Dark Mode Light Mode

Simpati untuk Iblis: Dari Balada Dylan ke Samba Setan ala Rolling Stones

Oke, siap. Berikut adalah artikel yang Anda minta:

Pada suatu hari di tahun 1968, tepatnya tanggal 4 Juni, lima anak muda memasuki Olympic Recording Studios di London dengan ambisi besar. Mereka adalah The Rolling Stones, dan hari itu mereka bersiap merekam sebuah lagu yang kelak akan menjadi salah satu karya masterpiece mereka: "Sympathy For The Devil." Siapa sangka, sesi rekaman yang berlangsung selama 18 jam itu akan melahirkan sebuah lagu yang mengguncang dunia musik.

Dari komposisi folk sederhana, lagu ini bertransformasi menjadi samba-infused rock yang mendebarkan. Lima hari kemudian, lahirlah sebuah karya yang bukan hanya enak didengar, tapi juga memicu perdebatan dan kontroversi. Namun, sebelum kita membahas lebih jauh, mari kita telusuri latar belakangnya.

Pada tahun 1967, The Rolling Stones mengalami masa sulit. Mick Jagger dan Keith Richards hampir mendekam di penjara karena kasus narkoba. Jagger, sebagai frontman, merasa perlu mencari inspirasi baru. Ia mulai menyelami dunia puisi dan filsafat, mencari makna di balik kehidupan yang keras.

Marianne Faithfull, kekasih Jagger saat itu, menghadiahinya sebuah novel berjudul "The Master And Margarita" karya Mikhail Bulgakov. Buku inilah yang menjadi salah satu sumber inspirasi utama "Sympathy For The Devil", selain karya-karya penyair Perancis, Charles Baudelaire.

Lagu ini awalnya berjudul "Fallen Angels" dan memiliki judul sementara "The Devil Is My Name." Liriknya menyinggung tentang kejahatan dan kehadirannya sepanjang sejarah. Jagger, dengan gaya persona-nya yang khas, berperan sebagai Setan dan menyebutkan serangkaian kekejaman, mulai dari penyaliban Yesus Kristus hingga pembantaian keluarga Romanov.

"Sympathy For The Devil" bukan hanya sekadar lagu; ia adalah narasi grand yang relevan dengan zamannya. Saat itu, Amerika Serikat dilanda konflik sosial, perjuangan hak-hak sipil, protes anti-perang, dan kerusuhan di perkotaan setelah pembunuhan Dr. Martin Luther King. Lirik lagu ini juga awalnya menyinggung pembunuhan Presiden AS John F. Kennedy. Namun, sehari setelah Stones mulai merekam lagu tersebut, adik JFK, Robert Kennedy, juga ditembak mati. Jagger pun mengubah liriknya menjadi "Who killed the Kennedys?"

Sejak awal, "Sympathy For The Devil" menuai kontroversi. Media dan kelompok agama khawatir bahwa Stones adalah penyembah setan dan memberikan pengaruh buruk pada generasi muda.

Kisah di Balik Lirik "Sympathy For The Devil": Lebih dari Sekadar Kontroversi

Lirik pembuka lagu ini, yang dilantunkan Jagger dengan nada gelap dan menggoda, langsung menusuk perhatian: "Please allow me to introduce myself/I'm a man of wealth and taste/I've been around for a long, long year/Stole many a man's soul and faith…" Jagger benar-benar menghidupi karakter Setan dengan semangat dan keyakinan. Tapi, siapa sangka, lagu ini awalnya terdengar seperti balada folk yang kalem?

Keith Richards mengenang bahwa Jagger datang dengan lagu yang sangat "Dylanesque." Namun, dalam proses rekaman, mereka memutuskan untuk mengubah tempo dan menambahkan perkusi, sehingga lahirlah nuansa samba yang khas. Proses evolusi lagu ini terekam dengan apik dalam film Jean-Luc Godard berjudul "Sympathy For The Devil" (awalnya berjudul "One Plus One").

Film Godard juga memberikan gambaran tentang kemunduran Brian Jones, salah satu pendiri Stones. Jones, yang dulunya adalah musisi serba bisa, tampak terpinggirkan, dihantui kecemasan, dan berjuang melawan kecanduan narkoba dan alkohol.

