Dark Mode Light Mode

Sensitivitas Pasca Konflik dan Politik Pemetaan: Implikasi dari Sengketa Pulau Aceh

Di April 2025, sebuah keputusan dari Kementerian Dalam Negeri menerbitkan Kepmendagri No. 300.2.2-2138/2025 memicu kontroversi di Aceh. Bayangkan saja, sebuah drama administratif yang bisa membuat sinetron kalah seru! Keputusan ini, yang seharusnya hanya memperbarui batas wilayah dan data teritorial, malah memindahkan empat pulau yang lama diklaim Aceh ke Sumatera Utara. Reaksi? Bisa ditebak, chaos!

Sengketa Pulau: Ketika Garis Batas Menggoyahkan Perdamaian Aceh

Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil, yang selama ini secara administratif dan kultural dekat dengan Aceh Singkil, tiba-tiba "pindah alamat" ke Tapanuli Tengah. Para pemangku kepentingan di Aceh langsung protes, merasa ini tantangan langsung terhadap otonomi daerah dan hak teritorial mereka. Memangnya enak wilayahnya tiba-tiba diambil alih?

Para politisi dan tokoh masyarakat Aceh bersuara lantang. Mereka berpendapat bahwa langkah sepihak pemerintah pusat tidak hanya diragukan secara hukum, tetapi juga politically tone deaf, mengingat sejarah panjang dan pahit konflik Aceh dengan negara Indonesia. Ingatan tentang marginalisasi, operasi militer, dan perjuangan kemerdekaan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) kembali menghantui.

Persepsi bahwa Jakarta sekali lagi mengabaikan suara Aceh memicu kemarahan yang meluas, mengubah masalah administratif ini menjadi simbol dari keluhan mendalam yang belum terselesaikan. Ibaratnya, luka lama yang belum sembuh sempurna, tiba-tiba dikorek lagi. Siapa yang tidak emosi?

Sebagai respons terhadap meningkatnya kerusuhan, Presiden Prabowo Subianto mengadakan pertemuan kabinet tertutup pada 17 Juni 2025, melibatkan tokoh-tokoh kunci dari Aceh dan Sumatera Utara. Pertemuan tersebut dihadiri oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Gubernur Aceh Muzakir Manaf, dan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution. Drama ini hampir sebanding dengan episode reality show politik!

Setelah dialog tingkat tinggi ini, pemerintah membatalkan keputusan sebelumnya dan menegaskan bahwa keempat pulau tersebut memang milik Aceh. Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyebutkan dokumentasi resmi yang mendukung klaim administratif Aceh sebagai dasar keputusan final. Jadi, intinya: berkas lebih penting daripada feeling?

Meskipun resolusi ini tampaknya membawa penutupan, itu menyoroti kerapuhan perdamaian pasca-konflik Aceh. Sengketa ini, meskipun tampaknya bersifat administratif, membuka kembali luka sensitif yang terkait dengan ketidakadilan historis, otonomi, dan identitas. Ini berfungsi sebagai pengingat penting bahwa perdamaian pasca-konflik bukan hanya tentang mengakhiri kekerasan tetapi juga tentang mengatasi dinamika struktural dan relasional yang pernah menimbulkan konflik.

Luka Lama Bernama Otonomi: Protracted Social Conflict dan GAM

Teori Protracted Social Conflict (PSC) dari Edward Azar (1978) sangat relevan dalam memahami akar konflik Aceh dan sensitivitas seputar isu kedaulatan teritorial dan kontrol administratif. PSC menekankan bagaimana kelompok identitas dalam masyarakat multietnis mengalami konflik jangka panjang karena kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi seperti keamanan, pengakuan, akses politik, dan pembangunan. Singkatnya, kalau hak dasar tidak dipenuhi, jangan harap bisa damai.

Konflik Aceh dari 1976 hingga 2004, yang dipimpin oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sangat cocok dengan kerangka PSC Azar. Penduduk Aceh lama merasa terpinggirkan oleh Jakarta, terutama terkait ekstraksi sumber daya, pemerintahan, dan pengakuan budaya. Meskipun Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki pada tahun 2005 secara resmi mengakhiri permusuhan dan memberikan otonomi khusus kepada Aceh, keluhan mendalam seputar identitas, keadilan historis, dan agensi politik belum sepenuhnya terselesaikan.

Dalam konteks sengketa pulau, reaksi Aceh dapat ditafsirkan lebih dari sekadar perlawanan terhadap reklasifikasi administratif. Ini mencerminkan rasa pengucilan historis yang lebih luas dan ketakutan bahwa status otonomi khusus yang dijamin oleh perjanjian damai 2005 secara bertahap dirongrong. Persepsi diabaikan atau ditimpa oleh otoritas pusat konsisten dengan dinamika yang sebelumnya memicu sentimen separatis Aceh. Deja vu?

