Ketika band legendaris The Who mengumumkan tur perpisahan mereka, ‘The Song Is Over’, banyak yang bertanya-tanya: akankah ada lagi kejutan yang bisa mereka berikan setelah lima dekade di panggung? Ternyata, para dewa rock ‘n’ roll itu masih punya amunisi tersembunyi yang siap bikin para penggemar teriak histeris sampai tenggorokan serak. Bayangkan saja, sebuah lagu klasik dari tahun 1971, ‘Going Mobile’, yang selama ini cuma jadi legenda di album Who’s Next, akhirnya manggung perdana—setelah 50 tahun! Sepertinya, band sekelas The Who ini memang sengaja menyimpan special move mereka sampai momen perpisahan tiba.
Gerak Cepat: Debut yang Dinanti Setengah Abad
Kabar gembira ini datang dari Amerant Bank Arena di Florida, di mana The Who resmi menggebrak tur perpisahan ‘The Song Is Over’ pada 16 Agustus lalu. Para penggemar yang hadir mungkin mengira mereka akan menyaksikan daftar lagu klasik yang familier, namun sembilan lagu ke dalam set, Roger Daltrey, Pete Townshend, dan kawan-kawan sukses menciptakan momen epik. Lagu ‘Going Mobile’, sebuah permata tersembunyi dari album Who’s Next, akhirnya diperdengarkan secara langsung untuk kali pertama dalam sejarah panjang mereka. Momen ini menjadi bukti bahwa kesabaran memang adalah kunci, terutama jika Anda adalah penggemar The Who yang sudah menunggu lima dekade.
Untuk penampilan monumental ‘Going Mobile’, ada sedikit rotasi peran yang menarik perhatian. Simon Townshend, adik dari Pete Townshend, mengambil alih tugas vokal utama, memberikan nuansa segar pada lagu berusia setengah abad ini. Sementara itu, Roger Daltrey, sang frontman ikonik, justru memilih untuk memamerkan kemampuannya memainkan harmonika. Sebuah role swap yang tidak hanya menambah kejutan, tetapi juga menunjukkan fleksibilitas dan chemistry antar anggota band, meskipun di panggung perpisahan.
Kenapa Amerika Jadi Tujuan Terakhir?
Pemilihan Amerika Utara sebagai venue tur perpisahan The Who bukan tanpa alasan. Roger Daltrey sempat mengungkapkan bahwa kehangatan penonton Amerika selama bertahun-tahun telah menjadi inspirasi baginya. Daltrey mengenang bagaimana suara rekaman rock pertama dari radio Amerika membakar semangatnya, sebuah simbol kebebasan bermusik dan pemberontakan generasi. Bagi Daltrey, Amerika selalu menjadi ‘tanah yang memungkinkan’ (land of the possible), tempat di mana perbedaan budaya justru memberikan dampak besar dalam perjalanan hidupnya.
Perjalanan tur dengan The Who telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup Daltrey, dan mengakhiri era ini bukanlah hal yang mudah. Ia menyampaikan rasa terima kasih mendalam kepada para penggemar yang selalu setia mendampingi mereka. Meskipun demikian, di balik pernyataan penuh haru dan nostalgia, ada kekhawatiran yang mengintai. Daltrey secara terbuka menyampaikan kerisauannya untuk bisa bertahan hingga akhir tur, mengingat beratnya tuntutan fisik dari setiap pertunjukan live.
Tantangan Kesehatan Daltrey: Bukan Sekadar Sakit Perut Biasa
Roger Daltrey tidak menutupi bahwa tur yang dijalaninya ini sangatlah “melelahkan”. Kekhawatiran terbesarnya bukan hanya soal kualitas suara yang mungkin terganggu, tetapi juga efek jangka panjang dari perjuangannya melawan meningitis di masa lalu. Penyakit itu, menurutnya, telah menyebabkan “kerusakan parah” pada tubuhnya, terutama pada termometer internalnya. Ini berarti, dalam iklim apa pun yang melebihi 24 derajat Celsius, Daltrey akan berkeringat deras, yang berisiko menguras garam tubuhnya.
Kondisi tersebut tentu bukan masalah sepele bagi seorang performer yang harus tampil energik di atas panggung selama berjam-jam. Daltrey bahkan tidak sungkan mengakui bahwa potensi untuk benar-benar sakit sangatlah besar, dan ia merasa “nervous” apakah ia bisa menyelesaikan seluruh rangkaian tur. Ungkapan jujur ini memberikan gambaran betapa perjuangan di balik panggung jauh lebih intens daripada yang terlihat di permukaan, dan menambah lapis kedalaman pada perjalanan perpisahan ini.
Drama di Balik Drum: Pergantian yang Mengguncang Panggung
Selain tantangan fisik Daltrey, tur perpisahan The Who juga diwarnai dengan drama internal terkait posisi drummer. Sebelumnya, sempat terjadi periode kebingungan dengan laporan yang saling bertentangan mengenai partisipasi drummer lama The Who, Zak Starkey—putra dari legenda Beatles, Ringo Starr. Akhirnya, Pete Townshend turun tangan untuk mengklarifikasi situasi tersebut, menyatakan bahwa “sudah waktunya untuk sebuah perubahan.” Pernyataan singkat itu sontak memicu beragam spekulasi di kalangan penggemar dan media.
Starkey sendiri kemudian buka suara dalam sebuah wawancara dengan NME pada musim panas ini, membagikan detail tentang apa yang sebenarnya terjadi saat ia “ditendang” dari line-up. Pengakuan Starkey ini sontak memicu reaksi dari Daltrey, yang tidak segan menuduhnya melakukan “pembunuhan karakter.” Ketegangan di antara keduanya memperlihatkan bahwa bahkan di penghujung perjalanan panjang sebuah band legendaris, dinamika personal dan profesional bisa tetap menjadi sumber konflik yang kompleks.
Setelah kontroversi seputar Zak Starkey mereda, peran drummer untuk tur perpisahan The Who kini diemban oleh Scott Devours. Devours sendiri bukanlah sosok baru bagi band ini; ia sebelumnya pernah bekerja sama dengan Daltrey sebagai bagian dari band solo sang vokalis. Mengemban tugas besar sebagai drummer di band sekelas The Who bukanlah perkara mudah. Devours bahkan menggambarkan beban tanggung jawab ini sebagai “sangat besar” dan memahami jika ada penggemar yang merasa “hancur” dengan kepergian Starkey.
Scott Devours, dengan segala pengalamannya, kini menjadi bagian penting dalam memastikan tur perpisahan The Who berjalan mulus. Meskipun ada dinamika internal yang cukup menguras emosi dan tantangan kesehatan yang serius, band ini tetap melangkah maju. Ini menunjukkan dedikasi The Who untuk memberikan yang terbaik kepada para penggemar dalam perpisahan yang tak hanya monumental, tetapi juga penuh dengan cerita di baliknya.
Tur perpisahan The Who, ‘The Song Is Over’, adalah sebuah perpaduan unik antara nostalgia masa lalu, inovasi mendadak di atas panggung, dan drama yang terjadi di balik layar. Dari debut live ‘Going Mobile’ setelah setengah abad, perjuangan fisik Roger Daltrey, hingga gejolak internal terkait pergantian drummer, setiap elemen menambahkan lapisan kompleksitas pada narasi perpisahan ini. Pada akhirnya, The Who membuktikan bahwa mereka bukan hanya sekadar band rock legendaris, melainkan juga sebuah institusi yang terus beradaptasi dan mengejutkan, bahkan di saat mereka mengucapkan selamat tinggal.