Dark Mode Light Mode

Sejarah Baru Indonesia: Bayang-Bayang Kontroversi bagi Akademisi

Bayangkan sejarah itu seperti playlist lagu favoritmu. Apa jadinya kalau tiba-tiba ada yang ganti semua lagu hits dengan lagu-lagu yang agak kurang kamu kenal? Nah, itulah kira-kira yang terjadi di Indonesia saat ini. Pemerintah punya ide bikin buku sejarah baru. Kedengarannya sih keren, tapi ada sedikit drama di balik layar.

Sejarah “Update”: Apakah Ada yang Dihapus?

Rencana pemerintah untuk menerbitkan buku sejarah baru, yang konon katanya berjumlah 10 jilid, memicu kekhawatiran. Kabarnya, peristiwa kerusuhan Mei 1998 yang menimpa etnis Tionghoa bisa jadi dihilangkan dari buku tersebut. Padahal, gimana ceritanya kita bisa move on kalau lupa sama masa lalu?

Presiden Prabowo Subianto, yang juga mantan jenderal, menunjuk tim untuk menyusun buku ini. Beberapa pihak khawatir, proyek ini bisa jadi alat untuk memoles sejarah dan menutupi pelanggaran HAM masa lalu. Anggap saja, kayak filter Instagram yang terlalu kuat, sampai muka jadi mulus semua, padahal aslinya ada blemish.

Ringkasan draf volume dan garis besar bab yang beredar, tidak menyertakan bagian khusus tentang kekerasan 1998. Ringkasan tentang pemerintahan Soeharto hanya menyebutkan bahwa “demonstrasi mahasiswa… menjadi faktor” dalam pengunduran dirinya. Wah, kok bisa gitu? Seakan-akan runtuhnya rezim Orde Baru cuma karena mahasiswa lagi bad mood.

Andi Achdian, seorang sejarawan dari Universitas Nasional Jakarta, yang telah melihat garis besarnya, mengatakan bahwa penulisan ini cacat sejak awal. “Ada kecenderungan yang sangat kuat untuk memutihkan sejarah,” ujarnya. Memutihkan sejarah? Lebih baik fokus sama skincare aja deh, daripada repot-repot memutihkan yang sudah kelam.

Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, bahkan mengatakan bahwa buku ini “tidak membahas Mei ’98… karena itu kecil“. Kecil? Coba tanyakan pada mereka yang jadi korban. Rasanya nggak kecil deh. Padahal, sejarah kelam adalah bagian penting dari proses healing bangsa.

Proyek buku sejarah ini juga nggak janji untuk memasukkan sebagian besar “pelanggaran HAM berat” yang diakui oleh mantan Presiden Joko Widodo pada tahun 2023. Lho, kok jadi mundur gini sih? Kita kan maunya maju, bukan mundur cantik.

Kontroversi “Sejarah Versi Pemerintah”: Antara Identitas dan Objektivitas

Jajat Burhanudin, seorang editor proyek, membantah kekhawatiran tersebut. Ia mengatakan bahwa buku baru ini akan mencakup peristiwa 1998, dan draf hanyalah “pemicu diskusi”. Semoga saja beneran ya, bukan cuma pemanis bibir. Pemerintah berdalih bahwa buku ini diperlukan untuk memperkuat identitas Indonesia.

Namun, kelalaian tentang masa lalu yang kelam akan menimbulkan pertanyaan tentang objektivitas. Marzuki Darusman, mantan Jaksa Agung dan kepala koalisi masyarakat sipil yang menentang volume tersebut, khawatir bahwa kasus-kasus yang telah diterima oleh pemerintah sebelumnya akan diabaikan. Jangan sampai deh ya.

Yang jadi pertanyaan, bagaimana pemerintah berencana menggunakan buku-buku ini? Jajat mengatakan bahwa buku-buku ini dapat digunakan sebagai “salah satu sumber utama” untuk buku sejarah yang diajarkan di sekolah. Waduh, bahaya nih kalau isinya cuma versi yang sudah di-filter. Sejarah harus disampaikan secara komprehensif, biar generasi muda bisa belajar dari kesalahan masa lalu.

“Propaganda Sejarah” atau Upaya Membangun Bangsa?

Kontroversi semakin panas ketika Menteri Kebudayaan mempertanyakan apakah terjadi pemerkosaan massal pada akhir pemerintahan Soeharto. “Apakah benar ada pemerkosaan massal? Tidak pernah ada bukti,” kata Fadli. Hmm, agak sensitif ya pertanyaannya.

Padahal, laporan pencari fakta tahun 1998 menemukan setidaknya 52 kasus pemerkosaan yang dilaporkan selama kerusuhan. Masa iya bukti sebanyak itu masih kurang? Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, mengatakan bahwa proyek ini berisiko menghapus kebenaran yang tidak nyaman.

Fadli menegaskan bahwa proyek ini akan terus berjalan meskipun ada kritik. Ia mengatakan bahwa “konsensusnya adalah kita lanjut” dan bahwa ini adalah “versi terbaru dari sejarah kita”. Akan ada debat publik “bulan ini”, katanya. Kita tunggu saja deh debatinya kayak apa.

Jadi, Sejarah yang Kita Inginkan Itu Seperti Apa?

Proyek ini melibatkan 113 akademisi, termasuk sejarawan. Namun, setidaknya satu orang telah mengundurkan diri. Arkeolog Harry Truman Simanjuntak mengundurkan diri karena perselisihan tentang bahasa. Ia merasa ada campur tangan politik dalam proyek ini. Agak serem juga ya.

Keributan seputar proyek ini menyebabkan beberapa anggota parlemen oposisi dan kritikus menyerukan penangguhan atau pembatalannya. Maria Catarina Sumarsih, seorang aktivis yang putranya terbunuh dalam penumpasan militer setelah jatuhnya Soeharto, menuduh para penulis memutarbalikkan masa lalu.

Intinya, kita semua punya tanggung jawab untuk mengingat. Jangan biarkan sejarah diubah demi kepentingan politik sesaat. Sejarah harus menjadi pelajaran berharga untuk masa depan, bukan alat untuk cuci tangan. Ingat, sejarah itu penting, guys! Jangan sampai kita lupa ingatan kolektif.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Donkey Kong Mungkin Akan Punya Film Sendiri: Ini Bisa Jadi Pertanda Baik

Next Post

Peringatan Nvidia: Serangan Rowhammer Mengintai GPU