Dunia sedang menunggu chapter baru sejarah Indonesia. Bukan cuma textbook membosankan yang kita ingat dari sekolah, tapi versi yang katanya lebih… komprehensif? Tapi, dengan tanggal rilis yang terus mundur, dan kontroversi yang menyertainya, apakah proyek penulisan ulang sejarah ini akan jadi kado indah untuk negeri, atau malah jadi bom waktu sejarah?
Rewriting History: Mimpi atau Mimpi Buruk?
Proyek ambisius penulisan ulang sejarah Indonesia yang digagas pemerintah Presiden Prabowo Subianto ini memang bukan tanpa alasan. Tujuannya, kabarnya, adalah untuk menyajikan narasi sejarah yang lebih komprehensif dan sesuai dengan perkembangan zaman. Ya, biar kita nggak cuma ingat Pangeran Diponegoro dan Cut Nyak Dien, tapi juga impact kolonialisme terhadap UMKM lokal, misalnya. Tapi, apakah sejarah memang bisa “ditulis ulang” begitu saja?
Penulisan ulang sejarah ini ditargetkan selesai pada 10 November 2025, bertepatan dengan Hari Pahlawan. Tanggal yang awalnya Agustus 2025, bertepatan dengan HUT RI ke-80, kini diundur. Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengatakan bahwa saat ini, Kementerian Kebudayaan masih melakukan berbagai kegiatan dalam rangka penulisan ulang sejarah, termasuk public review di forum-forum akademik.
Public review ini telah dilakukan di empat universitas: Universitas Indonesia, Universitas Negeri Padang, Universitas Lambung Mangkurat, dan Universitas Negeri Makassar. Nantinya, akan ada lagi agenda public review dengan para pemerhati sejarah dan sejarawan lainnya. Intinya, pemerintah berusaha untuk melibatkan banyak pihak dalam proses ini. Tapi, apakah keterlibatan ini sungguh-sungguh inklusif?
Meskipun begitu, proyek ini tak lepas dari kritik. Ketua MPR Puan Maharani bahkan mengingatkan pemerintah untuk tidak terburu-buru dalam proyek ini. Ia meminta agar pemerintah tidak mengabaikan protes publik. “Jangan terburu-buru, kita lihat lagi bagaimana fakta-fakta sejarah yang ada,” ujarnya. Nggak mau kan, sejarahnya jadi fast food, enak sekejap, tapi nggak bergizi.
Koalisi Masyarakat Sipil Anti Impunitas bahkan melakukan aksi protes terhadap Menteri Kebudayaan Fadli Zon saat rapat kerja dengan Komisi X DPR. Aksi ini sebagai simbol penolakan terhadap proyek penulisan ulang sejarah ini. Mereka khawatir, sejarah akan dipolitisasi dan fakta-fakta yang sensitif akan dihilangkan atau dibelokkan.
Aksi ini juga merupakan protes terhadap pernyataan Fadli Zon yang membantah terjadinya pemerkosaan massal pada tahun 1998. “Untuk memprotes pemutihan sejarah dan juga untuk mengecam pernyataan Fadli Zon bahwa pemerkosaan massal 1998 adalah rumor dan tidak memiliki bukti,” kata Jane Rosalina, aktivis dari Koalisi Masyarakat Sipil. Tentu, bagian sejarah yang ini nggak boleh hilang begitu saja.
Menggali Lebih Dalam: Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Jadi, apa yang sebenarnya terjadi di balik layar proyek penulisan ulang sejarah ini? Apakah ini upaya serius untuk menyajikan narasi sejarah yang lebih akurat dan inklusif? Atau hanya upaya untuk memoles citra pemerintah dan melupakan bagian-bagian kelam dari masa lalu?
Salah satu hal yang menjadi perhatian adalah potensi bias dalam penulisan sejarah. Siapa yang menulis sejarah, dan dengan agenda apa? Jika sejarah hanya ditulis oleh satu kelompok atau perspektif, maka narasi yang dihasilkan akan menjadi tidak seimbang dan berpotensi menyesatkan. Ini seperti nonton film dari sudut pandang tokoh antagonis terus, kan nggak adil.
Kemudian, ada juga masalah interpretasi sejarah. Sejarah bukanlah sekadar kumpulan fakta-fakta yang mati. Sejarah adalah cerita yang diinterpretasikan oleh sejarawan dan masyarakat. Interpretasi ini bisa berbeda-beda, tergantung pada latar belakang, ideologi, dan kepentingan masing-masing. Jadi, versi sejarah mana yang akan dianggap “resmi”?
Selain itu, ada juga masalah sensitivitas. Beberapa peristiwa sejarah sangat sensitif dan berpotensi menimbulkan konflik. Misalnya, peristiwa G30S, konflik di Timor Timur, atau pelanggaran HAM masa lalu. Bagaimana cara menarasikan peristiwa-peristiwa ini secara jujur dan akurat, tanpa menyakiti perasaan korban dan keluarga mereka?
Last but not least, ada juga masalah relevansi. Apakah penulisan ulang sejarah ini benar-benar relevan dengan kebutuhan masyarakat saat ini? Apakah ini akan membantu kita untuk belajar dari masa lalu dan membangun masa depan yang lebih baik? Atau hanya buang-buang waktu dan uang?
Sejarah untuk Siapa? Relevansi di Era Digital
Penulisan ulang sejarah di era digital ini juga menghadirkan tantangan baru. Dulu, sejarah hanya bisa diakses melalui buku-buku dan museum. Sekarang, sejarah bisa diakses melalui internet, media sosial, dan berbagai platform digital lainnya.
Dengan akses yang lebih mudah, masyarakat memiliki kesempatan untuk belajar sejarah dari berbagai sumber dan perspektif. Mereka juga bisa berpartisipasi dalam diskusi dan perdebatan tentang sejarah. Namun, di sisi lain, akses yang mudah juga membuka peluang bagi penyebaran disinformasi dan propaganda sejarah. Hoax sejarah, anyone?
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengembangkan kemampuan critical thinking dan media literacy dalam mengonsumsi informasi sejarah. Jangan mudah percaya pada satu sumber saja. Bandingkan dengan sumber-sumber lain, dan pertimbangkan berbagai perspektif. Intinya, jangan jadi korban clickbait sejarah.
Jadi, Apa yang Harus Kita Lakukan?
Proyek penulisan ulang sejarah ini adalah sebuah tantangan dan kesempatan. Tantangan untuk menyajikan narasi sejarah yang lebih akurat, inklusif, dan relevan. Kesempatan untuk belajar dari masa lalu dan membangun masa depan yang lebih baik.
Kita sebagai masyarakat sipil punya peran penting dalam mengawal proyek ini. Kita harus memastikan bahwa prosesnya transparan, partisipatif, dan akuntabel. Kita harus berani mengkritik jika ada indikasi bias, distorsi, atau pemutihan sejarah. Jangan sampai sejarah kita jadi alat politik.
Ingat, sejarah adalah milik kita semua. Kita punya hak untuk tahu kebenaran, dan kita punya tanggung jawab untuk menjaga warisan budaya bangsa. Mari kita kawal proyek ini dengan cerdas dan kritis, demi masa depan Indonesia yang lebih baik.
Sejarah itu bukan cuma tanggal dan nama pahlawan. Sejarah adalah cerita tentang kita, tentang siapa kita, dan tentang bagaimana kita bisa menjadi lebih baik. Jangan biarkan sejarah ditulis ulang tanpa suara kita.