Salah satu adegan awal film menunjukkan Jagger memainkan gitar akustik Gibson Hummingbird, sementara Richards dan Jones juga memainkan gitar akustik. Perlahan tapi pasti, lagu folk itu bertransformasi menjadi sesuatu yang lebih intens dan dahsyat.

Evolusi Musikal: Dari Balada Folk ke Samba Rock yang Membara

Keith Richards adalah sosok kunci dalam transformasi musikal "Sympathy For The Devil." Dialah yang mengusulkan perubahan tempo dan penambahan perkusi, yang mengubah lagu itu menjadi samba. Selanjutnya, Charlie Watts, sang drummer, bertugas menciptakan groove yang memabukkan dan menghipnotis.

Watts mengakui bahwa mereka menghabiskan dua malam penuh untuk mencoba berbagai ritme, namun selalu gagal. Akhirnya, mereka memilih groove samba Afro-Brasil yang dikenal sebagai Candomblé.

Untuk memperkaya suara perkusi, mereka mendatangkan Rocky Dijon, seorang perkusionis kelahiran Ghana, untuk memainkan conga. Bill Wyman, sang bassist Stones, menambahkan shekere, alat musik perkusi Afrika.

Sentuhan Magis di Studio: Kolaborasi yang Melahirkan Keajaiban

Pada titik ini, Wyman biasanya akan merekam bagian bass-nya. Namun, kali ini situasinya berbeda. "Tiba-tiba saya memainkan bass [dan] itu adalah samba," kata Keith Richards sambil tertawa dalam sebuah wawancara. Richards memainkan bass Fender Precision dengan pick, memberikan sentuhan punchy ala Stax/Motown di atas beat Latin-jazz Watts yang membara. Transformasi dari balada folk yang lambat menjadi groove yang menular sangat dramatis.

"Itulah keindahan rekaman, pergi ke studio," lanjut Richards. "Anda masuk dengan ide setengah matang tentang bagaimana lagu ini seharusnya keluar, dan hasilnya sesuatu yang sama sekali berbeda karena telah difilter melalui semua orang di band."

Nicky Hopkins, seorang pianis dan organis sesi yang sangat dicari, juga memainkan peran penting dalam lagu ini dan album "Beggars Banquet." Permainan piano perkusifnya adalah fitur penting dari "Sympathy For The Devil" dan membantu mendorong lagu ini maju.

Anita Pallenberg, seorang aktris, seniman, dan model Italia-Jerman yang menjalin hubungan romantis dengan Keith Richards pada saat itu, juga memberikan kontribusi yang tak kalah penting. Pallenberg berada di ruang engineering di Olympic Studios, bersama produser Jimmy Miller, ketika Jagger merekam vokal untuk lagu tersebut. Miller berulang kali bertanya "Who? Who?" dan Pallenberg menyadari betapa hebatnya suara ini dan menyarankan Jagger bahwa "Who? Who?" digunakan sebagai nyanyian latar. Setelah dicoba, mereka menggantinya menjadi "Woo woo."

‘Woo Woo' Ikonis: Simfoni Latar yang Sempurna

Marianne Faithfull dan fotografer Michael Cooper segera bergabung dengan Pallenberg di ruang vokal, bersama Brian Jones, Keith Richards, Bill Wyman, dan Charlie Watts, untuk merekam chant latar "Woo woo" yang ikonik.

Film Godard memberikan wawasan yang memukau. Beberapa meter dari backing vocal pack, di belakang layar besar, berdiri Mick Jagger, mengenakan kemeja ruffled putih dan celana kuning lemon. Jagger berada di tengah-tengah rekaman vokal dan benar-benar tenggelam dalam momen itu, kaki kirinya bergerak dengan cepat mengikuti groove, kedua tangannya memegang headphone, lalu menariknya dengan gerakan tangan dan lengan yang dramatis. Suaranya jarang terdengar sebaik ini.

Terlepas dari semua hiasan dan flamboyance akhir 60-an, performa vokal ini berakar kuat pada blues. Salah satu kekuatan "Sympathy For The Devil" adalah sifat organiknya — bagaimana ia membangun secara perlahan dan naluriah, dimulai dengan perkusi dan vokal melengking yang tinggi dan bergema yang keduanya menarik dan mengancam.

