Dark Mode Light Mode

Selamat siang semuanya, kecuali para petinggi Electronic Arts

Siapa yang tidak kecewa dengan Dragon Age: The Veilguard? Kalau ada, mungkin dia alien atau punya ekspektasi yang super rendah. Game yang seharusnya jadi mahakarya ini, sayangnya, malah bikin kita bertanya-tanya, "Ini BioWare yang kita kenal?"

Dragon Age: Veilguard, Sebuah Kisah Kegagalan dan Harapan?

Kenapa Veilguard terasa seperti hidangan yang kurang bumbu? Bukan salah koki (baca: developer), tapi lebih ke arah manajemen dapur yang berantakan. Laporan terbaru dari Bloomberg mengungkap drama di balik layar yang bikin geleng-geleng kepala.

Bayangkan ini: awalnya Veilguard dirancang sebagai RPG singleplayer yang epic. Lalu, EA (Electronic Arts) datang dengan ide cemerlang: "Kenapa nggak bikin online multiplayer aja? Destiny kan laku keras!" Padahal, BioWare lagi sibuk garap Anthem. Bisa ditebak, Anthem ambyar. Akhirnya, Veilguard balik lagi jadi RPG singleplayer. Ibaratnya, lagi masak nasi goreng, tiba-tiba disuruh bikin pizza, terus balik lagi ke nasi goreng. Bingung, kan?

Manajemen reaktif yang destruktif ini bikin tim developer kelabakan. Ganti konsep berarti ganti sistem, ganti cerita, ganti semuanya. Waktunya? Cuma setahun setengah. Targetnya? Pasar seluas-luasnya. Ini sama saja dengan menyuruh pelari maraton lari sprint. Impossible!

Dapur Terlalu Ramai, Masakan Jadi Aneh

Masalahnya nggak berhenti di situ. Ada juga persaingan internal antara tim Dragon Age dan Mass Effect. Tim Mass Effect ditarik untuk membantu di saat-saat genting, tapi malah bikin suasana makin panas. Belum lagi, keterbatasan struktur singleplayer akibat akar multiplayer yang masih membekas.

Rewrite naskah dadakan juga jadi penyebab inkonsistensi nada cerita. Kadang serius, kadang humor, kadang nggak jelas mau ke mana. Alhasil, Veilguard terasa seperti film yang diedit oleh lima sutradara berbeda.

Sungguh keajaiban Veilguard bisa rilis. Terjebak dalam "neraka development," tapi bukan karena kesalahan developer, melainkan karena keputusan strategis EA yang blunder. Ironisnya, EA membeli BioWare pada tahun 2009 karena studio ini jago bikin RPG. Tapi, di bawah kepemimpinan EA, belum ada game BioWare yang booming selama lebih dari satu dekade. Ini seperti membeli mobil Ferrari, tapi malah dipakai buat angkut sayur.

EA, Lepaskan BioWare! Biarkan Mereka Berkarya!

Ide sederhana: Biarkan BioWare membuat RPG singleplayer dengan tenang. Nggak usah diintervensi, nggak usah disuruh bikin multiplayer abal-abal. Biarkan mereka fokus pada keahlian mereka, yaitu menciptakan dunia yang kaya, karakter yang kompleks, dan cerita yang memukau.

Pernahkah kamu merasa lebih kreatif dan produktif saat bekerja sendirian, tanpa gangguan dari meeting yang nggak jelas atau revisi yang nggak perlu? Bayangkan perasaan para developer BioWare. Mereka punya potensi besar, tapi terbelenggu oleh birokrasi dan visi manajemen yang nggak jelas.

Kreativitas berkembang saat ada kebebasan. BioWare butuh ruang untuk bernapas, untuk bereksperimen, untuk menciptakan sesuatu yang orisinal. EA perlu memberikan kepercayaan penuh kepada tim developer. Percayalah, hasilnya akan jauh lebih baik daripada memaksakan sesuatu yang bukan keahlian mereka.

Pelajaran dari Kegagalan: Jangan Memaksakan Kehendak

Kisah Dragon Age: Veilguard adalah pelajaran berharga tentang pentingnya manajemen yang bijak. Jangan memaksakan kehendak, jangan mengejar tren sesaat, dan jangan melupakan inti dari sebuah studio game. BioWare adalah tentang RPG singleplayer. Biarkan mereka melakukan apa yang mereka kuasai.

Siapa tahu, dengan kebebasan dan kepercayaan, BioWare bisa bangkit kembali dan menciptakan mahakarya yang kita semua impikan. Siapa tahu, Dragon Age berikutnya bisa jadi game of the year. Yang jelas, kita semua berharap yang terbaik untuk BioWare. Please, EA, let them cook!

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Negara-negara ASEAN Siaga Hadapi Tarif Trump dengan Paket Stimulus Berani

Next Post

Paket Kosmetik 'FX' Mustang GT: Nostalgia 80-an yang Menggoda