Perbatasan, oh perbatasan… selalu saja ada drama. Kali ini, panggungnya adalah beberapa pulau cantik antara Aceh dan Sumatera Utara. Siapa pemilik sahnya? Drama ini cukup seru untuk dijadikan serial Netflix, tapi mari kita bedah fakta-faktanya dulu sebelum kita bikin streaming party.
Rebutan Pulau: Aceh vs. Sumut, Episode Terbaru
Masalah kepemilikan pulau ini memang bukan barang baru. Ada empat pulau yang jadi rebutan: Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Kecil, dan Pulau Mangkir Besar. Ibarat rebutan spot parkir di mall pas weekend, semua pihak merasa paling berhak.
Kenapa jadi rebutan? Intinya, kedua provinsi punya klaim masing-masing yang didukung oleh dasar hukum dan sejarah. Aceh berpegang pada UU No. 24 Tahun 1956 yang menyatakan Aceh sebagai daerah otonom terpisah dari Sumatera Utara. Sementara itu, Sumatera Utara berlandaskan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) No. 300.2.2-2138 Tahun 2025.
Nah, di sinilah letak masalahnya. Menurut mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), UU lebih tinggi derajatnya daripada Kepmendagri. Jadi, klaim Aceh lebih kuat secara hukum. “Law is law,” begitu kira-kira yang ingin disampaikan Pak JK.
Apalagi, JK menambahkan, klaim Aceh juga diperkuat oleh Perjanjian Damai Helsinki 2005 antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Perjanjian ini, konon katanya, mengacu pada batas wilayah Aceh sesuai UU No. 24 Tahun 1956.
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, memberikan angin segar. Katanya, Presiden Prabowo Subianto akan turun tangan langsung menyelesaikan sengketa ini. Semoga saja keputusan Presiden bisa menjadi solusi yang adil dan bijak.
Akar Masalah: Dari Mana Datangnya Kepmendagri?
Pemicu utama memanasnya sengketa ini adalah Kepmendagri yang dikeluarkan pada 25 April 2025. Kepmendagri ini memasukkan keempat pulau tersebut ke dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Hal ini tentu saja membuat Aceh meradang.
Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, menjelaskan bahwa Kepmendagri tersebut didasarkan pada kajian geografis dan masukan dari berbagai institusi. Selain itu, keputusan ini juga berkaitan dengan pendaftaran nama-nama pulau secara resmi ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). International recognition is key, kan?
Namun, Mendagri Tito juga membuka pintu bagi pemerintah Aceh untuk mengajukan keberatan melalui jalur hukum. "Kami terbuka untuk evaluasi atau gugatan hukum, termasuk ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Silakan saja," ujarnya. Fair enough.
Lalu, Apa Kata Sejarah?
Sejarah memang seringkali jadi amunisi dalam sengketa wilayah. Kedua belah pihak pasti punya argumen sejarah masing-masing untuk memperkuat klaimnya.
Namun, Jusuf Kalla dengan tegas menyatakan bahwa secara historis, pulau-pulau tersebut memang bagian dari Aceh Singkil, meskipun letaknya dekat dengan Sumatera Utara. “Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, secara historis memang bagian dari Aceh, Aceh Singkil,” tegasnya.
Jadi, intinya, masalah ini bukan sekadar perkara administrasi atau peta. Ini juga menyangkut identitas dan sejarah. Deep.
Menunggu Titah Presiden: Solusi Damai atau Babak Baru?
Semua mata kini tertuju pada Presiden Prabowo. Keputusan beliau akan menentukan arah sengketa ini. Apakah akan ada solusi damai yang memuaskan kedua belah pihak, atau malah membuka babak baru dalam konflik perbatasan?
Menurut Dasco, Presiden Prabowo dijadwalkan akan memberikan keputusan dalam waktu dekat. Kita tunggu saja pengumuman resmi dari Istana. Sambil menunggu, siapkan popcorn dan jangan lupa update status di media sosial!
Sengketa wilayah memang seringkali rumit dan melibatkan banyak faktor. Namun, semoga saja masalah ini bisa diselesaikan dengan cara yang baik dan menghasilkan solusi yang adil bagi semua pihak. Ingat, Indonesia itu Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Jadi, jangan sampai rebutan pulau malah bikin kita pecah belah.