Generasi kita tumbuh besar dengan kartun dan acara TV anak-anak. Bayangkan, apa jadinya jika tontonan yang seharusnya mendidik justru diam-diam menanamkan bibit bias gender? Penelitian terbaru bikin kita mikir keras, lho!
Bahaya Tersembunyi di Balik Layar: Bias Gender di TV Anak
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan dalam program TV anak-anak ternyata memperkuat stereotip gender yang berbahaya. Ironisnya, situasi ini tidak banyak berubah selama 60 tahun terakhir. Bahkan, dalam beberapa kasus, bias gender ini malah semakin parah. Ini bukan sekadar plot twist di sinetron, tapi fakta yang perlu kita waspadai.
Studi yang dipublikasikan di Psychological Science menganalisis skrip dari 98 program TV anak-anak di Amerika Serikat dari tahun 1960 hingga 2018. Dengan menggunakan natural language processing, para peneliti mengidentifikasi kata-kata yang cenderung diasosiasikan dengan karakter laki-laki dan perempuan. Totalnya, mereka menganalisis 6.600 episode, 2,7 juta kalimat, dan 16 juta kata. Wow, angka yang bikin pusing!
Fokus utama penelitian ini adalah bagaimana karakter laki-laki dan perempuan digambarkan sebagai agen aktif (yang melakukan) versus penerima pasif (yang dikenai tindakan). Hasilnya? Boys will be boys, and girls will be… acted upon? Intinya, laki-laki lebih sering digambarkan sebagai “pelaku,” sementara perempuan sebagai “penerima.” Kesetaraan gender macam apa ini?
Yang lebih mengejutkan lagi, setelah mengamati perubahan bahasa dari waktu ke waktu, para peneliti menemukan bahwa kesenjangan gender dalam hal siapa yang mengambil tindakan dalam program-program ini tidak mengalami perbaikan selama enam dekade. Serius? Kita masih terjebak dalam stereotip kuno?
Karakter laki-laki juga cenderung mendominasi dialog. Meskipun ada sedikit peningkatan dari waktu ke waktu, pada tahun 1960, kata-kata yang merujuk pada laki-laki (seperti “dia,” “laki-laki,” “anak laki-laki”) digunakan dua kali lebih sering daripada kata-kata yang merujuk pada perempuan. Pada tahun 2018, anak-anak masih mendengar kata-kata yang merujuk pada laki-laki 50% lebih sering daripada kata-kata yang merujuk pada perempuan. Ini bukan soal banyak bicara, tapi soal siapa yang suaranya didengar.
Uang, Kekuasaan, dan Stereotip: Hubungannya Lebih Rumit dari Rumus Fisika
Karakter laki-laki juga mendominasi pembicaraan tentang uang. Penelitian menunjukkan bahwa kata-kata yang merujuk pada laki-laki lebih sering muncul dalam kalimat yang sama dengan kata-kata terkait uang. Peluang menemukan kata yang merujuk pada laki-laki dalam kalimat yang mengandung kata-kata terkait uang 24% lebih tinggi daripada peluang menemukan kata yang merujuk pada perempuan. Jadi, laki-laki otomatis jago keuangan? Hmm, stereotip banget, ya?
Karakter laki-laki juga lebih sering dikaitkan dengan istilah-istilah yang berhubungan dengan kekuasaan, pencapaian, dan penghargaan. Istilah-istilah ini berkaitan dengan agency, atau dorongan untuk bertindak dan mencapai tujuan. Mirisnya, kesenjangan gender dalam hal agency ini justru semakin melebar dari waktu ke waktu. Sepertinya, kita perlu mendefinisikan ulang arti “sukses” untuk semua gender.
Ketika AI Ikut-ikutan Menyebarkan Stereotip: Masa Depan yang Menakutkan?
