Siapa bilang jadi jack of all trades itu nggak keren? Di dunia teknologi yang serba cepat ini, spesialisasi dini bisa jadi bumerang. Bayangkan, fokus mati-matian di satu teknologi, eh, tiba-tiba teknologi itu usang. Nggak lucu, kan?
Generalis atau Spesialis: Dilema Engineer Muda
Di awal karir, banyak fresh graduate yang bingung: fokus mendalami satu bidang (spesialis) atau menjajal berbagai macam (generalis)? Philip Su, mantan engineer di Microsoft, Meta, dan OpenAI, punya pendapat menarik. Menurutnya, spesialisasi dini bisa berbahaya, terutama di era AI.
Pilihan ini memang rumit, tergantung seberapa baik kita mengenal diri sendiri. Ada kalanya, bakat alamiah seperti prodigy catur memang sebaiknya diasah sejak dini. Tapi, untuk kebanyakan dari kita, generalisasi di awal karir justru lebih menguntungkan.
Mengapa? Karena teknologi itu dinamis. Apa yang in hari ini, belum tentu in besok. Terlalu terpaku pada satu teknologi tertentu bisa membuat kita ketinggalan kereta inovasi. Ingat COBOL? Dulu berjaya, sekarang… ya, gitu deh.
Jangan Jadi ‘Anjing yang Menangkap Mobil': Bahaya Peaking Early
Philip Su bercerita tentang pengalamannya menjadi development manager di Microsoft di usia 30-an. Ia merasa seperti "anjing yang menangkap mobil". Mencapai puncak karir terlalu cepat bisa jadi masalah. Lalu, apa yang akan dilakukan dengan sisa hidup?
Penting juga untuk mengetahui nilai-nilai pribadi. Keputusan karir akan lebih mudah jika kita tahu persis apa yang kita inginkan dalam hidup, bukan hanya sekadar mengejar ambisi yang diidealkan. Coba deh, tanyakan pada diri sendiri: what makes me tick?
Sebelum benar-benar terjun ke satu bidang, luangkan waktu untuk menjelajahi berbagai skill. Eksplorasi ini membantu kita menemukan apa yang paling cocok dengan diri kita, bukan hanya sekadar mengikuti tren atau tekanan dari luar.
Kenali Diri Sendiri, Jangan Cuma Ikut-Ikutan
Keputusan besar seringkali sulit karena kita belum punya nilai-nilai yang jelas. Coba definisikan apa yang benar-benar penting bagi kita. Apakah itu karir yang gemilang, keluarga yang harmonis, atau keseimbangan antara keduanya?
Philip Su menyarankan agar engineer muda tidak terburu-buru berkomitmen pada satu bidang. Lebih baik mencoba berbagai hal terlebih dahulu, agar bisa menemukan passion dan keahlian yang paling sesuai. Don't put all your eggs in one basket, istilahnya.
Fleksibilitas Adalah Kunci: Adaptasi di Era AI
Di era kecerdasan buatan (AI), fleksibilitas menjadi semakin penting. Spesialisasi sempit berisiko tergantikan oleh AI. Sementara, generalis dengan skillset yang luas akan lebih mudah beradaptasi dan mencari peluang baru.
Analogi yang digunakan Su cukup menarik: ada orang yang "melengkung" seperti bambu saat tertiup angin, dan ada yang "patah" karena terlalu kaku. Penting untuk mengevaluasi prioritas kita dengan hati-hati.
Prioritaskan Keseimbangan Hidup: Jangan Korbankan Segalanya
Mengejar karir memang penting, tapi jangan sampai mengorbankan hal-hal lain yang juga berharga dalam hidup. Hubungan yang sehat dengan pasangan, anak-anak, dan keluarga adalah investasi jangka panjang yang tak ternilai harganya.
Su mengingatkan bahwa perbedaan antara menjadi senior engineer di usia 30 dan 38 sebenarnya tidak terlalu signifikan dalam jangka panjang. Pertanyaannya adalah: seberapa cepat kita ingin mencapai terminal level? Apakah sepadan dengan pengorbanan yang harus kita lakukan?
The Takeaway: Jadi Generalis Dulu, Spesialis Kemudian (Mungkin)
Intinya, di awal karir, jangan takut untuk menjadi seorang generalis. Jajal berbagai skill, temukan passion, dan bangun fondasi yang kuat. Spesialisasi bisa menyusul kemudian, jika memang itu yang kita inginkan. Ingat, fleksibilitas adalah kunci untuk bertahan dan berkembang di era teknologi yang terus berubah ini. Lebih baik jadi kayak Swiss Army Knife daripada pisau dapur yang cuma bisa buat motong bawang, kan?