The Who: Drama Rock ‘n’ Roll, Lebih Seru dari Reality Show!
Di dunia musik yang penuh kejutan, kadang drama di belakang panggung lebih menarik daripada lagu catchy yang sedang hits. Kali ini, sorotan tertuju pada band legendaris The Who, dengan bumbu perseteruan internal yang cukup pedas. Bayangkan saja, legenda rock versus legenda rock, lengkap dengan sindiran halus dan sedikit drama ala opera sabun. Kita semua suka kan?
The Who memang bukan nama baru di industri musik. Dengan sejarah panjang dan track record yang tak diragukan lagi, mereka telah menjadi ikon bagi banyak generasi. Dari lagu-lagu anthemik hingga penampilan panggung yang enerjik, The Who selalu berhasil mencuri perhatian. Tapi, dibalik gemerlap panggung dan sorak sorai penonton, ternyata ada cerita lain yang lebih kompleks dan, jujur saja, sedikit bikin penasaran.
Zak Starkey, putra dari drummer legendaris Ringo Starr, telah menjadi bagian dari The Who sejak tahun 1996. Kehadirannya di belakang drum memberikan warna tersendiri bagi band ini. Namun, setelah serangkaian pertunjukan di Royal Albert Hall pada bulan Maret, muncul indikasi adanya gesekan internal. Rumor beredar, dan para penggemar mulai bertanya-tanya, “Ada apa gerangan?”
Pertanyaan itu terjawab, sayangnya bukan dengan press conference yang elegan, melainkan serangkaian pernyataan yang saling bertentangan di media. Pete Townshend, gitaris sekaligus songwriter utama The Who, sempat memberikan sinyal bahwa Starkey tetap menjadi bagian dari band. Namun, kenyataan berbicara lain. “Waktunya telah tiba untuk perubahan,” kata Townshend. Kode keras!
Perseteruan ini mencapai puncaknya ketika Roger Daltrey, vokalis karismatik The Who, menuduh Zak Starkey melakukan “pembunuhan karakter”. Tuduhan yang cukup serius, mengingat reputasi dan nama besar band ini. Daltrey merasa tersinggung dengan komentar-komentar Starkey terkait pemecatannya dari band. Suasana pun semakin memanas.
Zak Starkey vs. Roger Daltrey: Perang Drum dan Vokal
Inti masalahnya, menurut Daltrey, adalah masalah teknis saat pertunjukan di Royal Albert Hall. Sub-bass pada sound drum terlalu kuat, sehingga ia kesulitan untuk mencapai pitch yang tepat. Daltrey merasa frustrasi dan melampiaskannya kepada Starkey, yang salah paham mengira Daltrey menyalahkannya. Miss communication yang berujung panjang. Klasik!
Namun, Starkey memiliki versi cerita yang berbeda. Ia mengklaim bahwa Daltrey menuntut permintaan maaf publik karena ia dianggap miss dua beat. Starkey kemudian membuat video parodi dengan bebek bermain drum, yang justru memperkeruh suasana. Ironisnya, setelah sempat “mendapatkan kembali” posisinya, ia justru dipecat lagi. Situasi yang awkward.
The Who dan Dinamika Internal Band: Lebih dari Sekadar Musik
Perlu diingat, dalam sebuah band, dinamika internal sama pentingnya dengan kemampuan bermusik. Komunikasi yang buruk, ego yang besar, dan masalah teknis yang tidak terselesaikan dapat menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja. Dan sepertinya, itulah yang terjadi pada The Who.
Townshend mengakui adanya “masalah komunikasi, personal, dan pribadi di semua sisi”. Ia dan Daltrey telah menyampaikan kepada Starkey bahwa mereka ingin ia “memperketat gaya drum terbarunya agar sesuai dengan line-up non-orkestra kami”. Sebuah permintaan yang, menurut Townshend, disetujui oleh Starkey. Tapi ternyata, semua tidak sesederhana itu.