Model pembelajaran AI yang dilatih menggunakan skrip program berpotensi melanggengkan bias gender. Bayangkan, AI belajar dari skrip yang sudah bias, lalu membuat skrip baru yang isinya sama saja. Ini seperti efek domino yang tak berujung. “Popularitas program penulisan skrip yang didukung oleh kecerdasan buatan (AI), yang dilatih pada bahasa dari skenario yang sudah ada, menambah urgensi pada tujuan mengungkap bias sosial dalam bahasa di media anak-anak,” tulis para penulis penelitian. Kita harus hati-hati dengan artificial intelligence yang malah artificial stereotyping.
Saatnya Ubah Cerita: Pendidikan Gender Dimulai dari Layar Kaca
Mengingat banyaknya waktu yang dihabiskan anak-anak untuk menonton televisi, para penulis studi berpendapat bahwa mereka yang menonton program-program ini akan mengembangkan gagasan yang bias tentang bagaimana perempuan dan laki-laki berperilaku di dunia nyata. “Bias ini bukan hanya tentang siapa yang mendapat lebih banyak dialog; ini tentang siapa yang berhak bertindak, memimpin, dan membentuk cerita. Seiring waktu, pola seperti itu secara diam-diam dapat mengajarkan anak-anak bahwa agency lebih alami dimiliki oleh anak laki-laki daripada anak perempuan, bahkan ketika tidak ada seorang pun yang menginginkan pesan itu,” jelas Profesor Psikologi di NYU, Andrei Cimpian. Kita harus memastikan bahwa cerita yang kita suguhkan kepada anak-anak kita mencerminkan kesetaraan dan keadilan.
Jika kita ingin perempuan mencapai kesetaraan dengan laki-laki, kita harus memulainya dari anak-anak kita dan cerita yang mereka tonton. Itu termasuk apa yang dikatakan dalam cerita-cerita itu dan siapa yang berhak mengatakannya. Jika kita terus menunjukkan kepada anak-anak kita program-program di mana laki-laki memiliki lebih banyak agency, anak-anak akan menjadi orang dewasa yang percaya bahwa hal ini benar. Jadi, mari kita ubah narasi dan ciptakan dunia yang lebih adil bagi semua.
Stop! Jangan Sampai Anak Kita Jadi Korban Stereotip TV
Bias gender dalam media anak-anak bukan hanya masalah “politik identitas” yang bikin pusing kepala. Ini adalah masalah nyata yang memengaruhi bagaimana anak-anak kita melihat diri mereka sendiri dan dunia di sekitar mereka. Ini tentang potensi mereka, mimpi mereka, dan kesempatan yang seharusnya mereka dapatkan tanpa terhalang oleh stereotip yang ketinggalan zaman.
Cek Tontonan Anak: Filter Sebelum Menyesal!
- Perhatikan dialog: Siapa yang lebih banyak bicara? Topiknya tentang apa?
- Perhatikan peran: Siapa yang jadi leader? Siapa yang hanya jadi follower?
- Perhatikan agency: Siapa yang aktif mengambil tindakan? Siapa yang pasif menunggu?
- Diskusi dengan anak: Ajak anak berdiskusi tentang apa yang mereka tonton. Tanya pendapat mereka, dan bantu mereka berpikir kritis.
Mari Jadi Orang Tua Keren yang Peduli: Kesetaraan Gender Itu Keren!
Kita, sebagai generasi yang lebih sadar akan isu-isu sosial, punya tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan yang lebih adil bagi anak-anak kita. Kita bisa mulai dengan memilih tontonan yang lebih representatif dan inklusif. Kita juga bisa menjadi role model yang baik dengan menunjukkan bahwa kesetaraan gender itu keren dan penting.
Intinya, jangan biarkan anak-anak kita tumbuh besar dengan “doktrin” stereotip dari TV. Mari kita ajak mereka untuk berpikir kritis, bermimpi besar, dan menjadi versi terbaik dari diri mereka sendiri, tanpa terhalang oleh batasan gender. Karena, masa depan ada di tangan generasi yang cerdas, kreatif, dan berani mendobrak batasan!