Gaya grafis low-poly, seperti yang bisa dilihat di panduan berbagai gaya seni video game, masih eksis dan digemari di tahun 2025. Walaupun dulu identik dengan keterbatasan konsol 20 tahun lalu, kini grafis low-poly justru jadi pilihan artistik. Di saat game dengan grafis nyaris fotorealistik sudah jadi standar, game seperti Sorry, We’re Closed dan Crow Country justru sukses dengan tampilan retro mereka.
Selain lebih ekonomis dari realisme, opsi low-poly juga bisa membangkitkan nostalgia. Namun, seorang developer veteran yang dulu terpaksa menggunakan gaya ini karena keterbatasan teknologi, kini heran mengapa ada orang yang memilihnya sebagai gaya visual. Komentarnya memicu perdebatan seru di kalangan gamer dan developer.
当時は虚しい苦労を費やして歪みを回避していたのに、今では「味わい」とか言われてしまっている。 August 5, 2025
Koji Sugimoto, seorang programmer di Square Enix, pernah terlibat dalam pembuatan Final Fantasy 10 dan Xenogears. Menanggapi sebuah unggahan di X tentang penggunaan Shader Graph untuk mendistorsi tekstur di Unity, ia mengungkapkan kebingungannya terhadap kebangkitan gaya retro ini. Menurutnya, sesuatu yang dulu mati-matian dihindari developer di akhir 90-an dan awal 2000-an, sekarang malah dianggap sebagai “cita rasa”.
Ia bahkan me-repost sebuah tweet lama dari tahun 2019, di mana ia menggambarkan distorsi tekstur di PlayStation original sebagai sesuatu yang menjijikkan. “Ide untuk merasa tertarik mereproduksinya tidak pernah terpikirkan olehku,” tulisnya kala itu.
Komentar tersebut kembali membuka perdebatan tentang tujuan grafis dalam video game. Karakter dan dunia yang kotak-kotak, hasil dari grafis low-poly, dulu dilihat sebagai frustrasi dan keterbatasan, bukan pilihan artistik. Ada jurang besar antara apa yang ingin dicapai developer dan apa yang realistis untuk diwujudkan.
Beberapa orang setuju dengan pendapat Koji. “Aku juga tidak mengerti keinginan ini. Aku membencinya saat masih kecil, dan aku masih membencinya sekarang. Tidak ada yang menarik darinya,” tulis seorang netizen.
Namun, pandangan Koji juga meremehkan daya tarik emosional dari nostalgia. Hal serupa terjadi pada seni piksel. Upaya yang dilakukan di masa lalu untuk mengatasi keterbatasan sebuah media, kini dianggap sebagai gaya seni tersendiri. Dan itu memang memiliki daya tarik bagi sebagian orang, karena mengingatkan mereka pada game yang mereka cintai saat masih muda.
“Kamu melihatnya dari perspektif seorang seniman yang kesal karena karyanya tidak sempurna. Keinginan untuk seni bergaya PS1 ini datang dari pemain yang tumbuh besar dan menikmati gaya tersebut,” balas seorang pengguna X. “Tampilannya keren dan punya kepribadian, tidak seperti banyak game saat ini,” argumen yang lain.

Grafis low-poly juga membutuhkan lebih banyak imajinasi dari pemain. Belum lagi faktor biaya. Biaya pembuatan realisme 3D di Unreal Engine bisa berkali-kali lipat lebih mahal daripada menggunakan low-poly. Beberapa gamer mungkin lebih memilih rilis reguler daripada menunggu sepuluh tahun untuk game berikutnya dalam sebuah franchise.
Kenapa Nostalgia Grafis Low-Poly Kembali Populer?
Nostalgia, tentu saja, memainkan peran penting. Bagi sebagian pemain, melihat grafis low-poly seperti melihat foto lama dari masa kecil. Ini seperti menemukan kembali mainan lama di loteng. Gaya ini membangkitkan kenangan manis tentang game-game klasik yang dulu dimainkan, bahkan jika grafisnya terlihat “primitif” menurut standar saat ini.
Efisiensi Biaya dalam Pengembangan Game: Low-Poly Sebagai Solusi Cerdas
Dalam industri game yang semakin kompetitif, biaya pengembangan menjadi pertimbangan krusial. Grafis realistis memerlukan tim yang lebih besar, waktu pengembangan yang lebih lama, dan sumber daya yang lebih banyak. Low-poly menawarkan alternatif yang lebih efisien tanpa mengorbankan kualitas artistik. Game bisa dirilis lebih cepat dan dengan anggaran yang lebih terkontrol.
Imajinasi Pemain: Kekuatan yang Tersembunyi di Balik Grafis Sederhana
Grafis low-poly, dengan kesederhanaannya, justru merangsang imajinasi pemain. Setiap sudut dan tekstur yang minimalis menjadi undangan untuk mengisi kekosongan dengan interpretasi pribadi. Pemain tidak hanya menjadi penonton pasif, tetapi juga kolaborator aktif dalam menciptakan pengalaman bermain yang unik.
Perdebatan Estetika: Apakah Grafis Low-Poly Itu Seni atau Keterbatasan?
Inilah pertanyaan klasik yang terus menghantui dunia seni visual. Bagi sebagian orang, low-poly adalah representasi jujur dari keterbatasan teknologi di masa lalu, yang kini diubah menjadi estetika yang unik. Bagi yang lain, ini hanyalah cara untuk menghindari kerja keras menciptakan grafis realistis. Mungkin, jawabannya terletak di tengah-tengah, tergantung pada bagaimana gaya ini diimplementasikan dalam sebuah game.
Masa Depan Grafis Low-Poly: Tren atau Evolusi?
Apakah grafis low-poly hanya sekadar tren sesaat, atau ini adalah langkah maju dalam evolusi seni visual dalam video game? Sulit untuk dipastikan. Namun, dengan daya tarik nostalgia, efisiensi biaya, dan potensi kreatifnya, gaya ini tampaknya akan tetap relevan di masa depan. Siapa tahu, mungkin kita akan melihat genre game baru yang sepenuhnya didedikasikan untuk estetika low-poly.
Untuk seni game retro yang diterapkan pada media yang sangat berbeda, lihat lukisan bordir pixel art grandmacore dari seniman ini. Untuk inspirasi untuk game Anda sendiri, lihat fitur kami tentang beberapa pengembang game indie terbaik, dan jangan lewatkan perdebatan tentang tidak adanya fitur berenang di Mafia: The Old Country.
Pada akhirnya, pilihan gaya grafis bergantung pada visi dan tujuan sang developer. Baik itu realisme fotorealistik atau kesederhanaan low-poly, yang terpenting adalah bagaimana gaya tersebut mendukung dan memperkuat pengalaman bermain game. Dan kadang, tampilan yang “tidak sempurna” justru memberikan daya tarik yang lebih kuat.