Conga ala Afrika adalah suara pertama yang terdengar, sebelum shekere, maracas, dan lolongan serta gerutuan Jagger yang bergema memasuki mix. Pada detik ke-21, vokal utama Jagger, akor piano penuh Nick Hopkins, dan bass Keith Richard menciptakan pembukaan lagu yang menggema. Sementara piano menonjol di sepanjang lagu, gitar ritme jauh lebih halus saat mereka bersarang di dalam groove.

Pada menit 1:57, "woo-woo" pertama diperkenalkan dan muncul di setiap baris lagu sejak saat itu — total 154 kali. Pada menit 2:30, kecepatan dan urgensi benar-benar meningkat saat gitar ritme muncul dengan lebih menonjol. Kemudian, pada menit 2:48, Keith Richards menampilkan salah satu solo gitar terhebatnya, yang dimainkan pada '57 Les Paul Custom melalui Vox AC30 dengan treble boost. Ini adalah permainan yang dinilai dengan indah yang tajam, membakar, dan melodis.

Lebih dari Sekadar Lagu: Warisan "Sympathy For The Devil"

"Sympathy For The Devil" dirilis sebagai single dalam versi edit 4 menit 9 detik pada 6 Desember 1968. Enam hari kemudian, Stones membawakan lagu itu secara langsung untuk pertama kalinya di depan penonton langsung pada pembuatan film "The Rolling Stones Rock And Roll Circus."

Namun, ironisnya, lagu ini juga diwarnai tragedi. Pada tanggal 11 Desember 1969, band harus menghentikan lagu di tengah pertunjukan di Altamont Speedway ketika perkelahian pecah antara Hells Angels. Penikaman fatal Meredith Hunter oleh Hells Angels yang disewa untuk menjaga keamanan konser sering diyakini terjadi selama "Sympathy For The Devil." Padahal, peristiwa tragis itu sebenarnya terjadi selama penampilan Stones dalam lagu "Under My Thumb" — tetapi nada gelap "Sympathy For The Devil" tampaknya selamanya terkait dengan peristiwa itu.

Hampir enam dekade sejak dirilis, "Sympathy For The Devil" tetap menjadi puncak dari setlist langsung Stones dan merupakan salah satu lagu mereka yang paling populer. Pada tahun 2007, sebuah jajak pendapat tentang lagu-lagu Stones terhebat di majalah Mojo menempatkan "Sympathy For The Devil" di No.1. Tidak mengherankan, setiap kontroversi tentang Stones sebagai penyembah setan segera berlalu seiring meredanya kepanikan moral.

Menghadapi Lucifer: Pesan Abadi dari Keith Richards

Pada tahun 2002, Keith Richards mengakui bahwa pesan inti dari masterpiece gelap dan unik dari Stones ini tetap menjadi kisah peringatan di zaman kontemporer. "Sympathy adalah lagu yang cukup membangkitkan semangat," kata Richards. "Ini hanya masalah melihat Setan di wajah. Dia ada di sana sepanjang waktu. Saya telah melakukan kontak yang sangat dekat dengan Lucifer – Saya telah bertemu dengannya beberapa kali… Ketika lagu itu ditulis, itu adalah masa kekacauan. Itu adalah semacam kekacauan internasional pertama sejak Perang Dunia II. Dan kebingungan bukanlah sekutu perdamaian dan cinta… ‘Sympathy For The Devil' adalah lagu yang mengatakan, ‘Jangan lupakan dia. Jika Anda menghadapinya, maka dia tidak punya pekerjaan'."

Jadi, apa yang bisa kita pelajari dari kisah "Sympathy For The Devil"? Bahwa keberanian untuk menghadapi kegelapan dalam diri kita, untuk mengakui keberadaan kejahatan, adalah kunci untuk mengalahkannya. Dan bahwa musik, seperti yang dibuktikan oleh The Rolling Stones, memiliki kekuatan untuk menyampaikan pesan-pesan penting tersebut, bahkan jika dikemas dalam groove samba yang memabukkan. Jangan lupa, guys, hadapi Lucifer dalam dirimu, biar doi gak ganggu hidupmu!

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Cara Mendapatkan Buah Pengembara di Grow a Garden

Next Post

Jakarta International Marathon 2025: Dampak & Potret dari Xinhua