Dark Mode Light Mode

Sejarah Baru Indonesia: Bayang-Bayang Masa Lalu bagi Akademisi

Indonesia, sebuah negara dengan sejarah yang kaya dan kompleks, kembali menghadapi perdebatan mengenai bagaimana masa lalunya harus diceritakan. Pemerintah berencana menerbitkan buku sejarah baru, dan inilah yang membuat sebagian orang merasa… agak khawatir. Apakah kita akan mendapatkan versi sejarah yang lengkap, jujur, dan apa adanya? Atau malah… sejarah yang sudah “diedit” sedemikian rupa?

Buku sejarah, idealnya, adalah cermin masa lalu. Ia harus merefleksikan semua aspek, baik yang membanggakan maupun yang menyakitkan. Penghilangan atau pemutarbalikan fakta hanya akan membuat kita mengulangi kesalahan yang sama di masa depan. Sama seperti belajar dari kesalahan mantan, kalau mantannya bohong terus, kita mau belajar apa?

Sejarah yang Terancam Dihapus: Tragedi 1998

Rencana penerbitan buku sejarah baru ini memicu kekhawatiran bahwa peristiwa kerusuhan Mei 1998, yang menargetkan etnis Tionghoa, akan dihilangkan. Ini tentu menjadi perhatian serius. Kerusuhan Mei 1998 adalah luka yang belum sepenuhnya sembuh bagi bangsa Indonesia. Mengabaikannya berarti mengkhianati memori para korban dan melupakan pelajaran penting tentang toleransi dan keadilan. Ingat, sejarah adalah guru terbaik, asalkan kita mau belajar.

Buku-buku ini diprakarsai oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Beberapa pihak khawatir pemerintahannya dapat memanfaatkan proyek ini untuk menulis ulang sejarah dan menutupi pelanggaran HAM masa lalu. Draft ringkasan volume dan garis besar bab yang beredar tidak mencantumkan bagian khusus tentang kekerasan 1998. Ringkasan tentang pemerintahan Soeharto, yang juga mantan mertua Prabowo, hanya menyebutkan bagaimana “demonstrasi mahasiswa… menjadi faktor” dalam pengunduran dirinya. Seolah-olah hanya itu penyebabnya.

Andi Achdian, seorang sejarawan di Universitas Nasional Jakarta, yang telah melihat garis besar tersebut, mengatakan bahwa “penulisan itu cacat sejak awal.” Ia menambahkan, “Ini memiliki kecenderungan yang sangat kuat untuk memutihkan sejarah.” Soeharto memerintah Indonesia dengan tangan besi selama lebih dari tiga dekade setelah merebut kekuasaan setelah pembantaian 1965-1966.

Kontroversi dan Penolakan: Apa yang Sebenarnya Terjadi?

Menteri Kebudayaan yang mengawasi proyek sejarah pemerintah, Fadli Zon, mengatakan kepada anggota parlemen bahwa buku tersebut “tidak membahas Mei ’98… karena itu kecil”. (Kecil?! Bagi para korban dan keluarga mereka, itu adalah tragedi besar!). Buku tersebut juga tidak menjanjikan untuk memasukkan sebagian besar “pelanggaran HAM berat” yang diakui oleh mantan presiden Joko Widodo pada tahun 2023. Ini agak absurd, ya? Mengakui kesalahan di satu sisi, tapi di sisi lain malah menghapusnya.

Namun, Jajat Burhanudin, seorang editor proyek, membantah pernyataan Fadli dan menepis kekhawatiran tersebut, mengatakan bahwa volume baru akan mencakup peristiwa 1998, dengan draft garis besar hanya sebagai “pemicu diskusi”. Semoga saja benar. Kita tunggu saja hasilnya.

Pejabat mengatakan catatan sejarah baru diperlukan untuk memperkuat identitas Indonesia, tetapi memperingatkan bahwa setiap penghilangan tentang masa lalunya yang paling kelam akan menimbulkan pertanyaan tentang objektivitas. Marzuki Darusman, mantan Jaksa Agung dan kepala koalisi masyarakat sipil yang menentang volume tersebut, mengatakan, “Yang dikhawatirkan adalah… kasus-kasus yang telah diterima oleh pemerintah sebelumnya untuk diselesaikan akan diabaikan.”

Mengapa Sejarah Itu Penting? Bukan Sekadar Tanggal dan Nama

Sejarah bukan hanya tentang tanggal, nama, dan peristiwa. Ia adalah tentang identitas, nilai-nilai, dan pelajaran. Ia membentuk cara kita memandang diri kita sendiri dan dunia di sekitar kita. Mengabaikan atau memutarbalikkan sejarah berarti mengkhianati identitas kita dan menghancurkan landasan nilai-nilai kita. Jika kita tidak tahu dari mana kita berasal, bagaimana kita tahu ke mana kita akan pergi? Ibaratnya, mau naik gunung, tapi nggak tahu jalurnya. Ya, nyasar!

Meskipun belum jelas bagaimana pemerintah berencana untuk menggunakan buku-buku tersebut, Jajat mengatakan bahwa volume tersebut dapat digunakan sebagai “salah satu sumber utama” untuk buku sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah. Ini berarti versi sejarah yang berpotensi bias ini akan membentuk pemikiran generasi muda Indonesia. Ini adalah tanggung jawab besar yang tidak boleh dianggap enteng.

Objektivitas Sejarah: Antara Fakta dan Interpretasi

Sejarah memang selalu melibatkan interpretasi. Namun, interpretasi tersebut harus didasarkan pada fakta dan bukti yang kuat. Bukan pada agenda politik atau kepentingan pribadi. Menghilangkan fakta yang tidak menyenangkan hanya akan menciptakan sejarah yang tidak lengkap dan tidak jujur. Ini seperti menyajikan makanan yang hanya enak di mulut, tapi tidak bergizi.

Revisi sejarah ini mendapat sorotan baru setelah menteri kebudayaan mempertanyakan apakah pemerkosaan massal terjadi pada akhir pemerintahan Soeharto. “Apakah benar-benar ada pemerkosaan massal? Tidak pernah ada bukti,” kata Fadli kepada media lokal dalam sebuah wawancara bulan lalu. Sebuah laporan pencarian fakta tahun 1998 menemukan setidaknya 52 kasus pemerkosaan yang dilaporkan dalam kerusuhan tersebut. Pernyataan ini menunjukkan adanya upaya untuk meragukan fakta yang sudah ada. Hmm, mencurigakan.

Usman Hamid, direktur eksekutif Amnesty International Indonesia, mengatakan, “Proyek ini berisiko menghapus kebenaran yang tidak nyaman.” Aktivis Maria Catarina Sumarsih, yang putranya terbunuh dalam penumpasan militer setelah kejatuhan Soeharto, menuduh para penulis memutarbalikkan masa lalu. “Pemerintah menipu publik… terutama kaum muda,” katanya.

Proyek buku sejarah ini seharusnya menjadi kesempatan untuk merefleksikan masa lalu kita secara jujur dan terbuka. Bukan untuk menyembunyikan kebenaran atau mempromosikan agenda politik. Kita semua berhak atas sejarah yang lengkap dan akurat. Kalau tidak, kita hanya akan mengulangi kesalahan yang sama di masa depan. Jadi, mari kita awasi proses ini dan pastikan bahwa sejarah Indonesia diceritakan dengan jujur, adil, dan tanpa bias. Ingat: kebenaran akan selalu terungkap, cepat atau lambat.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Star Mackay's Keegan Brown: Indonesian Radio's Lifeblood

Next Post

RPG Gratis Berkualitas Tinggi dari Satu Orang Guncang Steam