The Who,” katanya. “Semua orang lain adalah session player. Anda tidak bisa menggantikan [drummer orisinal] Keith Moon. Kami ingin mengembangkan diri dan hanya itu yang ingin saya katakan tentang hal itu.”
Keputusan ini tentu saja menimbulkan berbagai reaksi dari para penggemar. Sebagian mendukung keputusan Daltrey dan Townshend, sementara sebagian lainnya merasa kehilangan sosok Starkey yang telah menjadi bagian integral dari The Who selama bertahun-tahun. Apakah The Who dapat terus berkibar tanpa Starkey? Waktu yang akan menjawab. Tapi satu hal yang pasti: perubahan adalah bagian tak terpisahkan dari dunia musik.
Perpecahan band adalah hal yang lumrah dalam industri musik. Entah karena perbedaan kreatif, masalah pribadi, atau sekadar lelah dengan rutinitas, banyak band legendaris yang akhirnya bubar atau mengalami perubahan line-up. The Who bukanlah yang pertama, dan tentu saja bukan yang terakhir.
Meskipun perseteruan ini menyakitkan bagi semua pihak yang terlibat, kita sebagai penggemar hanya bisa berharap agar mereka dapat berdamai dan melanjutkan karier masing-masing. Bagaimanapun, warisan musik yang telah mereka ciptakan akan terus abadi, menghibur dan menginspirasi generasi demi generasi. Mungkin sambil dengerin lagu The Who, kita semua bisa belajar untuk lebih chill dan nggak terlalu baper sama masalah orang lain. Just saying.
Intinya: drama di dunia musik itu kayak bumbu dalam masakan. Kadang bikin makin sedap, kadang bikin eneg. Tapi yang penting, musiknya tetap enak didengerin.