Siapa bilang sejarah itu membosankan? Ternyata, serpihan peradaban kuno bisa jadi game yang bikin nagih. Dan bukan cuma nagih, tapi juga bikin kita mikir, “Wah, ternyata keren juga ya budaya kita!” Nah, inilah fenomena game buatan anak bangsa yang mulai unjuk gigi di kancah internasional.
Dulu, industri game Indonesia mungkin cuma dikenal sebagai pasar potensial. Tapi sekarang, kita mulai lihat studio-studio lokal yang berani bikin game dengan kualitas yang nggak kalah sama buatan luar. Ini bukan lagi soal mimpi, tapi realita yang bisa kita sentuh (walaupun sentuhnya lewat controller atau keyboard, sih).
Mungkin kamu bertanya-tanya, kok bisa sih game dari Indonesia mendadak jadi hype? Jawabannya sederhana: budaya. Bukan, bukan berarti game ini isinya cuma tarian tradisional atau resep masakan nenek. Lebih dari itu, game ini menawarkan pengalaman yang fresh dan otentik, sesuatu yang nggak bisa kamu temukan di game buatan barat atau timur lainnya.
Wuchang: Fallen Feathers – Saat Sejarah Jadi Seru
Mari kita bahas lebih detail tentang Wuchang: Fallen Feathers. Game yang berlatar Dinasti Ming ini, baru saja dirilis dan langsung mencuri perhatian. Bahkan sebelum rilis resminya, pre-order-nya sudah menduduki peringkat pertama Steam Global Bestseller, mengalahkan game lain (kecuali yang gratisan, ya iyalah!).
Apa yang bikin game ini spesial? Bayangkan dirimu sebagai seorang prajurit wanita dengan masa lalu misterius, terperangkap di dunia yang dilanda wabah dan peperangan. Kamu harus menjelajahi kuil-kuil kuno yang runtuh, mendaki gunung berkabut, dan mengungkap rahasia di balik identitasmu. Kedengarannya seru, kan?
Tapi Wuchang: Fallen Feathers bukan cuma soal aksi dan petualangan. Game ini juga menawarkan pengalaman budaya yang mendalam. Tim pengembang dari Leenzee Games rela menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk melakukan 3D scanning terhadap puluhan relik budaya kuno di Sichuan dan sekitarnya. Hasilnya? Detail lingkungan dan arsitektur di game ini benar-benar memukau.
Bukan cuma itu, Leenzee Games juga memasukkan unsur seni tradisional seperti opera topeng dan tarian besi panas ke dalam game. Bayangkan, sambil melawan monster, kamu juga bisa menikmati pertunjukan seni yang keren abis. Ini baru namanya edutainment yang sesungguhnya!
Mengapa Black Myth: Wukong Membuka Jalan?
Kesuksesan Wuchang: Fallen Feathers nggak bisa dilepaskan dari Black Myth: Wukong. Game yang diadaptasi dari kisah Sun Go Kong ini, berhasil membuktikan bahwa game buatan Tiongkok bisa bersaing di pasar global. Bahkan, CTO Leenzee Games, Xia Siyuan, melihat Black Myth: Wukong sebagai pembangun pipeline yang bisa direplikasi untuk game Tiongkok lainnya.
Artinya, Black Myth: Wukong bukan cuma sukses secara komersial, tapi juga memberikan panduan praktis bagi studio game lain. Mulai dari proses distribusi, komunikasi dengan gamer luar negeri, hingga sistem technical support, semuanya sudah dipetakan dengan baik. Ini membantu studio seperti Leenzee mengurangi risiko kesalahan dan mempercepat proses pengembangan.
Namun, Xia Siyuan juga menekankan bahwa industri game adalah industri kreatif yang membutuhkan inovasi berkelanjutan. Gameplay yang solid adalah fondasinya, tetapi ekspresi budaya adalah jiwa dari sebuah karya. Untungnya, Tiongkok punya 5.000 tahun sejarah dan warisan budaya yang kaya, sehingga menjadi sumber inspirasi yang tak pernah habis.
Chengdu: Sarang Kreatif Digital Tiongkok
Leenzee Games berlokasi di Chengdu, ibu kota Provinsi Sichuan yang kini menjadi pusat kreatif digital baru di Tiongkok. Di zona berteknologi tinggi Chengdu, terdapat lebih dari 6.000 perusahaan kreatif digital yang membentuk ekosistem yang dinamis.
Leenzee bertetangga dengan studio-studio besar seperti Chengdu Coco Cartoon (produser serial Ne Zha) dan tim Honor of Kings dari Tencent. Bahkan, Ubisoft Chengdu (studio game asal Prancis) juga turut andil dalam mengembangkan game AAA seperti Assassin’s Creed dan For Honor. Kolaborasi semacam ini membawa keahlian produksi kelas dunia ke jantung Tiongkok.
CEO Leenzee Games, Jiang Min, mengatakan bahwa keberadaan cluster kreatif ini mempercepat output kreatif. Dalam pengembangan Wuchang: Fallen Feathers, seni dan musik dikerjakan melalui kolaborasi dengan lebih dari 60 perusahaan upstream dan downstream. Teamwork makes the dream work, betul kan?
Masa Depan Cerah Game Buatan Tiongkok
Menurut Laporan Industri Game Tiongkok 2024, game yang dikembangkan di dalam negeri menghasilkan sekitar 18,56 miliar dolar AS dari pendapatan luar negeri tahun lalu. Ini menunjukkan bahwa game buatan Tiongkok semakin diminati di pasar global.
Jiang Min juga menambahkan bahwa talenta dan ekosistem teknis untuk game konsol single-player di Tiongkok kini semakin matang. Ini memberikan dukungan penting untuk pengembangan game premium. Dengan peluncuran Black Myth: Wukong dan Wuchang: Fallen Feathers, game single-player Tiongkok memasuki pasar global melalui nilai produksi premium dan keragaman genre.
Bagi pemain internasional, game ini menjadi gerbang menuju bahasa estetik dan mitologi kuno Tiongkok yang khas. Seorang pemain asal Rusia, Novozholov Ilia, mengatakan bahwa ini adalah pengalaman pertamanya dengan budaya Shu kuno melalui game, dan ia merasa sangat segar dan terpesona. Ia pun bersemangat untuk menjelajahi lebih banyak budaya Tiongkok melalui game.
Singkatnya, game bukan lagi sekadar hiburan. Ia bisa jadi jembatan yang menghubungkan kita dengan budaya dan sejarah yang mungkin belum pernah kita ketahui sebelumnya. Dan kalau game buatan anak bangsa bisa bikin orang asing tertarik dengan budaya kita, kenapa kita sendiri nggak? Jadi, tunggu apa lagi? Ayo dukung game Indonesia!