“Fukin Total Bollox”: Ketika Bahasa Kasar Menjelaskan Segalanya
Setelah dipecat, Starkey membantah klaim Daltrey bahwa ia tidak dipecat, melainkan “dipensiunkan”. Ia menyebut klaim itu sebagai “fukin total bollox” (maaf atas bahasanya, tapi ini quote langsung). Pernyataan yang cukup blak-blakan dan menunjukkan betapa dalamnya kekecewaan Starkey.
Dalam wawancara dengan NME, Starkey juga mengungkapkan percakapannya dengan Townshend, yang menanyakan apakah ia cukup kuat untuk memperjuangkan pekerjaannya kembali. Sebuah pertanyaan yang, menurut Starkey, tidak bisa ia jawab dengan yakin. Ia merasa bahwa ia tidak bisa memperjuangkan pekerjaannya jika Townshend tidak mendukungnya secara penuh.
Scott Devours: Pengganti yang Siap Memikul Beban Sejarah
Dengan kepergian Starkey, The Who menunjuk Scott Devours sebagai drummer baru mereka untuk tur perpisahan mereka. Devours bukan nama asing bagi Daltrey, karena ia pernah bekerja dengan sang vokalis dalam band solonya. Devours menyadari beratnya tanggung jawab yang ia emban, dan ia memahami jika para penggemar merasa kecewa dengan kepergian Starkey. Tekanan berat, bro!
Tour Perpisahan The Who: Akhir dari Sebuah Era?
Tur perpisahan The Who dijadwalkan dimulai di Florida pada bulan Agustus. Ini akan menjadi momen penting bagi band ini, dan juga bagi para penggemar yang telah setia mendukung mereka selama bertahun-tahun. Apakah ini benar-benar akhir dari sebuah era? Kita tunggu saja.
Warisan The Who: Lebih dari Sekadar Musik, Tapi Juga Drama!
Pada akhirnya, kisah perseteruan internal di The Who ini menjadi pengingat bahwa dibalik gemerlap dunia musik, ada sisi manusiawi yang rentan terhadap konflik dan kesalahpahaman. Drama ini justru membuat The Who semakin relevan di mata publik. Siapa yang bisa menolak drama rock ‘n’ roll?
Roger Daltrey menyebut anggota The Who selain dirinya dan Pete Townshend sebagai session player. Wah, pedas juga ya!
Perseteruan ini mungkin membuat sebagian penggemar kecewa, tetapi di sisi lain, juga menambah bumbu dalam sejarah panjang The Who. Kita bisa belajar bahwa bahkan band legendaris pun tidak luput dari masalah internal.
Zak Starkey masih berhubungan baik dengan Roger Daltrey dan Pete Townshend, lho. Bahkan, ia sempat ditawari untuk tidak mengeluarkan drumnya dari gudang “jika kami membutuhkanmu”. Situasi yang membingungkan, bukan?
Kontroversi dan Konsistensi: Dua Sisi Koin The Who
Meskipun diwarnai dengan kontroversi, satu hal yang pasti: The Who tetaplah The Who. Dengan musik mereka yang ikonik dan penampilan panggung yang enerjik, mereka akan terus dikenang sebagai salah satu band terbesar dalam sejarah rock ‘n’ roll.
Terlepas dari drama yang terjadi, The Who tetaplah legenda. Perseteruan ini justru menjadi bagian dari narasi mereka, menambah warna dalam sejarah panjang band ini. Mari nikmati musik mereka, dan jangan terlalu serius dengan dramanya. Karena pada akhirnya, musiklah yang akan abadi.
The Who: Pelajaran Berharga dari Panggung dan Balik Panggung
Dari kisah ini, kita belajar bahwa komunikasi yang baik, toleransi, dan kemampuan untuk menyelesaikan konflik adalah kunci untuk menjaga keharmonisan, baik dalam sebuah band maupun dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin, pelajaran ini lebih berharga daripada sekadar mendengarkan lagu-lagu mereka. Siapa tahu, kan? Semoga saja generasi Z dan Millennials bisa mengambil hikmahnya.