Lebih Dari Sekadar Gencatan Senjata: Negative vs. Positive Peace

Johan Galtung membedakan antara negative peace—tidak adanya kekerasan langsung—dan positive peace, yang berarti adanya keadilan, kesetaraan, dan hubungan sosial yang harmonis. Proses perdamaian Aceh telah berhasil mencapai negative peace, sebagaimana dibuktikan oleh penghentian konflik bersenjata dan integrasi mantan pemimpin GAM ke dalam sistem politik. Namun, sengketa pulau baru-baru ini mengungkapkan sifat rapuh dari perdamaian ini, menunjukkan bahwa positive peace masih sulit dicapai. Ibaratnya, sudah berhenti baku hantam, tapi masih saling sindir di media sosial.

Keputusan administratif oleh Kementerian Dalam Negeri merupakan bentuk kekerasan struktural. Kekerasan struktural mengacu pada struktur atau institusi sosial yang membahayakan orang dengan mencegah mereka memenuhi kebutuhan dasar mereka atau menggunakan agensi. Bagi masyarakat Aceh, realokasi pulau ke provinsi lain tanpa konsultasi yang memadai dianggap sebagai penolakan hak mereka dan pelanggaran terhadap otonomi yang dijanjikan di bawah perjanjian Helsinki. Tindakan ini, meskipun tidak melakukan kekerasan fisik, merusak kepercayaan dan memperkuat perasaan pengucilan politik.

Transformasi Konflik: Jalan Panjang Menuju Perdamaian Sejati

Pendekatan John Paul Lederach terhadap transformasi konflik menawarkan jalan untuk bergerak melampaui resolusi konflik jangka pendek menuju perdamaian yang langgeng. Lederach menekankan pentingnya membangun hubungan, mengatasi akar penyebab, dan menciptakan ruang sosial baru di mana mantan musuh dapat secara kolaboratif membentuk masa depan. Transformasi konflik berfokus pada membentuk kembali struktur dan hubungan yang menghasilkan dan mempertahankan konflik. Bukan cuma cari solusi instant, tapi renovasi total!

Resolusi sengketa pulau Aceh-Sumut, meskipun penting, tidak muncul dari dialog partisipatif di tingkat akar rumput. Itu adalah hasil negosiasi politik top-down yang melibatkan elit dan pemimpin nasional. Solusi semacam itu mungkin cepat, tetapi tidak banyak membangun ketahanan jangka panjang atau mengubah ketidakpercayaan historis antara Aceh dan Jakarta. Kerangka Lederach akan menunjukkan bahwa perdamaian sejati di Aceh membutuhkan mekanisme inklusif yang memungkinkan suara-suara lokal didengar dan reformasi institusi yang memperkuat agensi lokal.

Selain itu, transformasi konflik memerlukan pengembangan modal sosial dan pembinaan memori kolektif yang mencakup penyembuhan dan pengakuan. Di Aceh, banyak komunitas masih membawa trauma dari operasi militer masa lalu dan pertanyaan yang belum terselesaikan seputar keadilan dan rekonsiliasi. Munculnya sengketa pulau bisa menjadi kesempatan untuk membina dialog dan membangun kepercayaan daripada sekadar membatalkan keputusan yang tidak populer. Ingat, peacebuilding itu maraton, bukan sprint.

Singkatnya, sengketa pulau antara Aceh dan Sumatera Utara lebih dari sekadar masalah administrasi wilayah. Ini adalah pelajaran berharga tentang proses pembangunan perdamaian pasca-konflik yang kompleks dan berlapis-lapis. Pembatalan keputusan oleh pemerintah mungkin telah meredakan ketegangan langsung, tetapi tidak mengatasi masalah marginalisasi, representasi, dan kepercayaan yang terus membentuk hubungan Aceh dengan negara Indonesia.

Perdamaian berkelanjutan di Aceh membutuhkan lebih dari sekadar akomodasi politik atau negosiasi elit. Ini membutuhkan upaya komprehensif untuk mengubah struktur pengucilan, mendorong partisipasi yang bermakna, dan membangun kembali kepercayaan melalui keadilan dan dialog. Pertanyaan yang tersisa: apakah kita hanya menjaga perdamaian, atau benar-benar sedang membangunnya? Itu yang perlu kita renungkan.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Promo Gila-Gilaan: Game PC Terbaru Harga Miring

Next Post

Jimin & Jungkook BTS Kuasai Peringkat Nilai Merek Idol K-Pop Pria Juni