Dark Mode Light Mode

Semua Game Doom, Diurutkan dari Terburuk hingga Terbaik

Siapa sangka, game yang dulu bikin bolos sekolah malah jadi tonggak sejarah? Doom, sang pelopor first-person shooter (FPS), bukan cuma soal tembak-tembakan brutal. Ia mengubah cara kita bermain, berkreasi, dan bahkan merusak jaringan komputer sekolah saking asyiknya multiplayer! Dari sini lah Call of Duty dan Fortnite belajar banyak.

Evolusi Brutal: Mengapa Doom Tetap Relevan?

Doom pertama kali hadir di era MS-DOS, jauh sebelum season pass dan creator economy merajalela. Tapi, strategi shareware yang membagikan demo gratisnya adalah langkah jenius yang memicu adopsi massal. Lebih dari sekadar game, Doom adalah fenomena budaya.

Multiplayer di Doom juga revolusioner. Dulu, kita bisa main bareng teman-teman di LAN, saling adu strategi dan ketangkasan. Sekarang, kompetisi e-sports mendunia berakar dari sana. Doom membuktikan bahwa gaming itu bukan cuma soal solo campaign, tapi juga interaksi sosial.

Meskipun grafisnya sekarang terlihat pixelated, gameplay Doom tetap seru dan adiktif. Kecepatan, tantangan, dan kepuasan menghabisi monster-monster neraka masih terasa hingga kini. Itulah mengapa Doom selalu menemukan cara untuk beradaptasi dan memukau generasi baru.

From Zero to Hero: Mengupas Tuntas Seri Doom

Mari kita telaah satu per satu, bagaimana Doom berevolusi, dari pixel hingga polygon, dari shareware hingga AAA title. Beberapa mungkin bikin kening berkerut, tapi semua berkontribusi pada warisan Doom.

Berikut urutan game Doom berdasarkan kompleksitas gameplay dan daya tariknya (subjektif, ya!). Kita tidak akan membahas port atau remaster (maaf yang main di kalkulator!), dan ekspansi akan digabungkan dengan game aslinya. Siap rip and tear?

  • Mighty Doom (2023): Versi chibi yang over-the-top. Cocok buat casual gamers, tapi kurang nendang buat hardcore fans. Sayangnya, game ini sudah ditarik dari app store. RIP, Mighty Doom.
  • Doom Resurrection (2009): Spin-off mobile dengan mekanik on-rails shooter. Lumayan buat mengisi waktu luang di smartphone jadul. Grafisnya juga cukup oke di masanya.
  • Doom RPG (2005) & Doom II RPG (2009): Bayangkan Doom tanpa tembak-menembak real-time. Jadilah RPG turn-based yang unik dan menantang. Mengejutkan, bukan?
  • Final Doom (1996): Awalnya cuma mod buatan fans, tapi kemudian diakuisisi jadi game resmi. Lebih banyak level, lebih banyak monster, lebih banyak Doom.
  • Doom 3 (2004): Reboot yang kontroversial. Lebih menekankan survival horror daripada action brutal. Suasananya gelap dan mencekam. Dulu dibenci, sekarang diapresiasi.
  • Doom: The Dark Ages (2025): Entri terbaru yang mencoba menggabungkan elemen gameplay klasik dengan sentuhan medieval fantasy. Menarik, tapi belum sepenuhnya memuaskan.
  • Sigil (2019) & Sigil II (2023): Karya John Romero, sang co-creator Doom. Levelnya super susah dan bikin frustrasi, tapi juga sangat memuaskan kalau berhasil ditaklukkan.
  • Doom (1993): Klasik abadi. Sederhana, elegan, dan sangat adiktif. Fondasi dari semua yang kita kenal tentang Doom. Wajib dimainkan setidaknya sekali seumur hidup.
  • Doom Eternal (2020): Kecepatan dan action tanpa henti. Setiap pertarungan terasa seperti balet kematian. Mungkin terlalu intense buat sebagian orang, tapi sangat memuaskan buat yang lainnya.
  • Doom 64 (1997): Khusus buat Nintendo 64. Grafisnya lebih detail, suasananya lebih gelap, dan multiplayer split-screennya bikin ketagihan.
  • Doom II: Hell on Earth (1994): Doom, tapi lebih baik. Musuh lebih beragam, senjata lebih keren (Super Shotgun!), dan level lebih menantang. Pilihan tepat buat pemula.
  • Doom (2016): Reboot yang sukses besar. Menggabungkan nostalgia dengan inovasi. Gameplay cepat, brutal, dan sangat memuaskan. Sistem Glory Kill bikin setiap pertarungan jadi tarian maut yang indah.

Lebih dari Sekadar Tembak-tembakan: Warisan Abadi Doom

Doom bukan cuma soal tembak-menembak. Ia adalah simbol inovasi, kreativitas, dan komunitas. Dari shareware hingga e-sports, Doom telah mengubah dunia gaming selamanya. Jadi, jangan cuma main Fortnite atau Apex Legends. Coba juga Doom, dan rasakan sendiri kehebatannya.

Doom: The Dark Ages – Menguji Nyali Sang Slayer di Era Kegelapan

Doom: The Dark Ages menjanjikan pengalaman baru dengan latar belakang medieval. Bayangkan Doom Slayer bersenjatakan kapak dan perisai, melawan iblis di kastil-kastil kuno. Kombinasi yang unik, tapi tetap mempertahankan inti dari gameplay Doom yang brutal dan cepat.

Apakah Doom: The Dark Ages akan menjadi game terbaik dalam seri ini? Waktu yang akan menjawab. Tapi, satu hal yang pasti: Doom akan terus berevolusi dan menginspirasi generasi gamer di masa depan.

Yang jelas, Doom selalu punya tempat spesial di hati para gamer. Bukan cuma karena gameplay-nya yang adiktif, tapi juga karena sejarah dan warisannya yang tak ternilai. Jadi, siapkan shotgun dan mari kita rip and tear bersama!

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Visa Kerja Disalahgunakan, 117 Jemaah Haji Indonesia Ditolak Arab Saudi

Next Post

Mengapa AI Industri Gagal Tanpa Data Visual Berkualitas