Dark Mode Light Mode
Acara TV Live-Action Adaptasi Video Game Pertama Jauh dari Kesan Fallout dan The Last of Us

Setelah PHK Xbox, Pendiri Arkane (Dishonored, Prey) Kritik Pedas Game Pass: ‘Kenapa Tak Ada yang Bicara Soal Dampaknya?’

Lagu Rock Paling Jitu Meramalkan Masa Depan?

Setelah PHK Xbox, Pendiri Arkane (Dishonored, Prey) Kritik Pedas Game Pass: ‘Kenapa Tak Ada yang Bicara Soal Dampaknya?’

Siapa sih yang nggak suka main game? Apalagi kalau ada service yang nawarin ratusan judul dengan harga yang (kelihatannya) murah. Tapi, tunggu dulu, jangan terlalu senang. Ada lho suara-suara sumbang yang bilang kalau semua ini terlalu bagus untuk jadi kenyataan. Mirip kayak janji mantan, bikinnya manis di awal, pahitnya di akhir.

Game Pass: Penyelamat atau Pembunuh Industri Game?

Game Pass, layanan subscription dari Microsoft, memang lagi naik daun. Tapi, di balik gemerlapnya, ada perdebatan panas soal keberlanjutannya. Apakah Game Pass ini justru malah merugikan industri game secara keseluruhan? Atau justru sebaliknya, menjadi angin segar bagi para developer independen yang kesulitan bersaing? Mari kita kulik lebih dalam.

Konsep Game Pass sebenarnya sederhana: bayar biaya bulanan, bisa main sepuasnya game-game yang tersedia. Dari game indie yang unik sampai blockbuster AAA, semuanya ada. Ini tentu saja menggoda, apalagi buat kita yang dompetnya seringkali lebih tipis dari harapan.

Tapi, founder Arkane Studios, Raphael Colantonio, punya pandangan berbeda. Dia bilang, Game Pass itu model bisnis yang unsustainable alias nggak berkelanjutan. “Kenapa nggak ada yang ngomongin ini?” cuitnya di media sosial, memicu perdebatan sengit di kalangan gamer dan pengembang.

Menurut Colantonio, Microsoft mungkin punya “duit nggak berseri” buat subsidi Game Pass, tapi cepat atau lambat, realita akan menampar. Dia bahkan khawatir Game Pass bakal membunuh model bisnis game lainnya. Duh, serem juga ya?

Pendapat Colantonio didukung oleh beberapa figur penting di industri game, termasuk mantan VP dari Epic Games dan Direktur Penerbitan Larian, Michael Douse. Mereka mempertanyakan apa yang akan terjadi kalau “keran uang” dari Microsoft itu tiba-tiba ditutup.

Matematika Game Pass: Untung atau Buntung?

Salah satu poin penting yang diangkat Colantonio adalah soal profitabilitas Game Pass. Katanya, klaim Microsoft bahwa Game Pass tidak memengaruhi penjualan game itu omong kosong belaka. Bahkan Microsoft sendiri akhirnya mengakui hal itu.

Douse menambahkan, dia lebih suka cara Sony menangani PlayStation Plus. Sony nggak langsung memasukkan game first-party mereka ke layanan subscription saat peluncuran. Ini memberi kesempatan buat game tersebut menghasilkan penjualan maksimal sebelum akhirnya “diobral” di PS Plus.

Colantonio sendiri menyindir, Game Pass itu seperti trik akuntansi. Microsoft nggak memasukkan biaya akuisisi konten ke dalam laporan laba rugi, tapi mengamortisirnya dari waktu ke waktu. Jadi, secara kasat mata, Game Pass terlihat menguntungkan, padahal sebenarnya… well, kita nggak tahu pasti.

Kalau dipikir-pikir, ada benarnya juga. Microsoft rela menggelontorkan miliaran dollar buat membeli studio game dan hak penerbitan, tujuannya tentu saja buat memperkaya library Game Pass. Pertanyaannya, kapan investasi ini bakal balik modal? Atau jangan-jangan, Microsoft cuma lagi bakar-bakaran duit demi merebut pasar?

Jangan Senang Dulu, Gamer! Ada Harga yang Harus Dibayar?

Buat gamer, Game Pass memang tawaran yang menggiurkan. Bisa main banyak game dengan harga terjangkau. Tapi, Colantonio mewanti-wanti, jangan senang dulu. Dia khawatir, setelah Microsoft berhasil mendominasi pasar, kualitas game bakal menurun dan harga subscription bakal naik. Serem kan?

“Apa yang mungkin terjadi setelah MS menang: game-game akan jadi jelek dan harga subscription kamu akan naik,” tulis Colantonio. “Kenapa? Karena penawaran yang luar biasa saat ini disubsidi oleh MS yang menghambur-hamburkan uang dengan harapan membunuh kompetisi, tetapi begitu mereka berhasil melakukannya, keadaan akan menjadi nyata.”

Intinya, Colantonio melihat Game Pass sebagai “tsunami” yang mengancam ekosistem industri game. Mungkin gamer senang sekarang, tapi cepat atau lambat mereka akan merasakan dampaknya. Hmm, jadi kayak makan Indomie tiap hari ya? Enak sih, tapi nggak sehat.

Sayangnya, Microsoft nggak terlalu transparan soal kinerja keuangan Game Pass. Mereka cuma bilang pendapatan Xbox konten dan layanan meningkat, sebagian karena pertumbuhan Game Pass. Tapi, kita nggak tahu berapa jumlah subscriber Game Pass saat ini, atau berapa pendapatan yang dihasilkan.

Game Pass: Opsi yang Sehat, Tapi Bukan Segalanya?

Kepala Xbox, Phil Spencer, sendiri mengakui bahwa Game Pass bukanlah solusi untuk semua orang. Kalau kamu cuma main satu atau dua game setahun, lebih baik beli saja game tersebut. Dia juga menekankan bahwa semua game di Game Pass tetap tersedia untuk dibeli secara terpisah.

Spencer melihat Game Pass sebagai “opsi yang sehat” bagi sebagian orang. Dia juga menyebut PC dan Cloud sebagai area pertumbuhan terbesar Xbox saat ini. Konsol memang bisnis yang bagus, tapi pertumbuhannya nggak sepesat dulu.

Jadi, intinya, Game Pass itu seperti pisau bermata dua. Di satu sisi, memberikan akses ke banyak game dengan harga terjangkau. Di sisi lain, berpotensi merusak ekosistem industri game jika dijalankan dengan tidak hati-hati. Semua tergantung bagaimana Microsoft mengelola Game Pass ke depannya.

Masa Depan Game Pass: Antara Langit dan Bumi

Lalu, bagaimana masa depan Game Pass? Apakah layanan ini akan terus berkembang dan menjadi standar baru di industri game? Atau justru malah runtuh karena nggak sustainable? Belum ada yang tahu pasti. Tapi satu hal yang pasti, perdebatan soal Game Pass ini akan terus berlanjut.

Intinya, Game Pass itu bukan cuma soal harga murah dan banyak pilihan game. Ada implikasi yang lebih besar yang perlu kita pertimbangkan. Sebagai gamer yang cerdas, kita harus kritis dan nggak cuma menelan mentah-mentah semua yang ditawarkan. Siapa tahu, di balik diskon besar, ada jebakan Batman yang menanti. Keep gaming, guys, and stay smart!

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Acara TV Live-Action Adaptasi Video Game Pertama Jauh dari Kesan Fallout dan The Last of Us

Next Post

Lagu Rock Paling Jitu Meramalkan Masa Depan?